Minggu, 15 Mei 2016

Diplomasi Indonesia pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Kelompok 6 - SDI)


MAKALAH
MASA KEPEMIMPINAN ABDURRAHMAN WAHID
 (makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia)

KELOMPOK 6
PRASTIKA CITRA UTAMI                         2015231001
ROMI ZAINUR RAHMAN                          2014230138
ADILLA VIONA GHEOVANY                   2014230131
FAJAR RAMADHAN                                   2014230139



INSTITUT ILMU SOSIAL DAN POLITIK JAKARTA
JAKARTA
2015


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam perjalanan pemerintahannya, Indonesia beberapa kali mengalami pergantian pemimpin, salah satunya tokoh yang pernah memimpin Indonesia adalah K.H. Abdulrrahman Wahid atau dikenal dengan sebutan nama Gus Dur. Gusdur memimpin Indonesia pada tahun 1999 sampai 2001, yang menggantikan presiden RI sebelumnya yaitu Presiden B. J. Habbi. Meskipuan dapat dihitung bahwa masa kekuasan Gusdur tidaklah lama, namun cukup memberikan peran terhadap pencaturan pemerintahan di Indonesia. Dan tentunya dengan peran yang diberikan, pasti memiliki dampak bagi keadaan Indonesia baik pada masa Gus dur memipin maupun setelahnya.
Awal masa pemerintahannya, Gus dur membentuk Kabinet pertama dengan nama Kabinet Persatuan Nasional  yaitu adalah cabinet koalisi yag meliputi anggota berbagai partai politik : PDI-P, PKB, Golkar, PPP,PAN dan Partai keadilan (PK) Non-partisipan dan TNI juga ada dalam cabinet tersebut.  Pada masa pemerintahan Gus Dur banyak kebijakan-kebijakan pemerinah yang disambut baik oleh seluruh rakyat Indonesia, bahkan ada pula kebijakan pemerintah yang konroversial.pemerintahan Gus Dur juga membuka kran kebebasan dan mengedepankan aspek primordial yang bersumber dari banyak sisi seperti agama, etnisitas, ideology, dan lain-lain.
Kemudian kebijakan pemerintah Gus Dur melakukan banyak terobosan untuk mengangkat kaum minoritas yaitu dengan memperbolehkan perayakan implek yang selama masa Soeharto dilarang. Gus Dur juga sempat meminta agar TAP MPS No. XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan Mrxisme-Leninisme, dicabut. Hal ini cukup Kontroversional mengingat bagaimana pun sepanajang era Soeharto, PKI sudah dihitamkan. Orang awam juga berpendapat bahwa PKI termasuk dalam golongan orang yang tidak beragama (walaupun ada Komunis-Islam), yang sulit dierima di Indonesia yeng menjunjung “ketuhanan yang maha esa”. Dengan membuka keadilan kaum minoritas, sebenarnya Gus Dur menunjukan adanya persamaan derajat antar sesama warga negara Indonesia. Hal yang kontroversional dalam pemerintahan Gus Dur adalah “perdamaian”-nya dengan Israel. Umat Islam Indonesia sangat antipati terhadap negara penjajah palestina tersebut atas dasar solidariatas sesama muslim. Akan tetapi bukan bersikap memushi israil, gus dur justru berusaha membuka hubungan dengan negara tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Politik Luar Negeri Indonesia Dibawah Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid?
2.      Bagaimana Kebijakan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid?
3.      Apa kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Politik Luar Negeri Indonesia Dibawah Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid
2.      Untuk Mengetahui Kebijakan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid
3.      Untuk Mengetahui Kasus Dibawah Masa Kepemimpinan Abdurrahman Wahid











BAB II
KERANGKA TEORI

Untuk mempermudah sekaligus pemecahan masalah, diperlukan suatu kerangka teori atau konsepsi dasar sebagai pijakan dalam mengadakan suatu penelitian. Konsepsi dasar harus berpijak pada teori-teori yang dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara empiris.

1.      Teori Konstruktivisme
Konstruktivis menganggap bahwa dunia ini merupakan dunia yang intersubjektif yaitu bahwasanya dunia ini menjadi bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya, menciptakannya, dan memahaminya sebagai dunia mereka (Jackson dan Sorensen 2009, 307). Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum konstruktivis menolak anggapan bahwa dunia ada memang karena struktur yang memunculkannya. Kaum konstruktivis pecaya bahwa ada keterlibatan peran dari pemikiran dan pengetahuan bersama atas dunia sosial yang memunculkan adanya dunia sosial itu sendiri.
           Dalam konstruktivisme ada pandangan bahwa munculnya sistem internasional merupakan suatu hasil konstruksi manusia, begitu juga dengan hubungan internasional yang timbul bukan semata-mata hanya karena struktur sosial yang menciptakannya, melainkan karena konstruksi manusia. Seperti yang dikatakan oleh Alexander Wendt (1992) (Jackson dan Sorensen 2009, 308), bahwa “anarki adalah apa yang dibuat negara darinya.”. Hal ini menunjukkan bahwa betapa kaum konstruktivisme menganggap bahwa sistem internasional dan segala interaksi di dalamnya merupakan hasil dari interaksi masyarakat di dalamnya yang berarti merupakan konstruksi manusia. Negara-negara dalam hubungannya dengan negara lain membangun anarki internasional yang kemudian dapat menegaskan hubungan mereka (Jackson dan Sorensen 2009, 309). Dengan begitu identitas dan pengetahuan negara satu terhadap negara yang lainnya menjadi penting.
Tokoh-tokoh pemikir dalam konstrutivisme ini. Dalam HI teoritisi terkemuka konstruktivisme antara lain adalah Friedrich Kratochwill (1989), Nicholas Onuf (1989), Alexander Wendt (1992), dan John Ruggie (1998) (Jackson dan Sorensen 2009, 307).
Dalam tatanan internasional, penggalangan dukungan internasional untuk mengembalikan kredibilitas Indonesia juga terus dilakukan oleh Gus Dur. Hal itu ditunjukkan dengan intensitas kunjungan luar negeri Gus Dur yang tinggi selama dua puluh bulan ia menjabat, yang juga dianggap sebagai aksi pemborosan, walaupun langkah tersebut dilakukan untuk membuka pintu investasi asing di Indonesia (Widhiasih, 2013). Diplomasi yang demikian disebut sebagai ‘diplomasi persatuan’ yang juga ditujukan untuk mendapatkan dukungan internasional terhadap permasalahan disintegrasi bangsa yang dihadapi Indonesia yang menjadi isu yang diprioritaskan, hal itu berdasarkan gerakan separatisme yang muncul di Aceh, Papua, dan lain-lain yang membuahkan hasil dukungan dari Australia dan Selandia Baru.

2.      National Interest
National Interest merupakan seperangkat kepentingan, tujuan, cita-cita, rencana, dan nilai yang akan ditegakkan dan dicapai oleh suatu negara dengan tujuan untuk mempertahankan keberadaan dan eksistensinya pada dunia (Wardhani, Baiq 2012). Konsep ini adalah yang paling jelas dan oleh karena itu mudah digunakan dan disalahgunakan, terutama oleh para politisi untuk mengklaim bahwa kebijakan luar negeri tertentu untuk kepentingan nasional mananamkan tingkat otoritas dan legitimasi kebijakan itu. Konsep ini biasanya digunakan oleh dalam dua cara terkait. Di satu sisi, kata kepentingan menyiratkan beberapa kebutuhan yang telah standar pembenaran, mencapai status klaim diterima atas nama Negara. Di sisi lain, kepentigan nasional juga digunakan untuk menggambarkan dan mendukung kebijakan tertentu. Kepentingan nasional adalah pembuat keputusan apa pada level tertinggi pemerintahan yg mengatakan itu. (web.unair.ac.id)
Pada dasarnya, tujuan politik luar negeri Indonesia pada era Gus Dur masih terfokus pada usaha stabilitas ekonomi dan keamanan melalui diplomasi yang direalisasikan melalui investasi swasta, diplomasi bantuan luar negeri, perdagangan bebas, otonomi regional, dan sistem politik demokratis (Widhiasih, 2013). Di era pemerintahannya yang singkat Gus Dur menunjukkan kredibilitas atau citra baik Indonesia di mata internasional dan juga Gus Dur mampu dalam mengatasi masalah ancaman integrasi bangsa, dimana ini adalah keberhasilan Gus Dur di masa pemerintahannya.




























BAB III
PEMBAHASAN

A.    Politik Luar Negeri Indonesia dibawah Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001).
1.      Relevansi Periode
Dalam Jurnal Contemporary Southeast Asia Volume 22 Desember 2000, disebutkan oleh penulis Anthony L. Smith bahwa sejak kejatuhan presiden Soeharto pada Mei 1998 serta krisis dan disintegrasi Timor Timur di tahun 1999, kemunculan figur yang sering disapa Gus Dur ini memberikan alarm segar terhadap kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini banyak lain disebabkan karakteristik pribadi Gus Dur sendiri yang sangat menjunjung tinggi pluralisme di Indonesia. Hal ini juga disebutkan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyanjung karakter Gus Dur yang lebih dapat mengakomodir keragaman penduduk Indonesia dari latar belakang agama, kebudayaan, serta kesejahteraan sosial. Smith menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri yang diambil Gus Dur bersifat orthodox yang didorong oleh kebutuhan Indonesia sebagai bangsa yang besar untuk dapat lebih berkembang secara ekonomi dan mengumpulkan modal untuk membangun perekonomian negeri.
Gaya diplomasi luar negeri yang membawa Indonesia kembali naik dalam khususnya perpolitikan kawasan dalam kiprah sukses di ASEAN yang menitikberatkan kepada kerjasama regional dalam menguatkan integrasi kawasan. ASEAN menjadi target utama dari “outlook” yang berpusat di Jakarta. Tetapi kemajuan yang ingin ditorehkan Gus Dur tidak lepas dari pengaruh kekuatan asing di Indonesia khususnya dari negara-negara Barat dan PBB sebagai implikasi dari disintegrasi Timor Timur yang mengalihkan perhatian dunia internasional khususnya dalam konteks penegakan HAM. PBB menyebutkan bahwa Gus Dur merupakan presiden Indonesia yang paling tidak difavoritkan atau diinginkan dalam konteks politik domestik serta internasional yang dikarenakan alternatif lain yang tidak tersedia dalam masa tersebut.
Beberapa argument juga menyebutkan bahwa arah kebijakan luar negeri Indonesia pada zaman Gus Dur agak menjauhi blok Barat dari indikasi yang terlihat bahwa Indonesia mengumpulkan kekuatan regional untuk dapat mengimbangi pengaruh Barat di kawasan Asia Tenggara dan untuk mendapatkan predikat “Asia Card” yang dapat dimulti-interpretasikan yang sangat bertolakbelakang dengan panggilan presiden Soeharto sebagai “Master Card dari Washington”. Hal ini dimaksudkan untuk tidak kembali mengulangi kesalahan Indonesia pada masa Soeharto yang sangat tidak ketergantungannya terhadap pengaruh dan bantuan dari Barat.
Kemajuan lainnya yaitu memperbaiki sistem administrasi Indonesia dan menguatkan poros-poros dengan negara-negara berkembang yang sering disebut negara Dunia Ketiga, yaitu memperkuat hubungan dengan Cina dan India , lalu kunjungan ke Irak. Memperbaiki hubungan dengan IMF untuk dapat lebih banyak mendapatkan bantuan untuk mendanai pembangunan khususnya di Aceh dan Papua yang diberikan otonomi khusus yang dimula dibawah kepemimpinan Gus Dur dan tetap membuka Indonesia terhadap para investor asing dalam konteks perdagangan kawasan sebagai prinsip-prinsip dasar negara berkembang.
Gebrakan yang dilakukan Gus Dur ketika memimpin Indonesia adalah mengurangi pengaruh TNI yang sangat menyetir sebagian besar pembuatan keputusan pada waktu itu Departemen Luar Negeri (Deplu). Terlihat jelas pada cara penyelesaia konflik di Timor Timur bagaimana TNI bersikap. Perjanjian resolusi lebih banyak melibatkan perwira tinggi TNI ketimbang profesionalisme diplomat Indonesia. Inilah yang Gus Dur coba untuk merubahnya dengan melibatkan kepentingan sipil dalam menyelesaikan permasalahan Timor Timur. Selain itu usaha untuk mengurangi kesulitan dalam hal birokrasi sebagai dampak dari hegemoni partai Golkar selama tiga dekade. Gus Dur berusaha untuk memperbaiki citra Deplu dengan menggalakkan kembali sistem multi partai, penyegaran tokoh-tokoh baru, serta menciptakan lingkungan yang kental akan netralitas yang menuju arah perbaikan administrasi birokrasi.
Kharisma yang ditunjukkan Gus Dur dengan mengunjungi sebanyak 26 negara dalam empat bulan pertamanya menjadi Presiden memperlihatkan karakter pemimpin yang aktif dimana tujuannya untuk memperbaiki citra Indonesia dalam komunitas internasional. Usaha untuk menyeimbangi tingginya kunjungan yang beliau lakukan yaitu dengan merencanakan pembelian Boeing 737-800 sebagai pesawat jet pribadi pihak kepresidenan pada September 2000 seharga US$ 50-60 juta. Hal ini banyak mendapatkan protes dari para pihak legislatif. Fenomena penting lainnya yaitu membentuk sebuah komite panel internasional yang beranggotakan Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, Menteri Senior Singapura  Lee Kuan Yew, dan disusul oleh mantan perdana menteri Belanda Van den Broek.
Karakteristik diplomasi Indonesia dalam pendekatan terhadap negara-negara yang beliau kunjungi yaitu menitikberatkan pada cirri kesamaan seperti penyebaran nilai demokratis dengan negara Barat, identitas Asia dengan negara-negara di Asia, serta kesamaa agama Islam dengan negara-negara Muslim. Khususnya hubungan bilateral dengan Cina dan India, perhatian besarnya pada hal perdagangan, kebudayaan, dan kesamaan bahasa. Pesan yang disampaikan Gus Dur bahwa beliau merasa dapat menjadi jembatan dari para rekanannya.
Pada ranah domestik, Gus Dur mencoba untuk memberikan kesetaraan pada segala cabang kekuatan di TNI dengan memilih panglima TNI pertama yang berasal dari cabang Angkatan Laut (AL) yaitu Jenderal Widodo ketimbang kandidat lain yang biasanya kebanyakan berasal dari Angkatan Darat (AD). Tujuan lainnya yaitu untuk dapat memaksimalkan tugas dan fungsi dari cabang AL dan AU (Angkatan Udara) dalam mengkomunikasikan kepentingan ke seluruh penjuru di Indonesia. Khususnya dalam hal penanggulangan pembajakan di wilayah perairan laut.



2.      Kelebihan dan kekurangan
Arah kebijakan luar negeri Indonesia pasca Soeharto dan kebangkitan dari krisis ekonomi 1998 dititikberatkan pada menemukan cara-cara penanggulangan efek-efek yang disebabkan krisis ekonomi. Alwi Shihab menyebutkan kebutuhan akan ketergantungan terhadap dunia modern sebagai dampak dari realitas ekonomi Indonesia yang buruk semasa krisis. Gus Dur juga menyebutkan bahwa butuh untuk menerapkan sistem negara yang sekuler yang tidak menyetujui pemberlakuan Hukum Islam kecuali di Aceh. Hal ini menjadi symbol dari visi Gus Dur dalam mengangkat isu multi etnis dan multi agama di Indonesia yang tujuan akhirnya yaitu untuk mendorong demokrasi dan keharmonisan kehidupan beragama.

B.     Kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
1.      Pemulihan Hak-hak Sipil Penganut Konghucu
Abdurrahaman Wahid menyadari bahwa Indonesia terdiri atas berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang identitas kultural yang beragam termasuk agama.pada era orde baru, kehidupan beragama di Indonesia diatur melalui surat edaran Menteri dalam Negeri No. 477/704/B.A.102/4683/95 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah adalah Isalam, Kristen, Buddha, Khatolik, Hindu. Sedangkan Konghucu tidak diakui sebagai agama dan tidak boleh diajarkan di sekolah. Dalam hal itu, Gus Dur menerbitkan keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai pemulihan hak-hak sipil penganut konghucu, Etnis cina  yang slama bertahun-tahun diperlakukan sebagi kelompok minoritas, pada masa pemerintahan Gusdur meraskan kelegan yang berarti.
2.      Perhatian Presiden pada Kebebasan pers
Gusdur juga meneruskan kebijakan presiden Habibi di bidang pers,pada masa pemerinthannya terjadi pengrusakan dan penyegelan terhadap kantor harian jawa pos disurabaya yang dilakukan oleh masa pendukungnya karena dinggap memuat pemberitaan tentang berbagai kasus negative dijaringan kekuasaan presiden Gusdur. Walaupun demikian, kejadian tersebut justru di dukung oleh Gusdur yang menggap bahwa harian jawa pos telah menepuk mekanisme yang salah. Ia juga seringkali menyalahkan dunia pers yang dianggap salah mengutip berbagai pernyataan yang kontroversional. 
3.      Negosisasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Pada bulan Maret tahun 2000, pemerintahan Abdurrahman Wahid mulai melakukan negosiasi dengan GAM. Dua bulan kemudian, pemerintahan menandatangani nota kesepakatan dengan GAM
4.      Pencabutan Pelarangan Marxisme dan Leninisme
Abdurrahman Wahid juga mengusulkan agar TAP MPS No. XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan Mrxisme-Leninisme, dicabut.
5.      Membuka Hubungan dengan Israel
Abdurrahman Wahid berusaha membuka hubungan dengan Israel dan memicu kemarahan umat muslim.


C.    Studi Kasus
KONTROVERSI HUBUNGAN DAGANG INDONESIA – ISRAEL PADA MASA PEMERINTAHAN ABDURAHMAN WAHID (GUS DUR)
JAKARTA, KOMPAS.com - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mewacanakan pembentukan hubungan diplomatik antara Israel dengan Indonesia.
Wacana itu diungkap saat Netanyahu menerima kunjungan delegasi wartawan Indonesia, Senin (28/3/2016) lalu. Sontak, usulan itu menjadi polemik di Tanah Air.
Polemik mengenai hubungan Israel-Indonesia pernah mencapai titik hangatnya di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, yang lebih akrab disapa Gus Dur.
Dilansir dari arsip Harian Kompas yang terbit 26 Oktober 1999, wacana ini muncul ketika Alwi Shihab, yang saat itu akan menjabat menteri luar negeri, mengungkap kemungkinan dibukanya hubungan dagang Indonesia dengan Israel.
Pernyataan Alwi ini sekaligus tindak lanjut dari pidato Gus Dur dalam seminar "Indonesia Next" di Denpasar, Bali, sehari sebelumnya. Ketika itu, Gus Dur mengatakan bahwa Indonesia dapat melakukan kerja sama ekonomi dengan Israel tanpa membuka hubungan diplomatik. Menurut Gus Dur, hubungan diplomatik Indonesia-Israel memang belum diperlukan. Namun, hubungan dagang Indonesia-Israel itu tidak begitu saja dibuka. Indonesia, menurut Alwi, meminta syarat yang mempertimbangkan kepentingan rakyat Palestina.
"Dengan syarat kita dilibatkan dalam proses perdamaian di Timur Tengah. Maksudnya, kita sebagai negara muslim terbesar di dunia, ikut didengar," ujar Alwi Shihab di Wisma Negara (25/10/1999).   

Tanggapan Palestina dan Israel
Sebelum pernyataan Alwi, Gus Dur melakukan pertemuan dengan 16 Duta Besar negara-negara Arab, termasuk Dubes Palestina saat itu, Ribhi Y Awad.
Menurut Awad, Gus Dur mengatakan bahwa Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum bangsa Palestina mendapatkan kemerdekaan sepenuhnya.
Adapun definisi kemerdekaan yang dimaksud adalah berdirinya negara Palestina dengan ibu kota Jerussalem.
Selain itu, lanjut Awad, Indonesia juga tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum dikembalikannya seluruh wilayah Arab yang diduduki Israel, termasuk Dataran Tinggi Golan dan dipulangkannya atau dibebaskannya semua tawanan Palestina oleh Israel.
"Kami dari negara-negara Arab sangat gembira dan berterima kasih atas penegasan Pemerintah RI ini, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya," kata Awad.
Sedangkan, Deputi Menteri Luar Negeri Israel saat itu, Nawaf Musalahah, menyatakan bahwa Israel optimis hubungan dengan Indonesia meningkat di era pemerintahan Gus Dur.
"Saya optimis upaya Israel menjalin hubungan dengan Indonesia kali ini tidak mengalami hambatan, mengingat Presiden Abdurrahman Wahid tidak asing lagi bagi Israel. Ia kini tercatat sebagai anggota Institut Perdamaian Shimon Peres," kata Musalahah, dilansir Harian Kompas yang terbit 1 November 1999 dari harian Al Hayat.
Polemik terus berkembang kemudian. Namun, hingga saat ini secara resmi Indonesia memang belum membuka hubungan kerja sama ekonomi dengan Israel.
Dalam acara “Indonesia Next” di Jimbaran, Bali. 3 Hari setelah terpilih sebagai presiden ke -4 , Oktober 1999 . Gus Dur mengungkapkan keinginannya untuk membuka pintu perdagangan dengan Israel . Sontak gagasan ini langsung mendapatkan perlawanan  yang hebat dari beberapa kalangan Islam. Bahkan, mereka cenderung membawa kasus ini pada “isu agama” bukan lagi isu ekonomi dan kerjasama bilateral sebagai Negara yang berdaulat . Mereka berargumen bahwa Israel bagi sebagian umat Islam di dunia merupakan hantu sejarah yang harus dilawan. Karena dalam sejarahnya, Israel memiliki hubungan yang menyakitkan dengan umat Islam . Apalagi, “Lobi Yahudi” yang menguasai mayoritas belahan dunia maju , juga memiliki problem teologis tersendiri bagi umat Islam. Apalagi hingga kini mereka adalah penginjak-nginjak HAM terbesar seluruh dunia berkaitan dengan penjajahan mereka atas Palestina. Karenanya, kelompok ini melarang dengan tegas pemerintah untuk berhubungan dengan Israel dalam bentuk apapun. Padahal, Gus Dur telah memberikan argumentasinya bahwa sejumlah Negara Arab seperti Maroko, Tunisia, Yaman, Qatar, dan Oman sejak tercapainya Kesepakatan Oslo antara Palestina-Israel tahun 1993 sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan dagang Indonesia – Israel memiliki makna politik strategis yang lain. Tawaran membuka hubungan dagang itu sebagai bentuk tantangan pemerintah terhadap Negara Timur-Tengah yang tidak sudi berhubungan dengan Israel agar mengirimkan modal mereka ke Indonesia. Artinya, jika mereka keberatan dengan ide pemerintah Indonesia  tersebut maka sebagai gantinya Negara Timur Tengah tersebut harus bersedia membantu mempercepat proses recovery ekonomi bangsa Indonesia dengan menanamkan modal ke Indonesia. Dengan begitu mungkin saja pemerintah tersebut tidak serius dengan idenya membuka hubungan dengan Israel, karena pemerintah mengetahui kalau Palestina merupakan faktor penghambat terbesar untuk melakukan itu. Dalam konteks pembelaan kita terhadap kedaulatan  Negara Palestina, tentu berhubungan dengan Israel merupakan jalan yang ujungnya tidak dapat membantu bangsa Palestina, justru hanya akan menguntungkan popularitas beberapa elit yang “menanggulangi isu Palestina” bagi kepentingan dirinya,  dan kelompoknya dimata umat Islam Indonesia dan Timur Tengah.


















BAB IV
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Abdurrahman Wahid adalah presiden ke-4 RI, walaupun pada awal masa kepemimpinannya banyak diragukan dari berbagai pihak tetapi ternyata Abdurrahman Wahid dapat menunjukan energy yang besar dan kuat kepada masyarakat Indonesia. selain itu,beliau juga telah berhasil menjalin hubungan kerja sama dan mitra dengan negara-negara lin. Pada pertengahan 2001tampak jelas bahwa pola perilaku warisan masalalu tidak akan mudah dibuah. Tindakan Korupsi Kolusi dan Nepotisme tidak dapat terlepas dari masa pemerintahan presiden yang dikenal dengan nama Gus Dur. Masa kepresidenan yang kacau itu berakhir pada bulan juli 2001, dia berusaha dengan dekret membekukan lembaga perwakilan untuk menghindar dari tuntutan jabatan, namun tidaka da yang menghiraukan, akhirnya MPR mengadakan sidang istimewa , memberhentikan  Abdurrahman Wahiddan melantik megawati sebagai PresidenIndonesia kelima.














DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Jackson dan Sorensen. 2009. PENGANTAR STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL. Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Smith, Anthony. 2000. Journal of Contemporary Southeast Asia, Volume 22 No.3. ISEAS.
Al-Zastrouw Ng. 1999. Gus Dur, Siapa sih sampeyan? Tafsir Teolitik atas Tindakan dan Pernyataan Gusdur. Jakarta : Erlangga

Internet :
http://dikyaprianto0.blogspot.co.id/2015/06/analisis-kritis-kelebihan-dan.html

 Artikel ini dimuat dalam Harian Radar Depok, 1 Juli 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar