Makalah
Masa Pemerintahan B. J. Habibie
Mata Kuliah Sejarah Diplomasi Indonesia

Kelompok 5
Gideon Lauren
M
Wahyunugroho P
Dekki Nur
Hidayat
Tiara Ayu P
Ilmu Hubungan Internasional
Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jakarta
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada
tanggal 21 Mei 1998. Sebagai salah satu penguasa terlama di dunia, dia cukup
yakin ketika ditetapkan kembali oleh MPR untuk masa jabatan yang ketujuh pada
tanggal 11 Maret 1998, segala sesuatu akan berada di bawah kontrolnya. Tetapi
dua bulan sesudah Soeharto mengambil sumpah, Rezim Orde Baru runtuh. Ketika
mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada tanggal 19 Mei 1998, presiden yang
sudah berumur 75 tahun ini menyaksikan legitimasinya berkurang dengan cepat dan
ia ditinggalkan seorang diri.
Soeharto yang selama 32 tahun memanipulasi
eksistensi DPR/MPR untuk mengokohkan kekuasaan, akhirnya didepak oleh lembaga
yang sama, lewat pernyataan pers tanggal 18 Mei 1998 (pukul 15.30), oleh Ketua
DPR Harmoko yang didampingi oleh Ismail Hasan Meutareum, Fatimah Achmad,
Syarwan Hamid dan utusan daerah di depan wartawan dan mahasiswa menyampaikan
pernyataan sebagai berikut: “Pimpinan Dewan baik ketua maupun wakil-wakil ketua
mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa agar presiden secara arif dan
bijaksana sebaiknya mengundurkan diri”. Keterangan pers Ketua DPR itu disambut
gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR/MPR. Bahkan, DPR/MPR
sempat pula mengeluarkan ultimatum bahwa kalau sampai Jumat (22 Mei 1998)
presiden tidak mundur, MPR akan melakukan rapat dengan fraksi pada hari Senin
(25 Mei 1998). Usaha terakhir Soeharto untuk mempengaruhi rakyat dengan
menyampaikan pernyataan dihadapan pers pada tanggal 19 Mei 1998 bahwa selaku
mandataris MPR, presiden akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII dengan
membentuk Komite Reformasi, untuk lebih meyakinkan rakyat diprogramkan bahwa
tugas komite ini akan segera menyelesaikan UU Pemilu; UU Kepartaian; UU Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD; UU Anti Monopoli; UU Anti Korupsi dan hal lainnya
yang sesuai dengan tuntutan rakyat. Akan tetapi Soeharto mulai terpojok secara
politik karena 14 Menteri sepakat tidak bersedia duduk dalam Komite Reformasi tersebut. Ke-14
Menteri tersebut adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginandjar
Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Ny. Justika S.
Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan,
Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan
Tanri Abeng.
Penolakan ini melemahkan posisi Soeharto sebagai
presiden karena dukungan untuk membentuk Komite Reformasi gagal ditambah lagi
banyak desakan yang menganjurkan presiden untuk mundur. Perasaan ditinggalkan,
terpukul telah membuat Soeharto tidak punya pilihan lain kecuali memutuskan
untuk berhenti.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998, pukul 09.05,
di Istana Merdeka yang dihadiri Menhankam atau Pangab Wiranto, Mensesneg
Saadilah Mursjid, Menteri Penerangan Alwi Dahlan, Menteri Kehakiman Muladi dan
Wapres B.J. Habibie, beserta Pimpinan Mahkamah Agung, Ketua DPR, Sekjen DPR,
dihadapan wartawan dalam dan luar negeri Presiden Soeharto menyampaikan pidato
pengunduran dirinya sebagai presiden.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya Wakil
Presiden B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga
dihadapan pimpinan Mahkamah Agung, peristiwa bersejarah ini disambut dengan
haru biru oleh masyarakat terutama para mahasiswa yang berada di Gedung
DPR/MPR, akhirnya Rezim Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto berakhir dan Era
Reformasi dimulai di bawah pemerintahan B.J. Habibie
1.2 Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah, yaitu:
1.2.1
Bagaimana proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie?
1.2.2
Apa saja kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era
Reformasi?
1.2.3
Bagaimana keadaan sosial di masa Habibie?
1.2.4
Bagaimana berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu:
1.3.1
Untuk mengetahui proses pengalihan Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J.
Habibie.
1.3.2 Untuk mengetahui
kebijakan-kebijakan pada masa pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi.
1.3.3
Untuk mengetahui keadaan sosial di masa Habibie.
1.3.4
Untuk mengetahui berakhirnya masa pemerintahan B.J. Habibie.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Proses Pengalihan
Kepala Pemerintahan dari Soeharto ke B.J. Habibie
Berawal dari dampak krisis ekonomi di tahun 1997
yang melanda Kawasan Asia dan berdampak sangat luas bagi perekonomian di
Indonesia. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam pada bulan Juli 1997, membuat
rupiah semakin terpuruk. Sebagai dampaknya hampir semua perusahaan modern di
Indonesia bangkrut, yang diikuti PHK pekerja-pekerjanya, sehingga angka
pengangguran menjadi meningkat.
Krisis ini juga berimbas langsung pada sektor
moneter, terutama melalui penutupan beberapa bank yang mengalami kredit
bermasalah dan krisis likuiditas, sehingga perbankan nasional menjadi
berantakan. Hal inilah yang memunculkan krisis kepercayaan dari investor, serta
pelarian modal ke luar negeri.
Kenaikan angka kemiskinan yang melonjak pesat,
merupakan dampak krisis ekonomi di Indonesia, daya beli masyarakat desa maupun
kota semakin menurun, sehingga memicu rawan pangan dan kekurangan gizi. Di
sektor kesehatan, melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan kenaikan biaya
medis, baik harga obat-obatan, vaksin, fasilitas kesehatan yang berakibat
keadaan masyarakat semakin terjepit.
Didorong oleh kondisi yang makin parah, pada bulan
Oktober 1997 pemerintah meminta bantuan IMF (International Monetary Fund) untuk
memperkuat sektor finansial, pengetatan kebijakan viskal dan penyesuaian
struktural perbankan. Akan tetapi, pengaruh bantuan IMF sangatlah kecil dalam
membantu krisis di Indonesia. Beberapa kebijakan seperti kebijakan fiskal dan
kebijakan likuidasi. Dimana kebijakan fiskal bertujuan untuk mempertahankan
nilai tukar sedangkan kebijakan likuidasi bertujuan untuk membantu bank-bank
yang bemasalah. Kebijakan ini menerapkan standar kecukupan modal dengan
mengusahakan rekapitulasi perbankan. Namun pada kenyataannya
kebijakan-kebijakan ini dilakukan tanpa hasil yang berarti, malah IMF-lah yang
disalahkan karena justru membuat pekonomian Indonesia lebih parah selama
krisis.
Kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengatasi
krisis yang dilakukan oleh pemerintah ternyata tidak mampu memulihkan
perekonomian, dimana harga-harga bahan kebutuhan pokok tetap mengalami
peningkatan. Karena itulah masyarakat menilai pemerintah tidak berhasil dalam
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang dibuat. Hal inilah yang membuat
melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Rasa ketidakpercayaan
ini berakibat pada aksi demo mahasiswa di awal Maret 1998 yang menuntut
pemerintah menurunkan harga-harga barang dan menindaklanjuti pelaku-pelaku yang
menimbun sembako.
Banyaknya permasalahan besar yang dihadapi bangsa
sebagai akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut, mahasiswa melihat bahwa
upaya penaggulangan tidak dilakukan dengan serius. Hal ini tampak dari
penolakan mahasiswa terhadap pidato pertanggung jawaban Presiden Soeharto di
depan Sidang DPR/MPR 1998, dimana presiden sama sekali tidak memperlihatkan
rasa tanggung jawab atas musibah yang menimpa tanah air. Kemudian mahasiswa
melontarkan isu atau tuntutan mengenai pembubaran Kabinet Pembangunan VII yang
dinilai pengangkatan menterinya tidak profesional dan penuh dengan muatan
politik yang berbau Nepotisme dan Koncoisme, seperti penunjukan Putri Pak
Harto, Ny. Siti Hardianto Rukmana (Tutut) sebagai Menteri Sosial, kehadiran Bob
Hasan dalam kabinet menunjukkan ketidakprofesionalan kabinet, dan penunjukan
Wiranto Arismunanjar sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sangat
mengecewakan mahasiswa serta beberapa nama menteri yang dinilai dekat dengan
Tutut.
Puncak dari tuntutan mahasiswa agar Presiden
Soeharto turun dari jabatan terjadi pada tanggal 12 Mei 1998 di Kampus Trisakti
yang dikenal dengan Insiden Trisakti. Berawal dari aksi keprihatinan atas
musibah bangsa dan mahasiswa berusaha secara damai keluar kampus menuju Gedung
DPR/MPR untuk menyampaikan aspirasinya tetapi niat itu ditolak aparat keamanan
dan memaksa mereka kembali ke kampus. Tiba-tiba situasi berubah menjadi
kekacauan dan aparat melepaskan tembakan. Akibatnya empat mahasiswa Trisakti
tewas tertembak peluru tajam aparat keamanan. Keesokan harinya, 13 Mei 1998
mahasiswa di kampus-kampus menggelar aksi keprihatinan. Pada hari yang sama,
siang harinya terjadi kerusuhan massal berupa aksi pengerusakan dan pembakaran
fasilitas umum dengan disertai aksi penjarahan, perampokan dan pelecehan
seksual terhadap wanita etnis tertentu di Jakarta dan sekitarnya. Aksi kerusuhan
berlangsung sampai tanggal 15 Mei 1998, yang memakan korban meninggal samapi
1218 orang, itupun belum secara keseluruhan.
Pada tanggal 18 Mei 1998 sampai 22 Mei 1998 ribuan
mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR dengan tuntutan mengadakan Sidang Istimewa dengan
agenda mengganti Soeharto. Upaya Presiden Soeharto untuk meredam tuntutan
mahasiswa dan masyarakat adalah dengan membentuk Komite Reformasi. Dimana
Komite ini bertugas melaksanakan dan menyerap aspirasi masyarakat untuk
melaksanakan Reformasi. Akan tetapi terjadi penolakan 14 Menteri yang tidak
bersedia untuk duduk dalam susunan jabatan Komite Reformasi hasil Reshuffle
Kabinet Pembangunan VII, dengan penolakan itu, membuat posisi presiden terpojok
secara politik disamping sebelumnya ada desakan Ketua DPR Harmoko agar Soeharto
mengundurkan diri sebagai presiden. Situasi ini membuat Soeharto memutuskan
untuk berhenti karena desakan masyarakat yang menuntut beliau mundur sangatlah
besar dan secara politik dukungan sudah tidak ada.
Pada pagi harinya, tanggal 21 Mei 1998 di Istana
Merdeka Jakarta, Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan
Presiden RI, lewat pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri.
Usai Presiden Soeharto mengucapkan pidatonya, Wapres
B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi Presiden RI ketiga dihadapan
Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua
DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas peristiwa bersejarah itu disambut dengan
haru-biru para mahasiswa di Gedung DPR/MPR. Suasana kemenangan itu sempat
mendinginkan suasana yang sebelumnya panas dengan hujatan dan makian lengsernya
Soeharto, akan tetapi tuntutan agar Soeharto mengembalikan uang rakyat mulai
berkumandang.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai
Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan
Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie.
Dikalangan mahasiswa sikap atas pelantikan Habibie sebagai presiden terbagi
atas tiga kelompok, yaitu: pertama, menolak Habibie karena merupakan produk
Orde Baru; kedua, bersikap netral karena pada saat itu tidak ada pemimpin
negara yang diterima semua kalangan sementara jabatan presiden tidak boleh
kosong; ketiga, mahasiswa berpendapat bahwa pengalihan kekuasaan ke Habibie
adalah sah dan konstitusional.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden B.J. Habibie
mengumumkan susunan kabinet baru, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan, dimana
seiring dengan diumumkannya susunan kabinet yang baru, berarti presiden harus
membubarkan Kabinet Pembangunan VII. Akhirnya gerakan Reformasi yang dipelopori
mahasiswa mampu menumbangkan kekuasaan Orde Baru dan Era Reformasi mulai
berjalan di Indonesia, di bawah Pemerintahan B.J. Habibie. Lima isu-isu besar
yang dihapai Habibie :
1.
Masa depan refpormasi.
2.
Masa depan ABRI.
3.
Masa depan daerah-daerah yang ingin melepaskan
diri dari Indonesia.
4.
Masa depan Soeharto
keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya.
5.
Masa depan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat.
17 bulan kemudian isu pertama menunjukkan perkembangan
positif. Isu ke dua mengarah pada
pengurangan peranan militer di bidang politik. Isu ketiga terselesaikan
dalam konteks Timor-Timur namun tidak pada daerah lain, isu ke empat belum
terselesaikan dan isu kelima tetap tidak terpecahkan.
Habibie memulai jabatannya dengan kepercayaan rendah
dari aktivis mahasiswa, militer, sayap politik utama, investor luar negeri dan
perusahaan internasional.
Kondisi saat
Habibie memimpin perekonomian sedang dalam keadaan terpuruk, inflansi
ditargetkan 80% untuk satu tahun berjalan. Indonesia sedang memasuki kekurangan
panen akibat badai El NiH’o. Perusahaan besar seperti Simpati Air, PT Astra
Internasional tidak beroperasi lagi. Nilai tukar rupiah berada di bawah
Rp.10000/$ bahkan mencapai lepel Rp 15000-17000/$, 113 juta orang Indonesia (56%
dari penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan).
2.2. Kebijakan-Kebijakan
Pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie di Era Reformasi
Setelah Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya
sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998, maka pada pagi
itu juga, Wakil Presiden B.J. Habibie dilantik dihadapan pimpinan Mahkamah
Agung menjadi Presiden Republik
Indonesia ketiga di Istana Negara. Dengan berhentinya Soeharto sebagai Presiden
Republik Indonesia, maka sejak saat itu Kabinet Pembangunan VII dinyatakan
demisioner (tidak aktif).
Selanjutnya tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB,
kesempatan pertama Habibie untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan
mengumumkan susunan kabinet baru yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan
(berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di
Istana Merdeka. Dengan Keputusan Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie
memberhentikan dengan hormat para Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII.
Kabinet Reformasi Pembangunan ini terdiri dari 36 Menteri yaitu 4 Menteri
Negara dengan tugas sebagai Menteri Koordinator, 20 Menteri Negara yang
memimpin Departemen, 12 Menteri Negara yang bertugas menangani bidang tertentu.
Sebanyak 20 Menteri diantaranya adalah muka lama dari Kabinet Pembangunan VII,
dan hanya 16 Menteri baru, yaitu Syarwan Hamid, Yunus Yosfiah, Bambang
Subianto, Soleh Solahuddin, Muslimin Nasution, Marzuki Usman, Adi Sasono, Fahmi
Idris, Malik Fajar, Boediono, Zuhal, A.M. Syaefuddin, Ida Bagus Oka, Hamzah
Haz, Hasan Basri Durin, dan Panangian Siregar.
Kabinet ini mencerminkan suatu sinergi dari semua
unsur-unsur kekuatan bangsa yang terdiri dari berbagai unsur kekuatan sosial
politik dalam masyarakat. Hal yang berbeda dari sebelumnya, jabatan Gubernur
Bank Indonesia tidak lagi dimasukkan di dalam susunan Kabinet. Karena Bank
Indonesia, kata Presiden harus mempunyai kedudukan yang khusus dalam perekonomian,
bebas dari pengaruh pemerintah dan pihak manapun berdasarkan Undang-Undang.
Pada tanggal 23 Mei 1998 pagi, Presiden Habibie
melantik menteri-menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Presiden Habibie
mengatakan bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan disusun untuk melaksanakan tugas
pokok reformasi total terhadap kehidupan ekonomi, politik dan hukum. Kabinet
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan mengambil kebijakan dan
langkah-langkah pro aktif untuk mengembalikan roda pembangunan yang dalam
beberapa bidang telah mengalami hambatan yang merugikan rakyat. Kebijakan-kebijakan
pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie :
·
Pada bidang politik
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya
Kabinet Reformasi Pembangunan. Kebijakan politik yang diambil yaitu: dengan
dibebaskannya para tahanan politik pada masa Orde Baru, peningkatan kebebasan
pers, pembentukan parpol dan percepatan Pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999,
penyelesaian masalah Tomor-Timur, pengusutan kekayaan Soeharto dan
kroni-kroninya, pemberian gelar Pahlawan Reformasi bagi korban Trisakti.
A. Pembebasan Tahanan
Politik
Secara umum tindakan pembebasan tahanan politik
meningkatkan legitimasi Habibie baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini
terlihat dengan diberikannya amnesti dan abolisi yang merupakan langkah penting
menuju keterbukaan dan rekonsiliasi. Diantara yang dibebaskan tahanan politik
kaum separatis dan tokoh-tokoh tua mantan PKI,
yang telah ditahan lebih dari 30 tahun. Amnesti diberikan kepada
Mohammad Sanusi dan orang-orang lain yang ditahan setelah Insiden Tanjung
Priok.
Selain tokoh itu tokoh aktivis petisi 50 (kelompok
yang sebagian besar terdiri dari mantan jendral yang menuduh Soeharto melanggar
perinsip Pancasila dan Dwi Fungsi ABRI).
Dr Sri Bintang Pamungkas, ketua Partai PUDI dan Dr
Mochatar Pakpahan ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan K. H Abdurrahman
Wahid merupakan segelintir dari tokoh-tokoh yang dibebaskan Habibie. Selain itu
Habibie mencabut Undang-Undang Subversi dan menyatakan mendukung budaya oposisi
serta melakukan pendekatan kepada mereka yang selama ini menentang Orde Baru.
B. Kebebasan Pers
Dalam hal ini, pemerintah memberikan kebebasan bagi
pers di dalam pemberitaannya, sehingga semasa pemerintahan Habibie ini, banyak
sekali bermunculan media massa. Demikian pula kebebasan pers ini dilengkapi
pula oleh kebebasan berasosiasi organisasi pers sehingga organisasi alternatif
seperti AJI (Asosiasi Jurnalis Independen) dapat melakukan kegiatannya. Sejauh
ini tidak ada pembredelan-pembredelan terhadap media tidak seperti pada masa
Orde Baru. Pers Indonesia dalam era pasca-Soeharto memang memperoleh kebebasan
yang amat lebar, pemberitaan yang menyangkut sisi positif dan negatif kebijakan
pemerintah sudah tidak lagi hal yang dianggap tabu, yang seringkali sulit
ditemukan batasannya. Bahkan seorang pengamat Indonesia dari Ohio State
University, William Liddle mengaku sempat shock menyaksikan isi berita televisi
baik swasta maupun pemerintah dan membaca isi koran di Jakarta, yang kesemuanya
seolah-olah menampilkan kebebasan dalam penyampaian berita, dimana hal seperti
ini tidak pernah dijumpai sebelumnya pada saat kekuasaan Orde Baru. Cara
Habibie memberikan kebebasan pada Pers adalah dengan mencabut SIUPP.
C. Pembentukan Parpol dan
Percepatan pemilu dari tahun 2003 ke tahun 1999
Presiden RI ketiga ini melakukan perubahan dibidang
politik lainnya diantaranya mengeluarkan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, UU No. 4 Tahun 1999 tentang MPR
dan DPR.
Itulah sebabnya setahun setelah reformasi Pemilihan
Umum dilaksanakan bahkan menjelang Pemilu 1999, Partai Politik yang terdaftar
mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi
sebanyak 98 partai, namun yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu hanya 48 Parpol
saja. Selanjutnya tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan Pemilihan Umum
Multipartai. Dalam pemilihan ini, yang hasilnya disahkan pada tanggal 3 Agustus
1999, 10 Partai Politik terbesar pemenang Pemilu di DPR, adalah :
1.
Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan (PDI-P) pimpinan Megawati Soekarno Putri meraih 153 kursi.
2.
Partai Golkar pimpinan Akbar Tanjung meraih
120 kursi.
3.
Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pimpinan Hamzah Haz meraih 58 kursi.
4.
Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) pimpinan H. Matori Abdul Djalil meraih 51 kursi.
5.
Partai Amanat Nasional
(PAN) pimpinan Amein Rais meraih 34 kursi.
6.
Partai Bulan Bintang
(PBB) pimpinan Yusril Ihza Mahendra meraih 13 kursi.
7.
Partai Keadilan (PK) pimpinan
Nurmahmudi Ismail meraih 7 kursi.
8.
Partai Damai Kasih
Bangsa (PDKB) pimpinan Manase Malo meraih 5 kursi.
9.
Partai Nahdlatur Ummat
pimpinan Sjukron Ma’mun meraih 5 kursi .
10.
Partai Keadilan dan
Persatuan (PKP) pimpinan Jendral (Purn) Edi Sudradjat meraih 4 kursi.
D. Penyelesaian Masalah
Timor Timur
Sejak terjadinya insident Santa Cruz, dunia
Internasional memberikan tekanan berat kepada Indonesia dalam masalah hak asasi
manusia di Tim-Tim. Bagi Habibie Timor-Timur adalah kerikil dalam sepatu yang merepotkan
pemerintahannya, sehingga Habibie mengambil sikap pro aktif dengan menawarkan
dua pilihan bagi penyelesaian Timor-Timur yaitu di satu pihak memberikan
setatus khusus dengan otonomi luas dan dilain pihak memisahkan diri dari RI.
Otonomi luas berarti diberikan
kewenangan atas berbagai bidang seperti : politik ekonomi budaya dan lain-lain
kecuali dalam hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan serta moneter dan
fiskal. Sedangkan memisahkan diri berarti secara demokratis dan konstitusional
serta secara terhorman dan damai lepas dari NKRI.
Sebulan menjabat sebagai Presiden habibie telah
membebaskan tahanan politik Timor-Timur, seperti Xanana Gusmao dan Ramos Horta.
Sementara itu di Dili pada tanggal 21 April 1999,
kelompok pro kemerdekaan dan pro intergrasi menandatangani kesepakatan damai
yang disaksikan oleh Panglima TNI Wiranto, Wakil Ketua Komnas HAM Djoko Soegianto dan Uskup Baucau Mgr. Basilio
do Nascimento. Tanggal 5 Mei 1999 di New York Menlu Ali Alatas dan Menlu
Portugal Jaime Gama disaksikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan menandatangani
kesepakan melaksanakan penentuan pendapat di Timor-Timur untuk mengetahui sikap
rakyat Timor-Timur dalam memilih kedua opsi di atas. Tanggal 30 Agustus 1999
pelaksanaan penentuan pendapat di Timor-Timur berlangsung aman. Namun keesokan
harinya suasana tidak menentu, kerusuhan dimana-mana. Suasana semakin bertambah
buruk setelah hasil penentuan pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999
yang menyebutkan bahwa sekitar 78,5 % rakyat Timor-Timur memilih merdeka. Pada
awalnya Presiden Habibie berkeyakinan bahwa rakyat Timor-Timur lebih memilih
opsi pertama, namun kenyataannya keyakinan itu salah, dimana sejarah mencatat
bahwa sebagian besar rakyat Timor-Timur memilih lepas dari NKRI. Lepasnya
Timor-Timur dari NKRI berdampak pada daerah lain yang juga ingin melepaskan
diri dari NKRI seperti tuntutan dari GAM di Aceh dan OPM di Irian Jaya, selain
itu Pemerintah RI harus menanggung gelombang pengungsi Timor-Timur yang pro
Indonesia di daerah perbatasan yaitu di Atambua. Masalah Timor-Timur tidaklah
sesederhana seperti yang diperkirakan Habibie karena adanya bentrokan senjata
antara kelompok pro dan kontra kemerdekaan di mana kelompok kontra ini masuk ke
dalam kelompok militan yang melakukan teror pembunuhan dan pembakaran pada
warga sipil. Tiga pastor yang tewas adalah pastor Hilario, Fransisco, dan
dewanto. Situasi yang tidak aman di Tim-Tim memaksa ribuan penduduk mengungsi
ke Timor Barat, ketidak mampuan Indonesia mencegah teror, menciptakan keamanan
mendorong Indonesia harus menerima pasukan internasional.
E. Pengusutan Kekayaan
Soeharto dan Kroni-kroninya
Mengenai masalah KKN, terutama yang melibatkan
Mantan Presiden Soeharto pemerintah dinilai tidak serius menanganinya dimana
proses untuk mengadili Soeharto berjalan sangat lambat. Bahkan, pemerintah
dianggap gagal dalam melaksanakan Tap MPR No. XI / MPR / 1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
terutama mengenai pengusutan kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga dan
kroni-kroninya. Padahal mengenai hal ini, Presiden Habibie - dengan Instruksi
Presiden No. 30 / 1998 tanggal 2 Desember 1998 – telah mengintruksikan Jaksa
Agung Baru, Andi Ghalib segera mengambil tindakan hukum memeriksa Mantan
Presiden Soeharto yang diduga telahv
melakukan
praktik KKN. Namun hasilnya tidak memuaskan karena pada tanggal 11 Oktober
1999, pejabat Jaksa Agung Ismudjoko mengeluarkan SP3, yang menyatakan bahwa
penyidikan terhadap Soeharto yang berkaitan dengan masalah dana yayasan dihentikan.
Alasannya, Kejagung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan,
kecuali menemukan bukti-bukti baru. Sedangkan dengan kasus lainnya tidak ada
kejelasan.
Bersumber dari masalah di atas, yaitu pemerintah
dinilai gagal dalam melaksanakan agenda Reformasi untuk memeriksa harta
Soeharto dan mengadilinya. Hal ini berdampak pada aksi demontrasi saat Sidang
Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998, dan aksi ini mengakibatkan bentrokan
antara mahasiswa dengan aparat. Parahnya pada saat penutupan Sidang Istimewa
MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rangkaian penembakan membabi-buta berlangsung
sejak pukul 15.45 WIB sampai tengah malam. Darah berceceran di kawasan
Semanggi, yang jaraknya hanya satu kilometer dari tempat wakil rakyat
bersidang. Sampai sabtu dini hari, tercatat lima mahasiswa tewas dan 253
mahasiswa luka-luka. Karena banyaknya korban akibat bentrokan di kawasan
Semanggi maka bentrokan ini diberi nama ”Semanggi Berdarah” atau ”Tragedi
Semanggi”.
F. Pemberian Gelar
Pahlawan Reformasi bagi Korban Trisakti
Pemberian gelar Pahlawan Reformasi pada para
mahasiswa korban Trisakti yang menuntut lengsernya Soeharto pada tanggal 12 Mei
1998 merupakan hal positif yang dianugrahkan oleh pemerintahan Habibie, dimana
penghargaan ini mampu melegitimasi Habibie sebagai bentuk penghormatan kepada
perjuangan dan pengorbanan mahasiswa sebagai pelopor gerakan Reformasi.
·
Pada Bidang Ekonomi
Di dalam pemulihan ekonomi, secara signifikan
pemerintah berhasil menekan laju inflasi dan gejolak moneter dibanding saat
awal terjadinya krisis. Namun langkah dalam kebijakan ekonomi belum sepenuhnya
menggembirakan karena dianggap tidak mjempunyai kebijakan yang kongkrit dan
sistematis seperti sektor riil belum pulih. Di sisi lain, banyaknya kasus
penyelewengan dana negara dan bantuan luar negeri membuat Indonesia kehilangan
momentum pemulihan ekonomi. Pada tanggal 21 Agustus 1998 pemerintah membekukan
operasional Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Dagang Nasional
Indonesia. Kemudian di awal tahun selanjutnya kembali pemerintah melikuidasi 38
bank swasta, 7 bank diambil-alih pemerintah dan 9 bank mengikuti program
rekapitulasi.
Untuk masalah distribusi sembako utamanya minyak
goreng dan beras, dianggap kebijakan yang gagal. Hal ini nampak dari tetap
meningkatnya harga beras walaupun telah dilakukan operasi pasar, ditemui juga
penyelundupan beras keluar negeri dan penimbunan beras.
·
Pada Bidang Manajemen
Internal ABRI
Pada masa transisi di bawah Presiden B.J. Habibie,
banyak perubahan-perubahan penting terjadi dalam tubuh ABRI, terutama dalam
tataran konsep dan organisatornya.
Pertimbangan mendasar yang melatarbelakangi
keputusan politik dan akademis reformasi internal TNI, antara lain :
1.
Prediksi tantangan TNI
ke depan di abad XXI begitu besar, komplek dan multidimensional, atas dasar itu
TNI harus segera menyesuaikan diri.
2.
TNI senantiasa harus
mau dan mampu mendengar serta merespon aspirasi rakyat.
3.
TNI mengakui secara
jujur, jernih dan objektif, sebagai
komponen bangsa yang lainnya, bahwa di masa lalu ada kekurangan dan
distorsi sebagai konsekuensi logis dari format politik Orba
ABRI telah melakukan kebijakan-kebijakan sebagai
langkah perubahan politik internal, yang berlaku tanggal 1 April 1999.
Kebijakan tersebut antara lain: pemisahan POLRI dari ABRI, Perubahan Stat
Sosial Politik menjadi Staf Teritorial, Likuidasi Staf Karyawan, Pengurangan
Fraksi ABRI di DPR, DPRD I/II, pemutusan hubungan organisatoris dengan partai
Golkar dan mengambil jarak yang sama dengan parpol yang ada, kometmen dan
netralitas ABRI dalam Pemilu dan perubahan Staf Sospol menjadi komsos serta
pembubaran Bakorstanas dan Bakorstanasda.
Perubahan di atas dipandang positif oleh berbagai
kalangan sebagai upaya reaktif ABRI terhadap tuntutan dan gugatan dari
masyarakat, khususnya tentang persoalan eksis peran Sospol ABRI yang
diimplementasikan dari doktrin Dwi Fungsi ABRI.
2.3 Kadaan Sosial Di
Masa Habibie
Kerusuhan antar kelompok yang sudah
bermunculan sejak tahun 90-an semakin meluas dan brutal, konflik antar kelompok
sering terkait dengan agama seperti di Purworejo juni 1998 kaum muslim
menyerang lima gereja, di Jember adanya perusakan terhadap toko-toko milik
cina, di Cilacap muncul kerusuhan anti cina, adanya teror ninja bertopeng
melanda Jawa Timur dari malang sampai Banyuangi. Isu santet menghantui
masyarakat kemudian di daerah-daerah yang ingin melepaskan diri seperti Aceh,
begitu juga dengan Papua semakin keras keinginan membebaskan diri. Juli 1998
OPM mengibarkan bendera bintang kejora sehingga mendapatkan perlawanan fisik
dari TNI.
2.4. Berakhirnya Masa
Pemerintahan B.J. Habibie
Dengan mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan
presiden pada tanggal 21 mei 1998, maka Wakil Presiden B.J. Habibie menggantikan kedudukannya sebagai presiden.
Pelimpahan ini memunculkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Hal ini
menunjukkan bahwa legitimasi pemerintahan B.J. Habibie sangat lemah, karena
keberadaan Habibie dianggap sebagai suatu paket warisan pemerintahan Soeharto.
Bahkan beberapa kolompok menuntut pembentukan pemerintahan transisi. Hal
lain yang melemahkan legitimasi Habibie
dalam memimpin pemerintahan ialah ia tidak dipilih secara luber dan jurdil
sebagai presiden dan merupakan satu paket pemilihan pola musyawarah mufakat
dengan Soeharto.
Selain itu, beberapa tokoh memberi komentar
pemerintahan Habibie sebagai ”pemerintahan transisi” (Nurcholis Majid). ”Belum
lepas dari bayang-bayang Soeharto” (Amien Rais), ”Melakukan reformasi hanya
pada kulitnya saja” dan ”perpanjangan rezim mantan Presiden Soeharto”
(Megawati). Komentar-komentar tersebut makin melemahkan legitimasi Habibie
sebagai presiden.
Meskipun terdapat berbagai kemajuan dan keberhasilan
yang dicapai oleh pemerintahan Habibie. Dimana sejak Kabinet Reformasi
Pembangunan dibentuk, seperti penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR,
penyelenggaraan pemilu dan reformasi di bidang politik, sosial, hukum, dan
ekonomi.
Di tengah-tengah
upaya pemerintahan Habibie memenuhi tuntutan reformasi, pemerintah Habibie
dituduh melakukan tindakan yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai
masalah Timor-Timur. Pemerintah dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu
dengan DPR/MPR sebelum menawarkan opsi kedua kepada masyarakat Timor-Timur.
Dalam jajak pendapat terdapat dua opsi yang ditawarkan di Indonesia di bawah
Presiden B.J. Habibie, yaitu: otonomi luas bagi Timor-Timur dan kemerdekaan
bagi Timor-Timur. Akhirnya tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan penentuan
pendapat di Timor-Timur berlangsung aman dan dimenangkan oleh kelompok Pro
Kemerdekaan yang berarti Timor-Timur lepas dari wilayah NKRI. Masalah itu tidak
berhenti dengan lepasnya Timor-Timur, setelah itu muncul tuntutan dari dunia
Internasional mengenai masalah pelanggaran HAM yang meminta pertanggungjawaban
militer Indonesia sebagai penanggungjawab keamanan pasca jajak pendapat. Hal
ini mencoreng Indonesia di Dunia Internasional.
Selain kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur
tersebut, terjadi kasus yang sama seperti di Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Irian Jaya lewat Organisasi
Papua Merdeka (OPM), dengan kelompok separatisnya yang menuntut kemerdekaan
dari wilayah Republik Indonesia.
Pada tanggal 1-21 Oktober 1999, MPR mengadakan Sidang
Umum. Dalam suasana Sidang Umum MPR yang digelar dibawah pimpinan Ketua MPR
Amien Rais, tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie menyampaikan pidato
pertanggungjawabannya di depan sidang dan terjadi penolakan terhadap
pertanggungjawaban presiden sebagai Mandataris MPR lewat Fraksi PDI-Perjuangan,
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia dan
Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa. Pada umumnya, masalah-masalah yang dipersoalkan
oleh Fraksi-fraksi tersebut adalah masalah Timor-Timur, KKN termasukan
pengusutan kekayaan Soeharto, dan masalah HAM. Sementara itu, di luar Gedung
DPR/MPR yang sedang bersidang, mahasiswa dan rakyat yang anti Habibie bentrok
dengan aparat keamanan. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena
Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR
Amien Rais menutup Rapat Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian
pertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden
habibie mengatakan bahwa dirinya mengundurkan diri dari pencalonan presiden.
Habibie juga iklas terhadap penolakan pertanggungjawabannya oleh MPR. Menyusul
penolakan MPR terhadap pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie dan
pengunduran Habibie dalam bursa calon presiden, memunculkan dua calon kuat
sebagai presiden, yaitu Megawati dan Abdurrahman Wahid semakin solid, setelah
calon PresidenYusril Ihza Mahendra dari Fraksi Partai Bulan Bintang
mengundurkan diri melalui voting, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia keempat dan dilantik dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 untuk masa
bakti 1999-2004. Tanggal 21 Oktober 1999 Megawati terpilih menjadi Wakil
Presiden RI dengan Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 mendampingi Presiden
Abdurrahman Wahid. Terpilihnya Abdurrahman Wahid dan Megawati sebagai Presiden
dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 1999-2004 menjadi akhir
pemerintahan Presiden Habibie dengan TAP MPR No. III/MPR/1999 tentang
Pertanggungjawaban Presiden RI B.J. Habibie.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta,
Presiden Soeharto menyatakan dirinya berhenti dari jabatan Presiden RI, lewat
pidatonya dihadapan wartawan dalam dan luar negeri. Usai Presiden Soeharto
mengucapkan pidatonya, Wapres B.J. Habibie langsung diangkat sumpahnya menjadi
Presiden RI Ketiga dihadapan Pimpinan Mahkamah Agung, yang disaksikan oleh
Ketua DPR dan Wakil-Wakil Ketua DPR. Teriakan-teriakan kemenangan atas
peristiwa bersejarah itu disambut dengan haru-biru para mahasiswa di Gedung
DPR/MPR.
Naiknya B.J. Habibie menggantikan Soeharto sebagai
Presiden RI ketiga mengundang perdebatan hukum dan kontroversial, karena Mantan
Presiden Soeharto menyerahkan secara sepihak kekuasaan kepada Habibie. Meskipun
demikian pada tanggal 22 Mei 1998 pukul 10.30 WIB, kesempatan pertama Habibie
untuk meningkatkan legitimasinya yaitu dengan mengumumkan susunan kabinet baru
yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan (berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 122 / M Tahun 1998) di Istana Merdeka. Dengan Keputusan
Presiden tersebut di atas, Presiden Habibie memberhentikan dengan hormat para
Menteri Negara pada Kabinet Pembangunan VII. Habibie memimpin Indonesia dengan
sedikit kepercayaan, ia memimpin Indonesia dalam keadaan jatuh.
Ada berbagai langkah-langkah kebijakan yang
dilaksanakan pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie setelah terbentuknya
Kabinet Reformasi Pembangunan, antara lain: kebijakan di bidang politik,
kebijakan pada bidang ekonomi, dan kebijakan pada bidang Manajemen Internal
ABRI.
Di tengah-tengah upaya pemerintahan Habibie memenuhi
tuntutan reformasi, pemerintah Habibie dituduh melakukan tindakan yang
bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor-Timur.
Pada tanggal 14 Oktober 1999 Presiden Habibie
menyampaikan pidato pertanggungjawabannya di depan Sidang Umum MPR namun
terjadi penolakan terhadap pertanggungjawaban presiden karena Pemerintahan
Habibie dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rezim Orba.
Kemudian pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup Rapat
Paripurna sambil mengatakan, ”dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B.J.
Habibie ditolak”. Pada hari yang sama Presiden habibie mengatakan bahwa dirinya
mengundurkan diri dari pencalonan presiden.
3.2. Saran
Sebaiknya kita sebagai generasi muda janganlah cepat
mengambil tindakan yang dapat merugikan semua kalangan seperti tawuran atau
demo karena semua yang kita lakukan haruslah berdasarkan akal sehat sehingga
apa kita perbuat tidak sampai memakan korban jiwa. Dan bagi pemerintah atau
aparat janganlah cepat-cepat mengambil tindakan seperti mengeluarkan senjata
(pistol) apabila masyarakat atau mahasiswa yang melakukan demo. Sebaiknya
ajaklah mereka berunding dan mencari jalan keluar yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dari
Buku
Ricklefs,
M.C.2005. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi.
Simanjuntak.S.H.
2003.Kabinet-Kabinet Republik Indonesia. Jakatra: PT Ikrar Mandiri Abadi
Setyohadi.tuk.
2004. Perjalan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa. Bogor: Rajawali Corpuration.
Jasmi,
Khairul. 2002. Eurico Guterres: Melintas Badai Politik Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Kencana
Syafiie, Inu, Azhari. 2005. Sistem Politik Indonesia. Bandung: PT. Refika
Aditama
Soemardjan,
Selo. 1999. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Dari Internet
mantap makalahnya
BalasHapus