MAKALAH SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA
"Diplomasi Indonesia di Organisasi Internasional Masa Orde Baru"
Disusun Oleh :
Anindya Riantri Maisun 2014230089
Adam Hartadi 2014230096
Aryl Kautsar 2014230095
Bima Fariz Shabir 2014230060
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia yang berjudul “Diplomasi Indonesia di Organisasi Internasional Masa Orde Baru”. Tujuan makalah ini dibuat untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan oleh Ibu Naota A Parongko dan juga sebagai alat untuk kami memahami lebih lanjut tentang materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini.
Tidak lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada teman-teman yang sudah memberikan kontribusi baik langsung mau pun tidak langsung dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan, karena itu kami mohon maaf jika ada kekurangan dalam makalah ini. Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua.
Jakarta, 14 Mei 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
World Trade Organization adalah sebuah organisasi perdagangan tingkat internasional yang dibentuk pada tahun 1955 setelah sebelumnya pertama kali didirikan dan beroperasi resmi pada Januari 1948, namun saat itu masih bernama GATT (General Agreement on Tariff and Trade) kemudian GATT dibubarkan pada tanggal 12 Desember 1995. Sejak didirikan kembali pada tahun 1955, GATT dibubarkan dibentuklah WTO yang telah mengalami perubahan dan menjadi lembaga yang dipercaya dapat melaksanakan tugas untuk menata dan memfasilitasi lalu lintas perdagangan antar negara, sekaligus menjadi badan internasional dalam menyelesaikan permasalahan seperti perselisihan yang menyangkut demham perdangangan antar negara-negara anggotanya.
Indonesia yang sebelumnya sudah bergabung di GATT kembali menjadi anggota resmi di WTO pada tanggal 1 Mei 1955. Pada saat periode tersebut Indonesia berada dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang kala itu tengah menggalakan program ekonomi pembangunannya guna mengembalikan citra baik Indonesia dalam mencapai kepentingan nasional Indonesia. Bergabungnya Indonesia di dalam keanggotaan WTO pun dimanfaatkan Indonesisa dengan maksima bukan hanya sebagai tempat Indonesia mewujudkan cita-cita bangsa dengan berbagai kepentingan nasionalnya namun juga sebagai wadah dan sarana diplomasi dengan negara-negara yang juga berada dibawah naungan WTO. Langkah kongret yang dilakukan oleh Soeharto pada program ekonomi pembangungan miliknya adalah dengan mengusung revolusi hijau yang berbuah swasembada pangan bagi Indonesia, yang mana hal tersebut memiliki korelasi dan sangat memerlukan interaksi pendakatan lewat jalur diplomasi dengan WTO.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan Bagaimana WTO pada Sektor Pertanian?
2. Apa dan Bagaimana Diplomasi yang dilakukan Indonesia di WTO?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sektor Pertanian di Indonesia dan Kebijakan Sektor Pertanian di WTO
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997, Indonesia dimata dunia adalah negara yang sangat kuat, sehingga Indonesia dikenal dengan sebutan Macan Asia. Hal ini lantaran Indonesia pada kala itu mampu menjadi negara yang begitu fenomenal dengan membuktikan kepada dunia internasional keberhasilannya dalam proses modernisasi dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat sangat cepat. Bahkan, Bank Dunia sekalipun mengakui bahwa kebangkitan Indonesia pada masa orde baru ini dianggap sebagai "East Asian Miracle". Hal tersebut dibuktikan oleh Indonesia pada tahun 1992 mengalami pertumbuhan GDP sebesar 6.3%, kemudian terus mengalami peningkatan hingga 7.3% di tahun 1994. Hasil ekspor Indonesia juga menjadi sorotan dunia sebab dapat menyentuh angka US$ 36.8 Miliyar di tahun 1993 dan mengalami peningkatan hingga tahun 1995, akan tetapi mengalami penurunan secara perlahan pada tahun 1996.
Menurut data yang dimuat dalam situs resmi AFTINET mengenai sektor pertanian, ketahanan pangan dan WTO, dijelaskan bahwa menurut Agricultural Census ditahun 1993 sektor pertanian Indonesia menempati tempat yang sangat istimewa sebab menyumbang 16.6% dari total hasil pendapatan negara dibanding 23 juta sektor lain yang ada di Indonesia. Maka bukan menjadi sesuatu hal yang aneh jika sektor pertanian Indonesia di masa Soeharto dijadikan sebagai keuntungan absolut bagi Indonesia. Kejayaan Indonesia dari sektor pertanianya membuat Indonesia sangat percaya diri dan optimis untuk bersaing dengan negara lain dalam perdagangan internasional, hal ini dibuktikan dengan bergabungnya Indonesia dengan WTO dan menjadi anggota yang aktif dan koperatif guna melancarkan liberalisasi perdagangan khususnya pada pertanian Indonesia.
Sejak bergabung di GATT, Indonesia dikenal sebagai anggota yang aktif didalamnya. Bahkan, Indonesia menjadi sumber kekuatan pada pencapaian GATT di Uruguay Round. yang tidak lama kemudian berubah menjadi WTO. Sehingga Indonesia sangat cepat untuk memutuskn kembali bergabung dengan WTO (sebelumnya GATT) dan begitu optimis akan dampak postif yang akan didapatkan ketika Indonesia bergabung dalam keanggotaan WTO. Menurut data dari USAID pada tahun 1994, Indonesia menuai sekitar US$ 2.3 Miliyar dari hasil ekspor Indonesia selama periode 1992-1995. Kenyataannya pun berkata demikian, sekitar 7.5% hasil ekspor Indonesia terus mengalami kenaikan pada masa periode tersebut. Sebagai salah satu anggota, Indonesia pada kala menyetujui beberapa ketentuan seperti penurunan tarif dan menciptakan hubungan yan baik mengenai hasil produk pertanian milik Indonesia ke WTO yang pada saat itu masih berbentuk GATT. Meski demikian, Indonesia masih menetapkan tarif yang tinggi untuk produk seperti beras, alkohol, buah-buahan, gula, sayuran, kopi, teh, cabai dan rokok. Tariff termahal adalah beras yang mencapat 180% kemudian disusul oleh gula sekitar 110%. Meski kenyataanya nilai tukar rupiah mengalami penurunan, para produsen dari sektor pertanian tetap mendapatkan keuntungan dari hasil komoditi pertanian yang di ekspor, hal ini dikarenakan semakin menurun nya nilai rupiah secara yang bersamaan harga beras dari sektor ekspor juga tinggi sehingga membuat petani di Indonesia tidak mengalami kerugian yang signifikan, mengingat beras di Indonesia adalah beras yang dianggap nomor satu kala itu sehingga bukan suatu hal yang tidak mungkin bagi pengimpor beras dari Indonesia untuk membayar dengan harga yang tinggi.
Prinsip-Prinsip yang disetujui dalam perundingan WTO yang disepakti bersama oleh para anggotanya kemudian melahirkan kelima prinsip dasar berupa norma-norma bagi sistem perdagangan yang berstandar global.
1. Perdagangan tanpa diskriminasi.
Most-favored nation (MFN) dimaksudkan untuk menuntun semua Negara memperlakukan anggota WTO yang lain secara sama. Jika suatu Negara memberikan kesepakatan perdagangan istimewa kepada Negara lain, kesepakatan tersebut juga harus diberlakukan pada seluruh anggota WTO. Aspek lain dari perilaku nondiskriminasi ini berlaku untuk lokal dan asing. Hal ini juga diartikan bahwa ketika berada di pasar, barang-barang impor tersebut tidak boleh mengalami diskriminasi.
2. Perdagagan yang lebih bebas, secara bertahap, melalui perundingan.
Pengurangan hambatan perdagangan, baik yang terlihat nyata seperti tariff impor maupun yang kurang terlihat seperti birokrasi dapat mendorong pertumbuhan perdagangan. Kesepakatan WTO menetapkan “liberalisasi progresif” melalui perubahan yang bertahap. Negara-negara berkembang diberi waktu lebih panjang untuk menyesuaikan diri.
3. Prediktabilitas melalui ikatan dan transparansi.
Prediktabilitas membantu perusahaan untuk mengetahui berapa biaya yang sesungguhnya terjadi. WTO mengoperasikan dengan tarif “meningkat” atau kesepakatan untuk tidak menaikkan tariff tertentu selama waktu yang di tentukan. Janji seperti itu sama baiknya dengan penurunan tariff karena mereka memberi pelaku bisnis data yang realistis. Transparasi membuat peraturan perdagangan dapat di akses dengan sangat jelas, juga membantu pelaku bisnis mengantisipasi kestabilan di masa depan.
4. Mempromosikan kompetisi yang adil.
Walaupun banyak yang mengatakan bahwa WTO sebagai organisasi “perdagangan bebas” telah berhasil dalam liberalisasi perdagangan. Kini dunuia internasional menyadari bahwa hubungan perdagangan antar negara dapat menjadi sangat kompleks. Sehingtga, banyak kesepakatan di WTO memiliki tujuan untuk mendorong kompetisi yang adil dalam bidang pertanian jasa dan kekayaan intelektual contohnya seperti mengurangi subsidi, dan membuang produk pada harga di bawah biaya produksi mereka.
5. Mendorong Reformasi Pembangunan dan ekonomi.
3/4 dari anggota WTO adalah Negara dengan ekonomi berkembang dan dalam masa transisi menjadi ekonomi pasar. Negara-negara ini aktif di Doha Development Agenda WTO terbaru, yaitu sebuah keputusan yang di terapkan di akhir Uruguay Round yang mengusulkan agar negara-negara maju memberi akses pasar utuk barang-barang dari negara-negara paling tidak maju dan meningkatkan bantuan teknis untuk mereka. Negara-negara maju kini telah mulai mengizinkan impor bebas bea masuk dan bebas kuota untuk banyak produk dari negara-negara paling tidak maju, tetapi pertanian tetap menjadi bidang yang sulit untuk membangun kesepakatan.
Tidak hanya itu, WTO dengan instrumen hukumnya juga mengatur sektor pertanian yang tertuang pada AoA (Agreement on Agriculture) yang dibentuk tidak lama setelah WTO lahir dan menggantikan GATT. AoA memiliki 3 elemen utama yaitu market access, domestic support dan export subsidy.
a. Market Acces
Market Access atau akses pasar merupakan bagian dari AoA yang bertujuan untuk membangun perdagangan seperti rezim tarif, pengurangan tarif dan peningkatan dari hasil pertanian. Tarif yang dikenakan prinsipnya adalah sebuah mekanisme penarifan tanpa terkecuali. Pemberian tarif ini dilakukan dengan cara mengubah kebijakan non-tariff measures menjadi tarif ekivalen yaitu proteksi pada sektor pertanian asal yang masih berbentuk tarif.
b. Domestic Support
Merupakan sebuah komitmen yang direalisasikan dalam bentuk kebijakan subsidi, baik untuk produksi maupun pengalihan atau transfer dana kepada produsen. Di dalam AoA sendir tidak melarang bentuk-bentuk lain dari subsidi kepada produsen namun lebih menentukan disipilin yang teratur pada wilayah domestik. Pada Domestic Support, melalui banyak pertimbangan, WTO berusaha untuk meminimalisir pemberian subsidi yang berlebihan, sehingga kalaupun tidak bisa dihilangkan pengaruhnya harus berdampak sedikit. Hal ini dikarenakan agara pada sektor-sektor tertentu tidak mengalami dependensi yang tinggi dengan aliran dana subsidi. Sebab jika hal ini tidak diatur maka akan mempengaruhi nilai ekspor dan membawa persaingan tidak sehat bagi negara pengekspor, lebih buruknya lagi harga beras internasional tidak dapat menggambarkan tingkat efisiensi dari ongkos produksi sebab negara eksportir menggunakan banyak cara untuk mendukung petani mereka dengan banyak aliran dana.
c. Export Subsidy
Arah dari kebijakan Export Subsidy adalah untuk mendisiplinkan kebijakan dan tindakan pemerintah yang menyalurkan bantuan pemerintah terhadap ekspor dengan subsidi ekspor. Hal ini bertujuan untuk mengurangi distorsi di pasar intenasional sebab kebijakan subsidi ekspor mampu memancing persaingan yang tidak sehat, terutama bagi negara pemberi subsidi juga negara pengimpor. Sebab jika subsidi ekspor diberikan tanpa adanya batasan, maka akan memperkuat negara pengimpor juga berpengaruh burk terhadap daya saing ekspor bagi mereka yang tidak melakukannya.
Selanjutnya adalah TRIPs (Trade Related Aspect on Intellectual Property Rights). TRIPs berisikan 73 pasal yang terbagi atas 7 bab. Untuk sektor pertanian diatur pada pasal 27. Isinya berkaitan dengan aturan hak paten atas hasil penemuan baru dalam bidang teknologi pertanian, seperti rekayasa genetika, sumber daya hayati, dll. Kemudian pada Pasal 28 semakin memperjelas mengenai hal ini, bahwa dengan hak paten atas makhluk hidup, seseorang atau suatu lembaga memiliki hak sepenuhnya untuk memanfaatkan dan menjual jenis tertentu, dan bila orang lain ingin memanfaatkan atau pun menjual jenis yang sama, mereka harus membayar kepada pemilik hak paten. Hal ini memunculkan beberapa implikasi pematenan atas makhluk hidup pada masyarakat tradisional dan petani, seperti berikut ini:
1. masyarakat tradisional dan petani tidak dapat lagi menjalankan aktivitas yang biasa mereka lakukan yang terkait erat dengan perlindungan dan pelestarian hayati-tanpa seizin pemegang paten 2. menjual hasil paten dari varietas tanaman yang lindungi oleh paten tanpa izin pemegang paten. Akhirnya, yang jelas TRIPs memunculkan sejumlah implikasi serius terhadap keragaman hayati, yaitu: a. monopoli kepemilikan keragaman hayati beserta pengetahuannya; b. menegasikan inovasi tradisional masyarakat adat/lokal; c. membuka peluang pembajakan sumber daya hayati Pengambilan dan pemanfaatan bahan hayati, terutama sumber daya genetik beserta kearifan tradisional masyarakat adat/lokal, tanpa sepengetahuan dan persetujuan masyarakat setempat d. mendorong erosi keragaman hayati. Sehingga, sistem TRIPs sangat menguntungkan negara-negara maju yang banyak diduduki oleh perusahaan- perusahaan multinasional (MNC) yang ahli dalam industri pertanian. Disisi lain, masyarakat dan para petani di negara-negara berkembang yang memegang kearifan lokal (kreativitas alam dan kreativitas yang tumbuh dari kekayaan intelektual bersama) semakin terdesak dan tak berdaya berhadapan dengan sistem yang menguntungkan pelaku-pelaku neoliberalisme. Selain AoA di dalam WTO juga terdapat dua elemen yang terkait dengan pertanian yaitu, sanitary and phytosanitary (SPS) measures, dan agricultural reform. a. Sanitary and Phytosanitary Measures SPS memiliki tujuan tidak hanya untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia namun juga hewan, dan tumbuhan. Reformasi sektor pertanian yang adalah dengan mempertimbangkan non trade concern, seperti food security, dan protect the environment yang terintegrasi dalam special and differential treatment. Hampir semua aturan WTO mengharuskan adanya keseragaman sistem, dari bagi negara maju maupun negara berkembang. Padahal kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya negara-negara berkembang jelas berbeda dengan negara maju. b. Agricultural reform Perubahan kebijakan dalam sektor pertanian diakibatkan oleh adanya penyeragaman aturan-aturan perdagangan, yang melatarbelakangi terjadinya praktek free trade yang melenceng menjadi perdagangan yang tidak adil, tidak hanya itu hal ini dapat bersifat eksploitasi sebab level playing field yang berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Liberalisasi perdagangan hasil-hasil pertanian melalui pembukaan akses pasar yang lebih luas, penurunan subsidi ekspor dan subsidi domestik sepatutnya dapat menjamin terwujudnya sistem perdagangan yang adil. Sebab sudah sewajarnya bahwa Free trade semestinya dapat mempertimbangkan bagaimana posisi petani-petani gurem di negara-negara berkembang yang hidup dalam tingkat subsistensi dengan teknologi pertanian sederhana. Sehingga perlu untuk menciptakan sistem perdagangan adil, prinsip non trade concern perlu mendapat perhatian dalam perundingan Perjanjian Pertanian. Non trade concern tersebut ada akibat dari multifungsi sektor pertanian bagi negara-negara berkembang. Bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pertanian tidak hanya menyangkut aspek perdagangan, namun hanya sebatas pada penyediaan pangan, penyerapan tenaga kerja terbesar, pemberantasan kemiskinan, pembangunan pedesaan, dan konservasi lingkungan hidup, bahkan sebagai kekayaan budaya aang diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, food security, kepentingan negara-negara berkembang, sudah selayaknya mendapatkan perhatian. Kemudian, selaras dengan trade concern, Special and Different Treatment (S&D) bagi negara-negara berkembang mendapat perhatian yang serius dalam AoA. S&D dipandang penting menjadi bagian dalam mencapai tujuan fair trade lmelalui penciptaan level playing field yang sama diterapkan di negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
B. Diplomasi Indonesia di WTO
Komitmen terhadap WTO telah mempercepat inisiatif liberalisasi perdagangan dengan memperluas akses pasar, mengurangi hambatan perdagangan tarif dan non-tarif termasuk subsidi. Khusus untuk bidang pertanian, liberalisasi perdagangan berjalan di bawah Uruguay Round Agreement on Agriculture (AoA). AoA pada dasarnya bertujuan untuk menyelaraskan kebijakan perdagangan nasional dengan aturan internasional agar memberikan dorongan kuat untuk pertumbuhan sektor pertanian. Aturan ini memberikan dasar yang jelas dalam liberalisasi perdagangan pertanian, meskipun pada kenyataannya lebih memihak pada kepentingan negara-negara maju dari pada menciptakan mekanisme yang adil bagi semua anggota.Keputusan pemerintah untuk melakukan liberalisasi sektor pertanian didasarkan pada kenyataan menurunnya pendapatan negara di sektor minyak pada awal tahun 1980-an. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mulai memacu pertumbuhan sektor non-minyak, dan salah satunya adalah meliberalisasikan sektor pertanian yang mencapai puncaknya tahun 1998 pada saat pemerintah Indonesia diwajibkan meliberalisasikan pasar produk pertanian dan mengurangi subsidi produk pertanian di bawah ketentuan IMF. Liberalisasi sektor pertanian ini ternyata mengakibatkan peningkatan impor pangan yang signifikan. Ketergantungan terhadap impor pangan dan menurunnya konsumsi produk lokal, dan dihapuskannya subdisi untuk beberapa komoditas menyebabkan penurunan pendapatan petani dalam negeri yang berujung dengan aksi protes menentang liberalisasi perdagangan yang dilakukan pemerintah. Kondisi tersebut menegaskan bahwa secara empirik, perdagangan internasional di bawah payung perjanjian WTO telah merugikan banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Namun ironisnya pemerintah Indonesia tetap menjalankan kebijakan liberalisasi perdagangan tersebut. Secara de jure pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Bidang Pertanian dalam WTO (atau yang lazim disebut dengan AoAWTO) melalui UU No. 7 Tahun 1994. Dengan ratifikasi tersebut berarti Indonesia telah mengikatkan diri dalam komitmen liberalisasi perdagangan internasional. Aturan-aturan hukum perdagangan internasional dalam kerangka WTO diterapkan terhadap anggota-anggotannya. Dalam pasal XVI Perjanjian Pembentukan WTO menyatakan bahwa: each member shallcasure the conformity of its laws, regulations and administrative procedures withits obligations as provieded in the annexed agreement. Ketentuan pasal tersebut menjadi indikator bagaimana WTO mewajibkan negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan aturan-aturan atau hukum perdagangannya dengan aturan-aturan yang termuat dalam Annex perjanjian WTO. Ketentuan tersebut diatas membahas mengenai keterikatan Indonesia dan berdampak pada aturan-aturan kebijakan pangan Indonesia. Sebagai anggota WTO, Indonesia mengimplementasikan komitmennya terhadap organisasi ini sejak tahun 1995 dengan melakukan liberalisasi dan reformasi di bidang pertanian. Bahkan setelah terjadi krisis tahun 1998, pemerintah Indonesia mengambil langkah besar dan radikal dalam reformasi pertanian sesuai dengan ketentuan IMF. Beberapa kebijakan yang dilakukan antara lain:
a. mengurangi monopoli impor BULOG atas gandum, tepung gandum, gula, kedelai, bawang putih dan beras b. menghapuskan tingkat tarif untuk semua makanan maksimal 5% dan menghapus peraturan tentang muatan lokal c. menghapuskan tata perdagangan dan pemasaran restriktif untuk sejumlah komoditi termasuk persyaratan muatan lokal, dan d. mengatur perdagangan produk pertanian antar wilayah termasuk cengkeh, jeruk dan ternak. Hal ini diharapkan bahwa pelaksanaan konsisten dalam reformasi ini akan memperbaiki kepercayaan investor dan meningkatkan investasi yang lebih efisien dan produktif. Arah kebijakan pembangunan dan ekonomi Indonesia seringkali dipengaruhi oleh pengaruh dari luar seperti fluktuasi harga minyak dunia. Setelah satu periode pertumbuhan signifikan karena melambungnya harga minyak dunia pada tahun 1971-74 dan 1978-80 yang menguntungkan Indonesia sebagai eksportir minyak, awal 1980-an terjadi penurunan GDP ketika harga minyak turun. Berikutnya hingga tahun 1990-an kebijakan ekonomi Indonesia ditandai dengan periode liberalisasi dan dan pemulihan yang bertumpu pada sektor non-migas, salah satunya adalah sektor pertanian. Pertengahan tahun 1980-an hinga 1990-an akhir, pemerintah Indonesia menjalankan serangkaian kebijakan dalam negeri dan perdagangan yang mencerminkan kombinasi dari kebijakan unilateral, komitmen terhadap WTO dan kesepakatan pemerintah dengan IMF setelah Indonesia dilanda krisis finansial. Proses liberalisasi sektor pertanian di Indonesia dapat dilihat dari perubahan-perubahan kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia sejak tahun pertengahan tahun 1980-an hingga 2000-an.Meskipun kebanyakan produk pertanian diliberalkan dalam reformasi perdagangan tahun 1985, reformasi perdagangan tahun 1991 mengurangi saham produk pertanian dengan hambatan lisensi impor hingga 30%. Meskipun demikian, beras, kedelai dan gula terus diatur. (Bautista, et.all., 1997). WTO AoA tahun 1995 sebenarnya tidak teralu menghambat kebijakan perdagangan Indonesia karena Indonesia memiliki komitmen terhadap jadwal pengurangan tarif sektor pertanian sebanyak 13,2 % yang jauh berada di bawah pengurangan tarif rata-rata yang diwajibkan yaitu 47.7%. Dalam ketentuan Persertujuan Bidang Pertanian tahun 1995, negara-negara maju diharuskan mengurangi subsidi ekspor sebesar 36 % dari total budget (budgetary outlays) dan penurunan volume sebesar 21 % dalam kurun waktu 6 tahun. Untuk negara berkembang masing-masing sebesar 24 persen dan 14 % dalam kurun waktu 10 tahun dengan tahun 1986-1990. Oleh karena itu terdapat 4 ketentuan yang berlaku dalam pengurangan subsidi ekspor: a. Subsidi ekspor untuk produk spesifik tertentu harus dikurangi sesuai dengan komitmen b. Setiap kelebihan pengeluaran pemerintah untuk keperluan itu harus dibatasi sesuai dengan yang telah disepakati c. Subsidi ekspor untuk Negara berkembang dianggap konsisten dengan special and differential treatment (SDT) d. Subsidi ekspor selain dari yang harus dikurangi itu, bila dilakukan maka harus diberitahukan terlebih dahulu. Menurut ketentuan WTO hampir semua jenis subsidi ekspor komoditas pertanian sebenarnya dilarang.Indonesia juga telah menunjukkan komitmennya dengan mulai menerapkan pilar-pilar yang saling terkait dalam kebijakan pertanian nasionalnya, akan tetapi hanya satu pilar yang tidak dilaksanakan Indonesia, yakni subsidi ekspor akibat Indonesia tidak melakukan ekspor, khususnya untuk komoditi pangan. Meski demikian, ketika Indonesia masih swasembada pangan pada tahun 1986-1990, Indonesia juga mencatatkan komitmennya untuk melakukan subsidi ekspor untuk komoditi beras. Pada periode itu, Indonesia melakukan ekspor beras bersubsidi rata-rata 299.750 ton dengan nilai subsidi pemerintah sebesar US$ 28,248,230. Dalam kasus subsidi ekspor, pemerintah Indonesia memang memberikan subsidi ekspor untuk beras yang memungkinkan pemerintah mengatur surplus cadangan. Tetapi sejak implementasi WTO AoA, Indonesia tidak lagi melakukan subsidi ekspor beras. Serupa dengan masalah yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya, di Indonesia, liberalisasi perdagangan dalam kerangka WTO berdampak negatif tidak hanya pada produksi pertanian domestik, harga dan lapangan pekerjaan, tetapi juga pendapatan petani. Sejak liberalisasiterjadi, petani Indonesia, termasuk petani unggas, beras dan jagung, dipengaruhi oleh impor produk-produk peranian yang harganya murah. Kondisi terparah dialami petani-petani kecil yang memiliki lahan kurang dari setengah hektar. Berkurangnya pendapatan petani ini diperparah lagi dengan hilangnya insentif-insentif, terutama subsidi pupuk dan bibit tanaman, dari pemerintah untuk berproduksi, dan petanipetani kecil dipaksa untuk menghadapi pasar global yang kompetitif.Kesejahteraan petani yang relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan pangan. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan keterbatasan, diantaranya yang utama:
a. Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor);
b. Luas lahan petani sempit dan mendapat tekanan untuk terus terkonversi;
c. Terbatasnya akses terhadap dukungan layanan pembiayaan;
d. Tidak adanya atau terbatasnya akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik;
e. Infrastruktur produksi (air, listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai;
f. Struktur pasar yang tidak adil dan eksploitatif akibat posisi rebut-tawar (bargaining position) yang sangat lemah; dan ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.
Keterikatan dengan rezim AoA-WTO menyebabkan perdagangan komoditas pertanian yang merupakan komoditas sensitif dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia harus diliberalisasikan, yang artinya hambatan perdagangan tarif dan non-tarif, dan insentif-insentif pertanian harus dihapuskan. Harapan untuk mendapatkan keuntungan dari ekonomi perdagangan internasional melalui mekanisme keuntungan komparatif tidak sepenuhnya tercapai. Yang terjadi justru sebaliknya. Keinginan untuk mengamankan suplai barang di dalam negeri dengan meningkatkan impor produk-produk tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatnya ketergantungan terhadap produk asing. Kesejahteraan petani juga menjadi isu berikutnya yang harus diperhatikan. Murahnya harga produk asing di pasar dalam negeri telah menggerus pendapatan petani-petani dalam negeri, terutama petani kecil, yang harus berjuang menghadapi kompetisi global di pasar domestik tanpa perlindungan dari pemerintah. Kondisi yang demikian tentunya semakin menjauhkan Indonesia dari keberhasilan program ketahanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas dalam liberalisasi perdagangan dan reformasi sektor pertanian.
C. Revolusi Hijau dan Swasembada Pangan Masa Orde Baru Pada tahun 1983, proyek industrialisasi yang dikembangkan pemerintah belum apa-apa. Saat itu, sumbangan industri pengolahan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) baru mencapai 15,1%, jauh berada dibawah sektor pertanian. Sehingga, mau tidak mau, pertanian harus didorong kedepan, dan dikerjakan bersama dengan proses industrialisasi. Untuk itu, Soeharto dalam pidatonya di sidang umum DPR tanggal 16 Agustus 1985, mengatakan, sambil memacu pembangunan di bidang industri untuk mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang pada tingkat yang lebih maju antara sektor industri dan pertanian, dalam jangka panjang kita akan tetap mencurahkan perhatian pada pembangunan dan pengembangan pertanian bidang pertanian dalam arti luas. Selanjutnya, pertanian kemudian mengambil posisi strategis. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa goal berikut: a. Mencapai swasembada pangan b. Memperluas sumber devisa dari komoditi non-migas c. Memperluas lapangan kerja di pedesaan d. Meningkatkan pendapatan, yang berarti menaikkan taraf hidup petani dan berbagai tujuan-tujuan ini, nampaknya, hendak dicapai sekaligus. Dalam perkembangannya, orde baru terlalu justru berfokus pada bagaimana mengejar goal yang pertama, yakni swasembada pangan, dan melupakan target-target yang lain. Untuk mencapai tujuannya, pemerintah pada saat itu melakukannya dengan mengkombinasikan a. perluasan areal pertanian, khususnya beras. Ini dilakukan selain dengan melakukan penambahan areal baru, pemanfaatan lahan gambut, hingga mobilisasi tenaga manusia untuk mengisi lahan2 pertanian yang cukup luas di luar Jawa b. melalui intensifikasi produksi pertanian. Pemerintah kemudian menghadirkan peralatan-peralatan teknik, mengenalkan varietas padi bersiklus pendek dengan hasil tinggi, rekrutmen dan pelatihan penyuluh pertanian, subsidi sarana produksi, dan perbaikan infrastruktur irigasi. Cara yang kedua ini kemudian melekat pada apa yang disebut “revolusi hijau” Menurut FAO, “Beras berperan penting bagi ketahanan pangan dunia” (FAO 2004:8). kemudian dari arti kata swaembada memiki arti bebas, independent, otonom dan mandiri. Artinya setiap negara yang yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi beras penduduknya adalah negara yang terjamin akan kebutuhan pangan warganya. Seperti pilihan jalan yang ditempuh Mahatma Gandhi dalam membangun India. “Buat sendiri garam dapurmu, tenun sendiri pakaianmu”. Negara yang otonom dan independent dalam artian swasembada merupakan suatu pencapaian atas segala permasalahan pangan suatu negara, bukan karena berhasil meladeni pasar atau menang atas mekanisme pasar. Tetapi negara yang memfasilitasi rakyatnya untuk menciptakan pasar mereka sendiri. Karena tidak ada negara yang miskin ketika rakyatnya terjamin kebutuhan pangannya, yang ada adalah negara yang kuat memegang pasar dan mendikte negara lain untuk meladeninya. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Gerakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 – 1989. Revolusi hijau mendasarkan diri pada empat pilar penting: 1. penyediaan air melalui sistem irigasi, 2. pemakaian pupuk kimia secara optimal, 3. penerapan pestisida sesuai dengan tingkat serangan organisme pengganggu 4. penggunaan varietas unggul sebagai bahan tanam berkualitas. Melalui penerapan teknologi non-tradisional ini, terjadi peningkatan hasil tanaman pangan berlipat ganda dan memungkinkan penanaman tiga kali dalam setahun untuk padi pada tempat-tempat tertentu, suatu hal yang sebelumnya tidak mungkin terjadi. Kebijakan modernisasi pertanian pada masa Orde baru atau Revolusi Hijau merupakan perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional ke cara modern. Revolusi Hijau (Green Revolution) merupakan suatu revolusi produksi biji-bijian dari hasil penemuan-penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari berbagai varietas, gandum, padi, dan jagung yang mengakibatkan tingginya hasil panen komoditas tersebut. Tujuan Revolusi hijau adalah mengubah petani-petani gaya lama (peasant) menjadi petani-petani gaya baru (farmers), memodernisasikan pertanian gaya lama guna memenuhi industrialisasi ekonomi nasional. Revolusi hijau ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena peningkatan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam peningkatan produksi bahan makanan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagai negara agraria, Indonesia menggunakan sektor pertaniannya sebagai bargaining position yang mumpuni di organisasi perdagangan internasional, yaitu World Trade Organization. Tidak hanya itu, WTO juga dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai sarana diplomasi yang tepat guna meraih kepentingan nasional Indonesia dalam memajukan sektor pertanian, hingga tercapailah ketahanan pangan berupa swasembada beras yang mana hasil dari kinerja Presiden Soeharto menggalakan Revolusi Hijau. Masa Orde Baru merupakan masa kejayaan bagi sektor Pertanian Indonesia yang kemudian dikenal dimata dunia karena sektor pertanian milik Indonesia berhasil meningkatkan penghasilan negara dengan angka yang sangat fantastis.
B. Saran
Mahasiswa dan Mahasiswi IISIP Jakarta yang sedang mengambil mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia diharapkan mampu bertindak secara kritis menanggapi contoh dari bagaimana Indonesia di Masa Orde Baru mampu menunjukan jati dirinya dengan berbagai pencapaian yang luar biasa. Sehingga, kedepannya mampu menjadi penerus-penerus bangsa yang memiliki tingkat kapabilitas yang tinggi dalam membangun negara.
Daftar Pustaka
Buku
Amang, Beddu, dan M. Husein Sawit. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Jakarta: Bintang Aksara.
Ball, Donald A.2014.Bisnis Internasional. Jakarta:Mc Graw Hill Education
Erwidodo and Prajogo Utomo Hadi. 1999. Effect on Trade Liberalization on Selected Food Crops in Indonesia
Hal Hill. 2000. The Indonesian Economy. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Muhtar Mas’oed, 1982, Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971, Jakarta: LP3ES.
Soetrisno, Lukman. 2002. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Website
http://www.aftinet.org.au
https://www.uncapsa.org
http://www.umich.edu
https://www.wto.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar