Senin, 28 Maret 2016

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Dekki Nur Hidayat - 2014230119)

Nama : Dekki Nur Hidayat
Nrp : 2014230119
Mata Kuliah : Sejarah Diplomasi Indonesia

Hubungan Indonesia Dengan Amerika Serikat Setelah Kemerdekaan

Ketika Indonesia pertama kali dikenalkan kepada Amerika Serikat, para pemegang kekuasaan Nama : Martha Maghfiroh
NRP : 2014230121
Matkul : Sejarah Diplomasi Indonesia

DIPLOMASI INDONESIA-AMERIKA PASCA KEMERDEKAAN (1955-1965)
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan suasana demokrasi dengan kekerasan. Pemilihan umum pertama yang dilaksanakan tahun 1955, tidak menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.  Pemerintahan yang masih diatur oleh pemerintah pusat menyebabkan tertinggalnya daerah-daerah terpencil. Pada saat itu pemerintah lebih fokus dengan pulau jawa sehingga daerah-daerah di luar pulau jawa merasa di anak tirikan dan timbul gerakan-gerakan revolusioner.
Masyarakat Indonesia menganggap bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta lebih condong ke komunis, hal tersebut terlihat dari pemerintahan Soekarno yang anti barat. Ranah minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Bung Karno dan membawa rakyat minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air juga timbul pembrontakan yang senada dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA(pemerintah rakyat semesta). Pada saat pembrontakan terjadi di tahun 1959 sebenarnya Amerika Serikat sudah ingin ikut campur untuk mendukung PERMESTA/PRRI, motifnya adalah AS khawatir pengaruh komunisme masuk ke Indonesia.
Pasca kemerdekaan , Indonesia seperti lebih condong ke UNISOVIET diaman ideology yang mereka anut adalah komunis. Sejak 1917 pada masa pemerintahan presiden Woodrow Wilson, AS berusaha mengakhiri komunisme namun tidak berjalan efektif karena masih fokus menangani perang dunia I dan II yang memakan banyak biaya. Pada masa pemerintahan Truman, AS kemudian mengeluarkan Truman doctrine dan Marshall plan guna membendung penyebaran komunisme di Eropa dan Asia. Dari sinilah, keterlibatan diplomasi AS hingga nantinya berujung pada bantuan terhadap pemberontakan PRRI/PERMESTA.
Pada saat itu gejolak politik Indonesia memberikan Amerika Serikat yang memiliki  kepentingan menjadikan Indonesia sebagai fokus dominan dari Marshal plan. Upaya AS menjadikan Indonesia sebagai sahabat dilatar belakangi oleh sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah. AS khawatir pengaruh komunis dari UNISOVIET dan Cina akan membatasi akses AS untuk mengeksplor SDA Indonesia.
Intensi AS dari yang semula hanya ingin mencegah penyebaran komunisme di Indonesia mejadi peningkatan tajam hingga berujung pada keputusan untuk membantu PRRI/PERMESTA yang disebabkan oleh respon dari Soekarno dan kondisi domestik Indonesia periode 1950-an meyakinkan AS bahwa komunisme sudah menjadi ancaman serius. Banyak penolakan yang dilakukan Soekarno pada saat itu diartikan AS sebagai kecenderungan Indonesia bergabung dengan komunis. Kekhawatiran AS terkait penyebaran komunisme di Indonesia semakin  meningkat ketika PNI dan PKI kemudian menjadi dua partai pemenang dalam pemilihan umum 1955 mengalahkan partai Masyumi yang didukung oleh AS. Sampai pada titik ini, AS melihat bahwa tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Keterlibatan AS pada pembrontakan PRRI dan PERMESTA ditandai melalui campur tangan Central Intelligence Agency(CIA) milik pemerintah AS untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Tahun 1957-1958, CIA memberikan infiltrasi senjata-senjata dan personil militer. Januari 1958, terlihat jelas Amerika Serikat melakuakn segala upaya dalam rangka memperkuat gerakan anti komunis di Indonesia. Operasi ini dibawah kepemimpinan Eisenhower dan Dulles yang disebut HAIK. Dalam membatu pembrontakan di Indonesia, AS telah mengeluarkan dana sebesar US$ 7 juta serta peralatan militer dan personilnya. Keterlibatan AS dalam peristiwa PRRI/PERMESTA  tidak hanya dalam dukungan persenjataan, namun juga melalui propaganda-propaganda yang dilakukannya. CIA kemudian berencana membuat sebuah film dokumenter berjudul Happy days yang menceritakan kedekatan presiden Soekarno dengan wanita Rusia, yang menandakan Soekarno telah jatuh ke tangan UNI SOVIET. Diplomasi yang dilakukan AS terhadap masyarakat Indonesia dengan cara membantu pemberontak PRRI/PERMESTA tidak mencapai keberhasilan. Namun CIA memiliki taktik lain dengan cara memberikan bantuan militer kepada ABRI . bantuan tersebut pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada eskalasi konflik dalam negeri, terutama yang berhubungan dengan berbagai usaha penumpasan PKI dan antek-anteknya. Soekarno yang pada saat itu semakin menunjukkan orientasi politik ke kiri juga merupakan tujuan dari berbagai upaya penumpasan PKI ini. Peristiwa Gestapu/G-30S-PKI kemudian membuktikan betapa sebuah dukungan dari AS pada Nasution dkk. kemudian sangat berpengaruh dalam upaya penggulingan Soekarno tersebut.蜉 Pada tahun 1965, keinginan AS terasa terkabul ketika Presiden Soekarno tuu dan digantikan oleh Soeharto. Hal tersebut dianggap oleh presiden AS, Richard M Nixon sebagai terbukanya upeti besar dari Asia .







Sumber:
Erika, dkk. 2009. Diplomasi Indonesia-Amerika Pasca Kemerdekaan. http://www.docs-engine.com/pdf/1/diplomasi-indonesia-amerika-pasca-kemerdekaan.html. Diakses pada tanggal 25 maret 2016.
Samantho, Ahmad. 2014. Peran CIA pada kasus PRRI, Dusta Amerika Atas Indonesia. https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/06/09/peran-cia-pada-kasus-prri-dusta-amerika-atas-indonesia/. Diakses pada tanggal 25 Maret 2016.
 Republik Indonesia tidak memiliki seorangpun dengan pengalaman perang seperti Julius Tahija. Julius Tahija merupakan satu-satunya orang Indonesia dengan kedudukan tertinggi yang mengingatkan betapa karyawan perusahaan mereka dipaksa untuk mengalami banyak usaha untuk merepotkan mereka termasuk sesi-sesi indoktrinisasi anti kapitalisme berjam-jam lamanya tiap hari, tetapi kedua pemimpin utama RI, Soekarno – Hatta malah bekerjasama dengan musuh AS, Uni Soviet dalam ikatan kebencian bersama kepada kolonialisme yang merupakan prinsip bagi AS tetapi merupakan persoalan bagi RI yang memandang penetrasi komunis terhadap Negara-negara di Eropa sebagai ancaman besar. Pada tahun 1910, Amerika Serikat secara resmi memasuki iklim industri di Indonesia dengan cara memasuki industri karet Indonesia sebagai mitra Belanda.
Seperti yang dapat dilihat saat ini, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat terlihat bersahabat dimana Amerika Serikat memiliki peran penting di beberapa sektor di Indonesia. Namun dalam dinamika hubungan persahabatan keduanya ini, hubungan antar kedua negara tak selalu berjalan mulus. Kadangkala hubungan keduanya merenggang dan kembali membaik. Hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat sebenarnya sudah terjalin sebelum Indonesia merdeka, namun hubungan diplomatik antar keduanya resmi setelah adanya penempatan Duta Besar di masing-masing negara. Amerika Serikat menempatkan Florace M Chochran sebagai Duta Besar pertama Amerika Serikat di Jakarta pada 28 Desember 1949 sedangkan Indonesia  baru menempatkan Duta Besarnya yaitu Ali Sostro Amodjojo pada 20 Februari 1950.
Hubungan yang dinamis antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini sebenarnya dipengaruhi oleh  pimpinan masing-masing-masing negara. Hubungan antar kedua negara ini bergantung pada ideologi dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pemimpin seperti ketika era Soekarno dimana hubungan keduanya merenggang namun ketika era Soeharto hingga kini, hubungan keduanya cenderung baik bahkan  bersahabat. Begitu juga dengan pemimpin Amerika Serikat seperti pada era Nixon dimana hubungan Indonesia dan Amerika berjalan sangat baik dengan meningkatnya bantuan Amerika Serikat ke Indonesia. Hal lain yang membuat hubungan keduanya dinamis juga adanya unsur kepentingan nasional masing negara dimana Indonesia memiliki posisi yang lemah dan bergantung pada bantuan Amerika Serikat sedangkan Amerika Serikat juga gencar mempromosikan ideologi liberal, perang terhadap terorisme dan demokrasi di berbagai negara. Hubungan antar keduanya dinilai cukup sejalan dengan adanya beberapa kesamaan seperti anti-komunisme dan perang terhadap terorisme.
Pandangan AS terhadap Indonesia berubah total pada awal tahun 1946 disaring melalui Eropa. Pada 17 Januari 1949, di tandatangani perjanjian Linggarjati yang berakhir pada kegagalan. Kemudian dilanjutkan oleh perundingan Renville. Pada titik inilah AS mulai melakukan diplomasi politiknya melalui utusannya Frank Porter Graham dengan melakukan langkah yang dianggap gagal dan kembali ke AS di University of North Carolina. Selanjutnya Graham digantikan Merle Cochan diposisi Komisi Penengah Jasa Baik. Cochran membuat sebuah rencana untuk melacarkan dan mempercepat Perundingan Renville ini, yaitu dengan membuat “Cochran Plan” yang berisi agar Belanda secara step by step memberikan kedaulatan pada Indonesia. Usaha yang dilakukan oleh Cochran untuk memberi tahu anggota dan staff dari Komisi Jasa Baik di Kaliurang digagalkan oleh kantor telegraf yang dikuasai Belanda. Isi pesan Cochran adalah: “bahwa satu-satunya wakil RI yang bebas di Batavia gagal melakukan komunikasi dengan beberapa pemimpin di Yogyakarta”.
Selain itu juga muncul pembrontakan PKI di Madiun. Walter Foote, kepala perwakilan AS di Hindia Belanda mendukung dengan jalan membujuk pemerintahan Perdana Menteri Syahrir guna menerima suatu persetujuan gencatan senjata pada bulan Oktober 1946. Lalu pemerintahan AS sedikit member sumbangan terhadap perundingan menuju kepada penyelesaian politik secara keseluruhan. Semenjak Perjanjian Linggarjati, pemerintahan Hindia Belanda mengeluarkan beberapa dekrit, salah satu dekritnya yang dikeluarkan pada tanggal 27 Januari 1947 yaitu melarang pengapalan ke pelabuhan-pelabuhan RI. Secara kebetulan, ada sebuah kapal AS, Martin Behrman sedang akan merapat ke pelabuhan Cirebon guna memuat komoditi karet. Dekrit tersebut merupakan embargo bagi RI yang sangat merugikan, dan potensi kerugian senilai 3 juta US$. Washington mencatatkan bahwa dekrit-dekrit yang dikeluarkan oleh Belanda menghalangi ekspor-impor komoditi. Sewaktu GOC AS sedang memulai tugasnya di Indonesia, sebuah delegasi dari Indonesia tengah bersiap untuk melakukan perjalanan ke New York dalam rangka menjalankan hak hubungan luar negeri dan perdagangan internasional yang diakui dalam perjanjian Renville. GOC sendiri adalah komite yang dibentuk untuk mengawasi perundingan antara Indonesia dan Belanda.
Salah satu tokoh penting dalam sejarah diplomasi Indonesia dan Amerika adalah Sutan Syahrir. Kontroversi masih berlangsung sampai saat ini, soal bagaimana menilai perjuangan Syahrir dalam meja diplomasi. Sebagian orang menyebut dirinya terlalu kompromis. Tetapi ada juga yang menilai, tanpa sang “Bung Kecil” di meja perundingan, Indonesia tidak akan seperti saat ini. Pada masa perjuangan kemerdekaan, Syahrir adalah tokoh yang kerap tampil memimpin delegasi diplomasi. Semua strategi politik diletakkan di pundaknya agar kedaualatan Indonesia diakui Belanda dan negara-negara lain. Tidak semua sepakat dengan apa yang telah dihasilkannya di meja runding. Bahkan, dirinya pernah diculik oleh sebuah batalion tentara Republik Indonesia (RI). Syahrir juga memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan yang diadakan di Bukit Linggarjati, Cirebon pada 15 November 1946.
Hubungan Indonesia dan Amerika Serikat mulai membaik ketika kasus Pembebasan Irian Barat. Belanda yang merupakan sekutu Amerika Serikat mengklaim akan Irian Barat yang akhirnya membuat Indonesia meminta bantuan militer ke Uni Soviet. Uni Soviet pun mengirim bantuan militer ke Irian Barat untuk mengusir Belanda yang menduduki Irian Barat. Melihat tindakan ini, Kennedy yang pada saat itu merupakan presiden Amerika Serikat pun geram dan memaksa Belanda untuk pergi dari Irian Barat karena Amerika Serikat tak mau melihat Belanda porak poranda akibat serangan militer Uni Soviet. Selain itu, Amerika juga meminta Belanda berunding dengan Indonesia terkait masalah Irian Barat secara damai dengan memberi syarat yang menguntungkan Indonesia, hal ini dilakukan Amerika Serikat takut melihat Indonesia yang mulai berhubungan baik dengan Uni Soviet.
Selain membantu Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan, AS pun memiliki tujuan lain, yaitu ingin membendung pengaruh komunisme yang didengungkan oleh Uni Sovyet. Di sisi lain, Amerika ingin menancapkan hegemoni perekonomiannya dengan berusaha mengusai sumber daya alam yang melimpah di Indonesia. AS juga berupaya menggulingkan pemerintahan Soekarno Hatta. Dimasa Perang Dingin, RI telah lama berusaha menarik perhatian AS. Presiden Soekarno pun memiliki kekhawatiran sendiri bahwa AS akan berusaha menarik Indonesia ke dalam Perang Dingin. Soekarno mempunyai alasan pragmatis yang sangat kuat untuk menghindari asosiasi Perang Dingin dengan AS. Kehidupan politik Indonesia pada tahun 1950 bertumpu pada landasan yang mudah menguap. Dari tahun 1945 hingga 1950 Indonesia telah sepuluh kali dengan Soekarno tetap menjadi pucuk pimpinannya.

Referensi :
(http://www.academia.edu/9989140/Dinamika_Hubungan_Indonesia_-_Amerika_Serikat)
(http://pengantardiplomasi.blogspot.co.id/2010/05/sejarah-diplomasi-indonesia-amerika.html)

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Martha Mahfiroh - 2014230121)

Nama : Martha Maghfiroh
NRP : 2014230121
Matkul : Sejarah Diplomasi Indonesia

DIPLOMASI INDONESIA-AMERIKA PASCA KEMERDEKAAN (1955-1965)
Suasana demokrasi liberal di tahun 1950-an telah menimbulkan kekacauan dan pergolakan suasana demokrasi dengan kekerasan. Pemilihan umum pertama yang dilaksanakan tahun 1955, tidak menghilangkan ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan sosial.  Pemerintahan yang masih diatur oleh pemerintah pusat menyebabkan tertinggalnya daerah-daerah terpencil. Pada saat itu pemerintah lebih fokus dengan pulau jawa sehingga daerah-daerah di luar pulau jawa merasa di anak tirikan dan timbul gerakan-gerakan revolusioner.
Masyarakat Indonesia menganggap bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta lebih condong ke komunis, hal tersebut terlihat dari pemerintahan Soekarno yang anti barat. Ranah minang dikuasai oleh oknum-oknum, baik militer maupun sipil yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Bung Karno dan membawa rakyat minangkabau untuk memberontak melepaskan diri dari ikatan persatuan NKRI. Sementara itu, dalam waktu yang sama, di bagian Timur tanah air juga timbul pembrontakan yang senada dengan membentuk pemerintah tandingan yang bernama PERMESTA(pemerintah rakyat semesta). Pada saat pembrontakan terjadi di tahun 1959 sebenarnya Amerika Serikat sudah ingin ikut campur untuk mendukung PERMESTA/PRRI, motifnya adalah AS khawatir pengaruh komunisme masuk ke Indonesia.
Pasca kemerdekaan , Indonesia seperti lebih condong ke UNISOVIET diaman ideology yang mereka anut adalah komunis. Sejak 1917 pada masa pemerintahan presiden Woodrow Wilson, AS berusaha mengakhiri komunisme namun tidak berjalan efektif karena masih fokus menangani perang dunia I dan II yang memakan banyak biaya. Pada masa pemerintahan Truman, AS kemudian mengeluarkan Truman doctrine dan Marshall plan guna membendung penyebaran komunisme di Eropa dan Asia. Dari sinilah, keterlibatan diplomasi AS hingga nantinya berujung pada bantuan terhadap pemberontakan PRRI/PERMESTA.
Pada saat itu gejolak politik Indonesia memberikan Amerika Serikat yang memiliki  kepentingan menjadikan Indonesia sebagai fokus dominan dari Marshal plan. Upaya AS menjadikan Indonesia sebagai sahabat dilatar belakangi oleh sumber daya alam Indonesia yang begitu melimpah. AS khawatir pengaruh komunis dari UNISOVIET dan Cina akan membatasi akses AS untuk mengeksplor SDA Indonesia.
Intensi AS dari yang semula hanya ingin mencegah penyebaran komunisme di Indonesia mejadi peningkatan tajam hingga berujung pada keputusan untuk membantu PRRI/PERMESTA yang disebabkan oleh respon dari Soekarno dan kondisi domestik Indonesia periode 1950-an meyakinkan AS bahwa komunisme sudah menjadi ancaman serius. Banyak penolakan yang dilakukan Soekarno pada saat itu diartikan AS sebagai kecenderungan Indonesia bergabung dengan komunis. Kekhawatiran AS terkait penyebaran komunisme di Indonesia semakin  meningkat ketika PNI dan PKI kemudian menjadi dua partai pemenang dalam pemilihan umum 1955 mengalahkan partai Masyumi yang didukung oleh AS. Sampai pada titik ini, AS melihat bahwa tidak ada jalan lain bagi Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali menyingkirkannya.
Keterlibatan AS pada pembrontakan PRRI dan PERMESTA ditandai melalui campur tangan Central Intelligence Agency(CIA) milik pemerintah AS untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Tahun 1957-1958, CIA memberikan infiltrasi senjata-senjata dan personil militer. Januari 1958, terlihat jelas Amerika Serikat melakuakn segala upaya dalam rangka memperkuat gerakan anti komunis di Indonesia. Operasi ini dibawah kepemimpinan Eisenhower dan Dulles yang disebut HAIK. Dalam membatu pembrontakan di Indonesia, AS telah mengeluarkan dana sebesar US$ 7 juta serta peralatan militer dan personilnya. Keterlibatan AS dalam peristiwa PRRI/PERMESTA  tidak hanya dalam dukungan persenjataan, namun juga melalui propaganda-propaganda yang dilakukannya. CIA kemudian berencana membuat sebuah film dokumenter berjudul Happy days yang menceritakan kedekatan presiden Soekarno dengan wanita Rusia, yang menandakan Soekarno telah jatuh ke tangan UNI SOVIET. Diplomasi yang dilakukan AS terhadap masyarakat Indonesia dengan cara membantu pemberontak PRRI/PERMESTA tidak mencapai keberhasilan. Namun CIA memiliki taktik lain dengan cara memberikan bantuan militer kepada ABRI . bantuan tersebut pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada eskalasi konflik dalam negeri, terutama yang berhubungan dengan berbagai usaha penumpasan PKI dan antek-anteknya. Soekarno yang pada saat itu semakin menunjukkan orientasi politik ke kiri juga merupakan tujuan dari berbagai upaya penumpasan PKI ini. Peristiwa Gestapu/G-30S-PKI kemudian membuktikan betapa sebuah dukungan dari AS pada Nasution dkk. kemudian sangat berpengaruh dalam upaya penggulingan Soekarno tersebut.蜉 Pada tahun 1965, keinginan AS terasa terkabul ketika Presiden Soekarno tuu dan digantikan oleh Soeharto. Hal tersebut dianggap oleh presiden AS, Richard M Nixon sebagai terbukanya upeti besar dari Asia .







Sumber:
Erika, dkk. 2009. Diplomasi Indonesia-Amerika Pasca Kemerdekaan. http://www.docs-engine.com/pdf/1/diplomasi-indonesia-amerika-pasca-kemerdekaan.html. Diakses pada tanggal 25 maret 2016.
Samantho, Ahmad. 2014. Peran CIA pada kasus PRRI, Dusta Amerika Atas Indonesia. https://ahmadsamantho.wordpress.com/2014/06/09/peran-cia-pada-kasus-prri-dusta-amerika-atas-indonesia/. Diakses pada tanggal 25 Maret 2016.

Minggu, 27 Maret 2016

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Fajar Ramadhan - 2014230139)


DIPLOMASI INDONESIA DENGAN AMERIKA PASCA KEMERDEKAAN

(1990-2000)



Amerika serikat telah memiliki hubungan bilateral dengen Indonesia untuk waktu yang lama dan seperti lazimnya dinamika hubungan, hubungan Amerika Serikat dengan Indonesia juga mengalami pasang surut. Walaupun begitu upaya-upaya untuk meningkatkan hubungan dengan Amerika Serikat merupakan salah satu prioritas diplomasi indonesia. Oleh karena itu kebijakan politik luar negri yang menguntungkan kedua belah pihak sangat diperlukan dalam rangka mendukung pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dan juga demi tercapainya kepentingan nasional Amerika Serikat itu sendiri.

Pada tahun 1988-1991, Amerika yang aktif dalam PECC dan APEC pun dijadikan landasan kerjasama ekonomi politik antara Indonesia dengan Amerika Serikat.  Bush juga cukup simpatik terhadap Indonesia dengan mengirimkan wakil presiden Quale ke ASEAN sampai dua kali pada tahun 1990-an (Wanandi, 1991). Namun, selama pemerintahan Bush juga terjadi masalah solidaritas agama Islam, karena AS yang melakukan konfrontasi terhadap Irak dan membiarkan Israel menduduki Gaza dan West Bank, sehingga memunculkan opini publik Indonesia yang merasa tidak puas dengan sikap AS. Selebihnya,perkembangan isu hak-hak asasi dan perkembangan demokrasi menjadi fokus antara Indonesia dan Amerika Serikat saat itu.

Setelah kepemimpinan Soeharto lengser pada tahun 1998, pemimpin-pemimpin Indonesia terhadap Amerika Serikat semakin “melunak”. Indonesia yang tidak lagi menunjukan kecenderungan memihak negara komunis semakin terlihat ketika Perang Dingin berakhir pada awal tahun 1990-an, yang ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet. Amerika Serikat yang kemudian memiliki kesempatan untuk menjadi negara adikuasa dalam dunia internasional semakin mengajak negara-negara lain untuk pro terhadap tindakan Amerika Serikat dengan demokratisasinya. Berbagai kebijakan pun dilaksanakan AS demi mempengaruhi sistem internasional. Diplomasi AS Indonesia berlanjut ketika Indonesia berkeinginan untuk membeli pesawat F-16. Namun tidak terwujudkan setelah presiden soeharto membatalkan pesawat tersebut. Kemudian Indonesia mengambil langkah baru dengan berpaling ke Rusia, dan Rusia menyambut dengan baik dengan menawarkan pesawat Su-30KI. Pada 1996 Indonesia melakukan pemesanan sebanyak 12 pesawat Su-30KI. Indonesia sangat berharap dengan pembelian Sukhoi ini akan meningkatkan martabat Indonesia dimata Dunia, namun keadaan berbeda. Pembelian pesawat ini tidak lepas dari tekanan AS dan sekutunya yang tidak ingin Indonesia memiliki pesawat tersebut.  Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada 1998 memaksa Indonesia membatalkan pembelian Sukhoi dari Rusia ini. Gagalnya pembelian ini membuat kekuatan Angakatan Udara Indonesia mengalami stagnasi dan semakin parah ketika tahun 1999 sampai dengan 2005, Amerika dan sekutunya memberlakukan Embargo Militer terhadap Indonesia. Embargo militer yang dilakukan AS sejak tahun 1999 kepada Indonesia benar-benar telah melemahkan dan bahkan hampir melumpuhkan militer Indonesia terutama Angkatan Udara Indonesia.

Cikal bakal penjatuhan embargo senjata oleh Amerika Serikat berawal dari keputusan Presiden Soeharto untuk menyerang wilayah Timor-Timur. Sebelumnya Indonesia meminta izin kepada Amerika untuk menyerang wilayah Timor-timur dengan alasan Pemberantasan Komunisme. Pada saat itu bantuan berdatangan dari pihak AS. Saat penyerangan tersebut sudah berlanjut. Amerika menjatuhkan embargo militer terhadap Indonesia karena dianggap telah melakukan pelanggaran HAM dalam penyerangan Timor-Timur.


SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Wahyu Tri Nugroho - 2014230127)


Review Diplomasi Ekonomi Indonesia Kepada Amerika Serikat 1966-1970



Pada bulan April 1966 terdapat kesepakatan di antara para pemimpin baru Indonesia bahwa kebijaksanaan luar negeri ekonomi Indonesia harus diarahkan untuk meraih dukungan para kreditornya, khususnya negara-negara Barat dan Jepang. Ada banyak – orang khususnya di kalangan perwira Angkatan Darat – yang berpendapat bahwa negara-negara Barat itu pasti dengan segera akan memberi bantuan pada Indonesia. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru telah menghancurkan partai komunis terbesar di luar Rusia dan Cina tanpa meminta bantuan dari negara-negara anti-komunis lainnya. Seorang pengamat yang menemui sejumlah perwira Angkatan Darat Indonesia yang mengunjungi Kongres Amerika Serikat antara Maret dan September 1966, menuliskan laporan ini:



”Bagi para pengamat, pendekatan mereka sulit dimengerti karena anggapan yang tidak dinyatakan tetapi mendasar bahwa Indonesia terlalu vital bagi kepentingan Amerika dan Barat untuk dibiarkan larut dalam kekacauan, menyiratkan bahwa negara-negara lain pasti akan datang untuk menyelamatkannya. Orang-orang militer tersebut mungkin juga telah menyampaikan perasaan, baik langsung maupun tidak langsung, bahwa sementara Amerika Serikat telah menghabiskan berjuta-juta dollar untuk membunuh orang Komunis di Vietnam, orang-orang Indonesia telah membunuh ratusan ribu komunis di negararanya sendiri tanpa sepeser pun bantuan dari Amerika. Dalam arti tersebut, Amerika ’berhutang’ pada Indonesia satu atau dua milyar dalam bantuan luar negeri”.



Namun, ada kelompok lain yang memandang prospek bantuan asing secara lebih realistis. Mereka juga berpendapat bahwa kebijaksanaan luar negeri Indonesia harus dialihkan ke arah memperbanyak bantuan asing. Nampaknya keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi saat itu, keadaan ekonomi dan keuangan dengan beban berat telah memukul bukan saja aspek fisik namun juga mental orang-orang pada saat itu. Mental pejabat pada saat itu adalah tidak percaya diri terhadap apa yang dimiliki negaranya, yang ada di pikiran pejabat pada saat itu adalah bagaimana mencari pembiayaan tinggi dengan cepat dan mudah, makanya bantuan asing menjadi sebuah solusi akhir mengatasi kondisi yang sulit dengan beban hutang yang juga besar. Sekalipun demikian, mereka menyadari bahwa tidaklah mudah mengerahkan kreditor asing untuk membiayai program stabilisasi dan pembangunan Indonesia. Pertama, baru satu tahun lewat Sukarno menendang mereka keluar dari Indonesia. Kendatipun seorang pemimpin baru telah menduduki kekuasaan sejak 11 Maret 1966, Sukarno masih ada sebagai Presiden. Kedua, adanya kecenderungan menurunnya kegiatan bantuan Amerika akibat dari kekecewaannya terhadap penyalahgunaan dana-dana bantuan. Sikap pemerintah Amerika terhadap Indonesia sangat berhati-hati sebagai akibat dari pengalaman pahit selama rezim sebelumnya (Sukarno). Tentu Amerika juga tidak ingin terperosok kedua kali untuk menjadi keledai, sikap Amerika ini sangat dipengaruhi oleh laporan-laporan yang berasal dari kegiatan mata-matanya, maka tidak heran sikap Amerika seolah melihat dan menunggu, apalagi dengan adanya Sukarno yang masih menjabat. Pengalaman pahit Amerika dalam Perang Dingin menghantam komunis membuktikan bahwa Indonesia dengan Sukarno-nya turut memanas-manasi dunia pada saat itu. Pengalaman tersebut sudahlah cukup bagi Amerika dengan kegagalan dan keberhasilannya sehingga sikap Amerika ini tidak langsung penetrasi memberikan bantuan.

Kenyataan bahwa uang sejumlah US$ 800 juta yang ditrasnfer dari Amerika ke Indonesia sejak 1946 sampai dengan tahun 1965, berupa hibah dan pinjaman, ”tidak menciptakan perekonomian yang makmur di Indonesia dan tidak pula menghasilkan hubungan politik yang bersahabat antara Washington dan Jakarta, membuat Indonesia memperoleh prioritas rendah dalam penerimaan bantuan Amerika. Bahkan, Kongres Amerika Serikat cenderung bersikap keras terhadap program bantuan oleh presidennya dan dalam tahun-tahun belakangan telah mengurangi bantuan asing. Padahal ini adalah strategi Amerika sendiri untuk ”membuat stabil” Indonesia secara khusus, dan negara lainnya secara umum, atau kebanyakan target-target dari negara Amerika adalah negara Dunia Ketiga. Mengapa demikian? Amerika paham betul bila suatu negara yang baru merdeka yang ekonominya belum mantap benar atau underdeveloped country akan mudah disusupi oleh paham komunis. Negara yang cenderung morat-marit ekonominya, atau tidak stabil dapat dengan mudah dekat dengan komunis, karena lawan dari komunis adalah negara-negara mapan atau negara kapitalis, semangat demikian mudah sekali tersulut. Buktinya adalah kampanye pembebasan Irian Barat dan juga kampanye ”Ganyang Malaysia” maka tak heran bila Amerika bersikap hati-hati dalam hal ini, salah langkah atau salah informasi bisa membahayakan Amerika yang sudah punya koneksi baik dengan Suharto. Ketiga, situasi bantuan internasional pada tahun 1966 tidak terlalu menggembirakan. ”Aliran modal pemerintah ke negara-negara berkembang mandeg” kata seorang pengamat. Akhirnya keempat, pada pertengahan 1960-an modal asing sangat langka dan sangat sulit untuk diperoleh. Sangat sedikit negara-negara Dunia Ketiga yang mampu mendatangkan modal asing dalam jumlah yang sangat besar, bahkan Singapura dan Malaysia saja tidak mampu, dan yang paling tidak mampu adalah Indonesia dengan kebijakannya yang jelas-jelas menghambat masuknya modal. Ini memang dikarenakan kebijakan-kebijakan yang belum punya arah yang jelas, kebijakan-kebijakan tersebut masih diarahkan kepada tujuan jangka pendek yang mau tidak mau akan ada perubahan tiap waktunya. Hal ini berpengaruh kepada kepercayaan asing, sebagai negara yang baru menjalankan roda perekonomian yang mengarah kepada propasar akan menghadapi kendala-kendala dalam birokrasi dan regulasi. Negara-negara penanam modal membutuhkan kepastian akan regulasi, bila tidak ada kepastian maka mereka akan mengurungkan niatnya. Hal ini adalah fenomena yang banyak terjadi kepada negara-negara berkembang yang melakukan industrialisasi dengan strategi subtitusi impor.

Berhubung dengan posisi kepemimpinannya di kalangan negara-negara kapitalis dan badan-badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, sudah merupakan keharusan bagi Indonesia untuk mengambil hati Amerika. Walaupun bersikeras bahwa kebjaksanaan pemeliharaan hubungan baik dengan negara-negara komunis maupun negara-negara kapitalis harus diteruskan, Soedjatmoko, juru bicara kelompok kedua itu yang kemudian menjadi duta besar RI di Amerika Serikat, menyarankan adanya perhatian khusus guna mengangkat posisi Indonesia dalam daftar prioritas penerima bantuan Amerika terutama dengan membentuk suatu lobby di Washington. Ofensif kebijaksanaan luar negeri rezim baru ini dimulai sangat dini. Tanggal 4 April, seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar negeri, Adam Malik, mengumumkan bahwa Indonesia akan meninjau  kebijaksanaan luar negerinya dengan penekanan: 1. Perluasan kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa dan kegiatan kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan; 2. Keikutsertaan dalam organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya; dan 3. Pemecahan masalah Malaysia secara damai. Pada hari yang sama, Wakil Perdana Menteri untuk Urusan Ekonomi, Sultan Hamengku Buwono IX, juga mengumumkan bahwa Indonesia akan mengusahakan penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran hutangnya dan mencari bantuan luar negeri yang baru tanpa ikatan-ikatan politik. Pada tanggal 6 Mei, Menteri Adam Malik berbicara di depan DPR tentang niat Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian Indonesia mengirim misi teknik resminya yang pertama di bawah pimpinan Umaryadi Nyowiyono ke beberapa negara Eropa untuk mengusahakan penjadwalan kembali kembali hutang dan kredit baru. Pada minggu terakhir bulan yang sama, Sultan Hamengku Buwono IX sendiri memimpin delegasi yang lain ke Jepang untuk tujuan serupa, yang pada waktu itu pemerintah Jepang setuju mengadakan suatu konferensi untuk para kreditor Indonesia membicarakan kembali pembayaran hutangnya. Misi-misi lain dikirim untuk membicarakan penyelesaian damai masalah Malaysia. Sementara itu, berbagai tanggapan dari kreditor asing terhadap langkah-langkah diplomasi Indonesia belum jelas benar. Pada tanggal 4 April, untuk menanggap himbauan Sultan, pemerintah Belanda tidak akan membuka pintu untuk Indonesia melalui badan-badan multilateral. Pada tanggal 8 April, Amerika Serikat memberikan setuju memberikan pinjaman 50.000 ton beras seharga hampir US$ 9 juta dan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal kapas bernilai US$ 10,5 juta, keduanya di bawah program PL-480.





Dari Diplomasi ke Aksi: Soal Bantuan Asing ke Indonesia

            Bahkan sebelum datangnya tim IMF yang pertama pun, para penasehat Jenderal Suharto telah memiliki gagasan tersendiri tentang bagaimana melunakkan tekanan inflasi dan memperkuat neraca pembayaran, dua tujuan pokok stabilisasi ekonomi. Mereka telah menyarankan Jenderal Suharto agar mengambil tindakan-tindakan yang serius. Pertama, mengurangi permintaan agregat uang secara besar-besaran dengan cara mengurangi tingkat pertumbuhan peredaran uang dan defisit anggaran pemerintah. Kedua, meningkatkan pendapatan pemerintah melalui peningkatan pengumpulan pajak dan mengundang bantuan asing, terutama dalam bentuk bantuan komoditi dan dukungan devisa. Namun para kreditor itu masih tidak yakin. Mereka tidak melihat program itu cukup spesifik untuk menjamin masuknya kelanjutan bantuan. Dengan bantuan para ahli IMF, para ekonom Indonesia pada kwartal terakhir 1966 membuat beberapa percaturan khusus tentang stabilisasi ekonomi. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi ciri-ciri khas perekonomian Orde Baru. Jika pemindahan kekuasaan 11 Maret 1966 merupakan tonggak bersejarah politik Orde Baru, maka peraturan ekonomi 3 Oktober 1966 merupakan tonggak sejarah ekonominya. Dua peraturan ekonomi penting lainnya pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967 hanya merupakan perluasannya. Peraturan-peraturan itu merupakan ”aturan permainan” khusus pertama yang secara mendasar dalam rangka mengubah tata cara pengelolaan ekonomi Indonesia.

            Peraturan-peraturan itu mencakup tindakan-tindakan: pembaruan fiskal untuk menyeimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (melalui pemotongan belanja, peningkatan pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurang defisit); pembaruan moneter (pengetatan kredit dengan peningkatan suku bunga secara tajam); bantuan dan investasi asing; liberalisasi perdagangan luar negeri (dengan pembebasan lalu lintas devisa dan penyatuan tingkat nilai-tukar); dan ”de-etatisasi” (pengurangan peran dan negara) dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Pada tanggal 7 Januari 1967, pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat menandatangani perjanjian Jaminan Investasi, yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan jaminan apabila warganegaranya menderita kerugian di Indonesia karena nasionalisasi, tidak mungkinnya penukaran mata-uang atau kerusakan karena peperangan revolusi atau pemberontakan. Sesudah itu, jaminan investasi timbal balik yang sama juga disepakati dengan Belanda, Denmark, dan Jerman Barat.

            Bulan Februari 1968, negara ini memasuki ”The Convention on the Settlement of Internationals Disputes between States and Nationals of Other States”. Konvensi yang disponsori bank Dunia itu menyelesaikan perselisihan dalam investasi pemerintah dan investor asing. Kebijaksanaan untuk menarik penanaman modal asing juga didukung oleh banyak kegiatan ekonomi, di mana banyak bisnis besar internasional memainkan peranan penting. Bulan Agustus 1966, Pacific Industrial Conference, yang disponsori Universitas Stanford, membawa 170 orang pimpinan senior dunia usaha ke Jakarta. Beberapa waktu kemudian badan tersebut mendirikan Asosiasi Bisnis Indonesia – Pasifik (PIBA), dan pada tanggal 2-5 Agustus 1967 mengadakan pertemuan di Jakarta. PIBA juga mendirikan Dewan Promosi Investasi di Indonesia. Di Jenewa, pada bulan November 1966, Business Internasional yang bermarkas di New York menyelenggarakan konferensi tentang investasi asing di Indonesia, di mana tim ekonomi Indonesia (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Dr. M. Sadli, Dr. Emil Salim dan Dr. Selo Soemardjan) bertemu dengan para pengusaha besar dari Eropa dan Amerika Serikat, termasuk David Rockefeller. Konferensi ini disponsori oleh Time-Life Inc. Pertemuan Business Internasional lainnya diadakan di Jakarta dalam bulan September 1968. Menggaris-bawahi bagaimana kesungguhan Suharto dalam menanggapi terobosan pertama  dalam suatu forum internasional tentang investasi, ia mengeluarkan suatu dekrit presiden yang memberikan kepada delegasi Indonesia wewenang penuh untuk mewakili pemerintah. Para anggotanya termasuk para menteri ekonomi dan menteri luar negeri ditambah sebagian besar ekonom terkemuka pemerintah yang bertanggung jawab atas investasi, perdagangan dan keuangan. Seluruhnya, duapuluh orang Indonesia berangkat ke Jenewa, ditambah dua orang dutabesar lengkap dengan staf-stafnya. Peristiwa itu merupakan satu peragaan yang sangat mengesankan. Sekalipun para pejabat merasa yakin akan tujuan-tujuan mereka, sarana lewat konferensi itu harus diperlakukan secara lebih teliti. Pertanda yang paling jelas dan paling langsung harus diberikan kepada para pemimpin bisnis ini. Tetapi pemerintah Indonesia, dan mereka harus mempertahankan sekurang-kurangnya penampilan yang bermartabat dan kebanggan di depan umum.

            Mengenai peranan aktor-aktor eksternal, kita harus memberi perhatian khusus pada IMF. Tampaknya IMF melakukan penekanan yang kuat terhadap pemimpin Indonesia untuk mengikuti bimbingannya. Perbincangan tentang kebutuhan Indonesia akan kredit, baru benar-benar dimulai ketika pemerintah Belanda mensponsori pertemuan lagi di Amsterdam tanggal 23-24 Februari 1967. Pertemuan tersebut mendirikan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), yang sejak itu berfingsi sebagai sumber terbesar bantuan asing untuk Indonesia. Fungsi IGGI dijalankan oleh IMF dan sejak 1969 oleh Bank Dunia. Hampir 50% dari bantuan program diberikan dalam bentuk kredit komoditi pangan, kebanyakan dari Amerika Serikat melalui program PL-480. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui ”injeksi” bahan pangan impor ke pasar. Selain itu, negara-negara Barat juga memberikan hibah sebesar US$ 69 juta dalam tahun 1969/1970; US$ 45 juta dalam tahun 1970. Lebih banyak lagi bantuan diberikan ketika Robert McNamara mengunjungi Indonesia dalam bulan Juni 1968. Penentuan waktu perjalanan bisnis ke luar negerinya yang pertama setelah ia menjadi Presiden Bank Dunia tiga bulan sebelumnya itu dianggap sebagai sikap penting yang menunjukkan pengertian yang lebih baik terhadap masalah Indonesia. Tanda dukungan seperti itu telah ditegaskan lagi ketika selama kunjungan McNamara mengumumkan bahwa:

  1. Bank Dunia secara resmi telah mulai beroperasi di Indonesia;
  2. Bahwa kantor luar negeri Bank Dunia permanen yang pertama adalah di Indonesia.

Sejak itu, Bank Dunia telah menugaskan para ahli pertanian, trasnportasi, industri, kependudukan dan bidang-bidang lainnya di Indonesia. Mereka telah terlibat secara aktif untuk memberikan saran kepada pejabat-pejabat perencana Indonesia, Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan departemen-departemen ekonomi lain, serta dalam merancang Repelita.





DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia



Mas’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (1966-1971). Jakarta: LP3ES



Tambunan, Tulus. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pascakrisis. Jakarta: Pusaka Quantum




SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Pandapotan Manik - 2014230129)


Review Dinamika Diplomasi AS-Indonesia Pasca Kemerdekaan Tentang Isu HAM di Papua, 1970-1980.



Suhu politik Indonseia dipastikan memanas pada tahun 1970, dari AS dan Australia, Sebuah lembaga pengamat HAM yang berada di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), tiba – tiba mengambarkan bahwa militer indonesia pada dekade 1970-an pernah bertindak sadis dengan menyiksa, memperkosa, dan membantai lebih dari 4.000 warga Papua. Yang tak kalah menggemparkan, pembantaian tersebut delakukan menggunakan helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur Amerika serikat.

Dari riset yang dilakukan AHCR dengan mewawancara para saksi dan mengumpulakan bukti di lapangan dan mengkaji literatur sejarah, terungkap bahwa lebih dari 10.000 warga papua tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan. Ada 4.416 nama korban tewas yang berhasil diidentifikasikan, seperti dilansir ABC News dan The Sydney Morning Herald. Laporan ini juga menceritakan beberapa pristiwa mengerikan di pedalaman papua yang dilakukan militer RI saat itu. Diceritakan dalam suatu waktu, penduduk desa di daerah bolakme diberi tau akan mendapat bantuan dari Australia yang di jatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian di bom menggunakan pesawat dari Amerika.

Yang menyesakkan lagi, AHCR juga menyebut dalam laporannya tentang menderitanya warga papua saat itu yang secara sadis diperlakukan seperti binatang. Pasukan militer dengan tega membakar dan merebus mereka hidup – hidup. Operasi militer ini dilancarkan untuk membendung upaya kelompok separatis papua mencari merdeka dari RI, khususnya setelah pemilu tahun 1977.

Dalam laporan berjudul "The Neglected Genocide – Human Rights Against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978", AHCR menyebut sedikitnya 10 petinggi TNI saat itu ikut bertanggung jawab atas penyerangan dan tindakan brutal pasukannya di papua. Mereka inilah yang telah memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.

Sayangnya, AHCR belum menyebut ekspilit siapa nama 10 nama jendral TNI yang dianggap bertanggung jawab dalam serangan di era orde baru itu. Direktur kebijakan dan program AHCR, Basil Fernando, hanya mengatakan bahwa sejumlah nama tersebut, beberapa di antarannya masih memegang jabatan penting militer indonesia saat ini. Yang paling bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto, maklum, Soeharto kala itu menjabat sebagai Presiden RI merangkap panglima angkatan bersenjata repbulik indonesia – sekarang TNI dan menteri Pertahann dan Keamanan, menyatakan, tindakan brutal pasukan TNI saat itu bisa digolongkan sebagai genosida. Genoside merupakan tindakan pembantaian besar – besaran secara sistematis untuk memusnahkan suatu suku bangsa atau kelompok.

Karenanya ACHR, Amerika Serikat dan Australia menyurakan agar dunia tidak melupakan kekejaman militer terhadap warga pribumi di bumi cendrawasih yang terjadi puluhan tahun lalu. Mereka mendesak dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua. Berita Metro, mengugkap sederet nama yang menduduki jabatan penting di struktur TNI/Angkatan Bersenjata RI pada periode 1970-1980 pada saat itu. Mereka di antaranya, Jendral TNI (Purn), Maraden Panggabean yang menjabat panglima ABRI menggantikan Soeharto priode 1973-1978. Maraden diduga merupakan paman dari ruhut sitompul.

Laporan AHCR ini langsung mendapat reaksi dari pihak istana negara. Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah memang mengaku belum membaca laporan dari AHCR tersebut. Namun begitu, ia sudah meragukan laporan yang mendiskreditkan Pemerintah dan militer RI juga Australia dan Amerika Serikat itu. Meski belum membaca isi laporan, Teuku sudah lebih dahulu mempertanyakan pokok pikiran dan metodologi yang diterapkan AHCR dalam penelitianny.

Pristiwa yang terjadi pada tahun 1970 sudah sangat lama sehingga mengungkap kembali hal tersebut harus dengan cermat dan dilakukan dengan metode yang terukur. Selain istana negara, pemerintah AS dan Australia selaku pihak yang ikut dicatut dalam laporan AHCR ikut anggkat bicara. Satu hal yang ditanggapi serius pemerintah negri jiran itu yajni terkait sokongan militer australia berupa helikopter serbu yang diberikan kepada pasukan TNI untuk membasmi masyarakat di pedalaman papua kalah itu. Menurutnya, kebijakan pemerintah AS saat ini terhadap Papua sudah jelas yakni mengutuk semua kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil maupun kejehatan yang dilancarkan kepada personil keamanan.
Situasi HAM saat ini di propinsi Papua tidak seperti yang digambarkan didalam AHRC. Permohonan apapun untuk mengakses catatan dapartemen pertahanan selama priode yang dimaksudkan harus ditunjukan kepada lembaga arsip nasional sesuai ketentuan arsip tahun 1983. Dapertemen pertahanan Amerika serikat menyatakan, militernya hanya membantu pasukan TNI dalam survei dan pemetaan wilayah Irian jaya pada tahun 1976 hingga 1981.

Helikopter Hercules C-130 Hercules Amerika Serikat turut digunakan untuk melakukan operasi di irian jaya, dan markas besar operasi tersebut berlokasi di bandara udara mokmer di pulau biak. Selain itu, Dapertemen pertahanan juga meminta ACHR dan pihak –pihak yan menyudutkan militer AS-Australia dalam kasus di papua pada saat itu, membuktikan laporannya di Mahkamah Internasional. Juru bicara dephan Amerika serika bidang luar negeri dan perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan komentar mengenai situasi di papua pada priode 35 tahun yang lalau.



Sumber
Jhon Rosa, dalih pembunuhan masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto ( Jakarta: Hasta mitra dan institute sejarah sosial indonesia 2008).
www.bbcpapua.com

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Adilla Viona - 2014230131)


HUBUNGAN DIPLOMASI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT TAHUN 2000-2005

Indonesia dan Amerika Serikat mengadakan kerjasama dalam bidang keamanan dengan mengadakan dialog bersama, dialog tersebut didirikan pada tanggal 19 september 2001 oleh Presiden George W. Bush dan Presiden Megawati Soekarnoputri di Washington DC. Dialog kemanan ini menyediakan tempat bagi pejabat pemerintahan dari departemen masing-masing negara yang berkaitan dengan masalah kemanan dan pertahanan secara berkala dan bertukar pandangan mengenai masalah situasi keamanan regional, kebijakan kemanan nasional, pembajakan, reformasi militer, daerah kebijakan kontra-terorisme, dan proses anggaran. Sebagai hasil dari dialog ini, masing-masing pihak diharapkan dapat meningkatkan pemahaman, persepsi serta kebijkan tentang isu-isu strategis dan kemanan.
Tanggal 25 april 2002, di Jakarta diadakan Dialog I yang telah disepakati antara Indonesia dan AS, masing-masing perwakilan atau delegasi kedua negara sepakat bahwa dialog ini adalah membangun kunci kepercayaan untuk memperkuat perdamaian dan stabilitas regional. Dari pihak atau delegasi AS sendiri mengganggap bahwa dialog ini amatlah penting, dan berjanji bahwa AS akan mencari cara untuk terus dapat membantu Indonesia seperti bekerja untuk memperkuat demokrasi dan melaksanakan reformasi. masing-masing negara menunjukan presentasinya, dimana keduanya sepakat bahwa serangan 11 september 2001, merupakan kebutuhan untuk fokus pada upaya bersama dalam melawan terorisme internasional dan ancaman trans-nasional lainnya, selain itu mereka berbagai pandangan bahwa masih ada konflik regional lama yang perlu dikelola dan diselesaikan secara damai. Pada akhir dialog I tersebut, kedua delegasi menyatakan bahwa dialog sebagai salah satu pilar penting dalam hubungan antara Indonesia dan amerika serikat dan menghargai semangat terbuka dan konstruktif yang ditunjukan oleh seluruh peserta dialog, kemudian, mengambil sebuah kesepakatan bahwa akan mengadakan putaran kedua perundingan resmi pada awal tahun 2003.
Dialog II diakan pada awal tahun 2004, tepatnya pada 23 April di Washington DC, lanjutan dari pertemuan pertama, pada dialog II ini pembicaraan lebih meninjau situasi kemanan internasional dari Asia Pasifik pada waktu itu. Selain itu, membahas upaya masing-masing untuk kontra terhadap aksi terorisme dan sepakat tentang perlunya untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia. Pemerintah AS menghargai upaya pemerintah Indonesia dalam mereformasi TNI dan pernyataan TNI yang akan menjaga profesionalisme serta 7 berkomiten untuk tetap netral dalam pemilihan umum yang sedang berlangsung saat itu. Delegasi AS juga memberikan paparan beberapa aspek stategis keamanan nasional mereka serta perubahan bentuk pertahanan global AS, sedangkan Indonesia menjelaskan soal kemanan nasional dan isu kontra teroris regional. Dalam kesepakatan itu juga, delegasi Indonesia meminta klarifikasi mengenai kebijakan AS terhadap Selat Malaka dan Delegasi Amerika Serikat memberikan jaminan akan menghormati kedaulatan Indonesia atas air dan memperjelas konsep Maritim Regional Security Initiative (MRSI) dan AS juga setuju untuk terus berkonsultasi dengan Indonesia dan negera-negara regional lainnya.
Amerika mulai memperbaiki hubungan dengan Indonesia. Pada bulan November tahun 2005 AS secara resmi mencabut embargo senjata terhadap Indonesia. Pencabutan embargo senjata terhadap indonesia karena AS merasa bahwa dalam kurung waktu embargo senjata dilakukan, Indonesia telah banyak mengalami perubahan yang baik Indonesia telah menjadi negara yang demokratis, hal ini ditunjukan dengan berhasilnya diselenggarakan pemilu tahun 2004 secara jujur dan adil. Selain perubahan politis yang dialami Indonesia, amerika juga merasa Indonesia merupakan negara yang menjadi sasaran serangan teroris. Peristiwa bom bali satu dan dua, serta aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia menunjukan bahwa Indonesia merupakan mitra kerja global dalam menangani terorisme di Asia Tenggara. Bom bali satu dan bom bali dua merupakan awal mula perbaikan hubungan Indonesia dan as terutama dalam bidang militer. Presiden Bush ketika bertemu Presiden megawati di bali mengungkapkan keinginannya untuk memberikan bantuan dalam penanggulangan tindak terorisme di Indonesia. Becana Tsunami di aceh juga membantu untuk memperbaiki hubungan militer antara Indonesia dengan amerika serikat. Usaha untuk memulihkan hubungan Indonesia dan AS dilakukan tidak hanya oleh pihak Indonesia, tetapi oleh pihak internal amerika serikat.


DAFTAR PUSTAKA



SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Elveni Zarima - 2014230118)


HUBUNGAN DIPLOMASI

INDONESIA – AMERIKA SERIKAT 1945-1950



            Hubungan Indonesia dan amerika serikat telah terjalin sejak lama mulai dari Indonesia merdeka bahkan sampai sekarang baik secara langsung maupun tidak langsung. Diketahui Amerika Serikat

  • Amerika serikat mengijinkan agar wakil-wakil Indonesia dari negara Indonesia timur dan untuk menyampaikan pendapat kepada dewan keamanan yang berisikan persamaan derajat dengan republik Indonesia di new York
  • 28 desember 1949 amerika Serikat mengakui Kemerdekaan Indonesia dengan menunjukkan duta besar pertama di Indonesia H Merle Cochran untuk kedutaan besar amerika serikat di Indonesia.
  • 20 Febuari 1950, ditunjukkannya duta besar Indonesia untuk amerika serikat Dr. Ali Sostromidjojo.
  • 16 oktober 1950, Indonesia dan amerika serikat melakukan kerjasama dibidang ekonomi.
  • 25 agustus 1947 delegasi Amerika Serikat mengajukan resolusi kepada dewan keamanan PBB untuk membentuk komisi jasa-jasa baik untuk menangani masalah Indonesia.
  • Amerika Serikat menjadi negara ke 3 yang turut berperang dalam penyelesaian sengketa Indonesia-belanda
  • Membantu memperjuangkan penyerahan kekuasaan Indonesia dari tangan belanda dengan mengancam tidak akan memberikan bantuan kepada belanda melalui rencana marshall apabila belanda masih mengabaikan resolusi yang dari Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa.
  • Amerika serikat membantu Menyediakan tempat berunding bagi Indonesia – belanda dalam proses penyelesaian sengketanya di atas kapal Renville
  • Resolusi 4 negara yang beranggotakan cina, Kuba, Norwegia dan Amerika Serikat sendiri yang berisi antara lain :

  1. Penghentian secepatnya tembak-menembak oleh kedua pihak.
  2. Pembebasan pimpinan-pimpinan Republik Indonesia dan semua tahanan politik serta mengembalikan mereka ke Yogyakarta.
  3. Kedua pihak kemudian merundingkan pembentukan suatu pemerintah peralihan untuk negara Indonesia serikat yang merdeka.
  4. Pemerintah peralihan itu harus sudah dibentuk selambat-lambatnya tanggal 15 maret 1949.
  5. Pemilihan umum untuk anggota dewan perwakilan rakyat harus diadakan sebelum tanggal 1 oktober 1949.
  6. Penyerahan kedaulatan kepada negara Indonesia serikat tidak boleh melewati 1 juli 1950.
  7. Komisi jasa-jasa baik akan bertindak untuk dan atas nama dewan keamanan dan disebut komisi perserikatan bangsa-bangsa untuk Indonesia.
  8. UNCI akan memberikan bantuannya kepada kedua pihak yang bersangkutan, supaya mereka dapat melaksanakan ketentuan-ketentuan resolusi dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya UNCI akan mengajukan saran-saran kepada dewan Keamanan mengenai cara-cara yang dianggap baik yang dapat dilakukan supaya pengalihan kekuasaan Indonesia dapat berjalan dengan aman dan tentram.dll


    Sumber :
    Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Indonesia dari Masa ke Masa, Periode 1945-1950, PT. Upkara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upkara), Jakarta

    (diakses tanggal 23 Maret 2016, pukul 18.34)

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Romi Zainur Rahman - 2014230138)

Nama : Romi Zainur Rahman
NRP : 2014230138
Mata Kuliah  : Sejarah Diplomasi Indonesia

HUBUNGAN DIPLOMASI AMERIKA SERIKAT DENGAN INDONESIA PADA TAHUN 1980 – 1990

Pada hubungan antara kedua negara ini yaitu Amerika Serikat dengan Indonesia berjalan dengan tidak lancar, tetapi masih bisa dikatakan stabil karena diplomasi kedua negara tersebut. Arah hubungan kedua negara ini sebenarnya bergantung kepada pemimpin kedua negara tersebut, karena mengarah kepada ideologi dan kepercayaan serta sistem pemerintahan dan politik yang mereka gunakan.
Pada era Soeharto ini, Politik Luar Negeri yang dijalankan Indonesia bertujuan untuk menarik investor asing untuk memberikan modal dalam pembangunan Indonesia. Dengan politik luar negeri ini pun membuat Amerika yang merupakan negara kaya menjadi target utama Indonesia sehingga Indonesia pun berusaha untuk menormalisasikan hubungan dengan Indonesia. Soeharto menganggap Amerika Serikat sebagai pihak yang mampu memberikan bantuan ekonomi cukup besar bagi Indonesia (Smith,2003)
Pada masa pemerintahan Reagan (1980-1988), hubungan antara Indonesia dan AS tidak banyak mengalami gangguan. Yang menjadi masalah dalam hubungan Indonesia-AS adalah hal-hal yang menyangkut hubungan multilateral atau global dan yang bersifat regional di Asia Pasifik. Contohnya adalah keengganan Administrasi Reagan dalam meningkatkan kemampuan militer, melalui SEA-NWFZ (South East Asian Nuclear Weapon Free Zone) dari ASEAN, serta permasalahan ekonomi liberal, perdagangan bebas, melalui kerjasama regional seperti PECC dan APEC. Dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan AS, Presiden Soeharto untuk ketiga kalinya mengunjungi AS pada tahun 1982, kemudian Reagan membalasnya pada tahun 1986 dengan mengunjungi Bali.  Bantuan AS dalam ODA untuk Indonesia berkurang, namun secara implisit AS selalu mendukung kebijakan-kebijakan Indonesia. Sempat hampir terjadi kesalahpahaman antara AS dan Indonesia ketika AS mengalami dilemma untuk menentukan calon dubes baru untuk Indonesia, sampai akhirnya presiden Carter mengumumkan dubes baru untuk Indonesia ketika kunjungan presiden Soeharto ke Washington DC.(Wanandi, 1991). Namun hal ini masih dapat dikatakan stabil, karena perangkat-perangkat kedua belah pihak dapat menjalankan kerjasama dengan baik, misalnya Deplu dengan Departement of State, ABRI dengan Department of Defense. Juga dibangunnya hubungan pertukaran budaya dalam pembentukan KIAS (Kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat). Selain hubungan ekonomi, Indonesia dan AS juga bekerja sama dalam bidang kebudayaan dan pendidikan. Dibentuknya KIAS (Kebudayaan Indonesia-Amerika Serikat) menjadi jembatan untuk menyorot prkembangan dalam negeri Indonesia di bidang hak-hak asasi, rule of law, proses demokrasi, dan sebagainya. Selain itu, juga banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di AS sejak pertengahan tahun 1970-an.
Pada masa pemerintahan Bush (1988-1991). Di kawasan Asia Pasifik, Bush sangat mendukung APEC dan PECC dan menjadikannya sebagai landasan kerjasama regional yang terpenting dalam bidang ekonomi dan politik. Bush juga cukup simpatik terhadap Indonesia dengan mengirimkan wakil presiden Quale ke ASEAN sampai dua kali pada tahun 1990-an (Wanandi, 1991). Namun, selama pemerintahan Bush juga terjadi masalah solidaritas agama Islam, karena AS yang melakukan konfrontasi terhadap Irak dan membiarkan Israel menduduki Gaza dan West Bank, sehingga memunculkan opini publik Indonesia yang merasa tidak puas dengan sikap AS. Selebihnya,perkembangan isu hak-hak asasi dan perkembangan demokrasi menjadi fokus antara Indonesia dan Amerika Serikat saat itu.


Sumber :
http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-90958-SSI%20II%20%20Indonesian%20Foreign%20Policy-IndonesiaUSA%20Relationship%20Fluctuation.html
https://www.academia.edu/9989140/Dinamika_Hubungan_Indonesia_-_Amerika_Serikat

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Prastika Citra Utami - 2015231001)

DIPLOMASI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT PERIODE 2001 – 2005
Membicarakan hubungan internasional, khususnya yang menyangkut hal bilateral antara hubungan yang dijalin oleh dua negara tidak akan lepas dari timbal balik serta keuntungan yang didapatkan oleh kedua negara dalam perhitungan rasionalitas positive sum up games. Hubungan maupun diplomasi antara Indonesia dan Amerika Serikat yang terjalin dalam kurun waktu 2001 – 2005 tidak lepas dari perihal agenda global Amerika Serikat dalam menggencarkan War on Terror yaitu implikasi dari Tragedi 9/11 dan juga ketidakberdayaan Indonesia dalam hal ekonomi dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri pasca Tragedi Tsunami Aceh.
Politik Luar Negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif menjadi hal yang menarik perhatian Amerika Serikat dalam menjalankan kepentingan domestiknya di luar teritori mereka. Hal berkesinambungan yang masih diusahakan adalah penegakkan nilai-nilai HAM dan reformasi politik, menjaga stabilitas ekonomi dan pengembangan pasar potensial kawasan. Hal ini merupakan kutipan dari Duta Besar Paul Wolfowitz yang ketika itu menjabat di akhir tahun 1980-an. Walaupun 20 tahun telah berlalu, hal-hal ini dianggap masih menjadi kepentingan Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim mayoritasnya tidak lepas dari jangkauan Amerika Serikat dalam pemburuan terorisme secara global. Tragedi 9/11 merubah secara drastis hubungan diplomatik antara Amerika Serikat - Indonesia, khususnya pada opini publik masyarakat di Amerika Serikat terhadap Islam dan komunitas Muslim yang dapat mendiskreditkan umat Muslim dengan teroris global yang harus diperangi bersama. Bagaiamana nantinya kedua negara dapat menjembatani untuk dapat saling memahami kebijakan luar negeri yang berdampak kepada keberlangsungan hidup masyarakat kedua negara tersebut. Opini publik di Amerika Serikat yang mengindikasikan kebencian mereka terhadap umat Muslim dan di sisi lainnya yaitu opini publik yang berkembang di Indonesia terhadap citra Amerika Serikat sebagai pembunuh massal para saudara muslim merekka khususnya pada perang Irak. Disinilah letak tanggung jawab pemerintah kedua negara untuk dapat tetap mempertahakankan dan memperbaiki hubungan secara baik serta tetap stabil dalam kondisi yang kondusif.
Setelah Tragedi 9/11, perhatian yang digencarkan oleh Washington terfokus pada hal penegakan HAM di Indonesia dan mereka melihat Indonesia sebagai sebuah partner yang efektif dalam War on Terror. Dapat dilihat dari kunjungan Presiden Megawati beberapa hari saja setelah serangan di New York dan merupakan salah satu dari pemimpin-pemimpin dunia lainnya yang bertandang ke Washington untuk berbelasungkawa serta mengutuk tindakan terorisme tersebut. Megawati berjanji untuk mempererat hubungan dalam demokratisasi dan penanggulangan terorisme. Hal ini dipandang sebagai tanggungan kekuatan dan kelemahan kedua yang dimiliki kedua negara. Aksi nyata yang dilahirkan dari janji tersebut adalah kerjasama militer yang dijalin dari Pentagon dan Jakarta dalam Regional Defense Counterterrorism Fellowship Program dimana Amerika Serikat memberikan pelatihan kepada beberapa personel TNI/POLRI dengan mengirimkan mereka ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pendidikan non-perang yang dananya disokong oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. Tetapi sayangnya hal ini malah bertolak belakang dengan rangkaian serangan bom di Indonesia: Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Besar Australia (2004), Bom Bali I dan II (2002 dan 2005). Hal inilah yang dikemukakan oleh Wakil Presiden pada kala itu yakni Hamzah Haz dimana beliau menyebut bahwa terorisme merupakan masalah eksternal. Kunjungan Presiden Bush ke Jakarta di tahun 2003 membuktikan bahwa Amerika Serikat serius dan sangat berkomitmen dalam memerangi terorisme dengan menyumbangkan US$ 157 juta dalam menyokong sistem pendidikan Indonesia dan kerjasama non-militer lainnya.
Sedangkan dari sisi kepentingan besar Indonesia pada periode 2001 – 2005 yaitu ketika semua mata dunia tertuju kepada beberapa negara yang terkena dampak Tsunami di Samudra Hindia tahun 2004 dan salah satunya yaitu yang menerpa Aceh, Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat beserta masyarakat sipilnya berbondong-bondong memberikan dukungan dan bantuan kemanusiaan. Hal ini disebut Condoleezza Rice sebagai bentuk aliansi manusia (alliance of peoples) yang dibangun oleh para warga negara Indonesia dan Amerika Serikat pada khususnya yang menekankan kepada kerjasama signifikan pada hal pembangunan paska Tsunami Aceh, peningkatan kesehatan anak, dan gerakan anti korupsi yang dimana poinnya juga merupakan bagian dari Millenium Challenge Corporation's Threshold Program. Selain itu, keuntungan besar yang didapatkan Indonesia yaitu pembentukan Detasemen Antiteror (Densus 88) dan juga kerjasama dalam hal penjualan persenjataan. Kerjasama keamanan yang erat antara pihak Amerika Serikat - Indonesia terlihat dari usaha bersama dalam memerangi pembajakan di Selat Malaka dan partisipasi kedua negara dalam misi mengirimkan Pasukan Perdamaian PBB.

REFERENSI:
Melissen, Jan. 2005. The New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations. New
 York: Palgrave Macmillan.
Vaughn, Bruce. 2009. Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and American
 Interests. Jurnal Congressional Research Service.
Wiarda, Howard J. 2011. American Foreign Policy in Regions of Conflict: A Global
Perspective. New York: Palgrave MacMillan.

Minggu, 20 Maret 2016

SDI - Perjanjian Roem Royen (Tiara Ayu - 2014230102)


Tiara Ayu (2014230102)

Perjanjian Roem Royen

            Serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan penahanan kembali para pemimpin Republik Indonesia yang mendapatkan kecaman dari dunia Internasional. Sementera itu, selama agresi militer II Belanda melancarkan propaganda bahwa TNI sudah hancur. Propaganda itu dapat dibuyarkan oleh serangan secara terorganisasi ke Ibukota Yogyakarta.  Terjadinya Agresi Militer II menimbulkan reaksi yang cukup keras dari PBB.

Sebelum KMB, diadakan perundingan pendahuluan di Jakarta yang diselenggarakan pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1948. Perundingan yang dipimpin oleh Marle Cochran wakli Amerika Serikat dalam UNCI ( United Nasion Commission for Indonesia ) UNCI merupakan pembaharuan dari KTN. Hasil Kerja UNCI diantaranya mengadakan  sebuah perjanjian antara Indonesia dan Belanda.

Soekarno – Hatta menunjuk M. Roem sebagai wakil pihak Inodnesia untuk berunding dengan Belanda yang dipimpin Van Royen . Dalam perundingan ini pihak Indonesia tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan RI, merupakan kunci untuk membuka terjadinya perundingan baru. Dan Belanda menuntut berhentinya perang gerilya oleh Republik Indonesia.

Pada tanggal 23 Mei 1949 pernyataan pemerintah RI dibacakan oleh ketua delegasi, yaitu:

  1. Pemerintah RI akan mengeluarkan perintah pemberhentian perang gerilya
  2. Kedua belah pihak berkerja sama dalam hal pengembaliam perdamain dan menjaga keamanan serta ketertiban.
  3. Belanda turut serta dala konfrensi Meja Bundar ( KMB ) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap tidak bersyarat kepada Negara Republik Indonesia Serikat

Pernyataan Delegasi Belanda dibacakan oleh Dr. Van Royen, yaitu:

  1. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban dalam suatu daerah yang meliputi Karisidenan Yogyakarta.
  2. Pemerintah belanda membebaskan secara tidak bersyarat para pemimpin RI dan tahanan politik yang di tawan sejak 19 Desember 1948
  3. Pemerintah Belanda menyetujui bahwa RI akan menjadi bagian dari RIS
  4. KMB akan diadakan secepatnya di Deen Haag Belanda setelah pemerintah RI sudah kembali ke ibukota Yogyakarta

Dalam perundingan selanjutnya Indonesia diperkuat Drs. Moh Hatta dan Sri Sultan Hamengkubono IX. Dan akhirnya apda tanggal 7 Mei 1949 ditandatangani sebuah perundingan, nama di ambil dari ketua delegasi Indonesia dan Belanda, Moh Roem dan Van Royen.

Dengan tercapainya kesepakatan Reom Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengkubono ke XI mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari Belanda. Sementara itu pihak TNI, tdak terlalu puas dengan hasil perundingan Roem Royen, tetapi panglima besar Jendral Sudirman memperingatkan seluruh komando dibawahnya agar tidak memikirkan perundingan tersebut. Untuk itu, Panglima tentara dan teritorium Jawa Kolonel A.H Nasution, memrintahkan agar komandan lapangan dapat membedakan genjatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.

Setelah tercapainya perundingan Roem – Royen, pada tanggal 1 Juni 1949 pemerintah RI secara resmi kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya disusul dengan kedatangan para pemimpin RI dari medan gerilya. Panglima besar Jendral Sudirman tiba kembali di Yogyakarta, 13 Juli 1949 diadakan sidang cabinet. Dalam sidang tersebut salah satu keputusannya yaitu diangkatnya Sri Sultan Hamengkubono IX menjadi menteri pertahanan merangkap sebagai koordinator keamanan.

SDI - Perjanjian Roem Royen (Irma Destarika - 2014230091)


NAMA           : IRMA DESTARIKA

NRP                : 2014230091

SEJARAH DIPLOMASI INDOESIA



PERANJIAN ROEM ROYEN



LATAR BELAKAMG PERJANJIAN ROE ROYEN

Latar belakang diadakannya perjanjian roem royen adalah diawali dari serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan penahanan kembali para pemimpin RI yang mendakatkan kecamanan dari dunia Internasional. Sementara itu, Belanda dalam Agresi Militer II melancarkan propaganda bahwa TNI telah hancur. Dalam Agresi Militer II yang dilakukan Belanda mendapat kecaman dari dunia Internasional terutama Amerika Serikat yang membuat Konferensi Meja Bundar (KMB) terlaksana di Den Haag.

 Perjanjian Roem Royen diadakan 14 April -7 mei 1948 dimana delegasi Indonesia dari Moh. Roem dengan anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Sedangkan dari belanda adalah Dr.J.H. Van Roijen yang beranggotakan Blom, Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.

Dalam Perundingan tersebut berjalan alot, Namun perundingan tersebut diperkuat dari hadirnyaDrs. Moh. Hatta dari pengasingan bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempertegas bahwa "Jogjakarta is de Republiek Indonesie" (Yogyakarta adalah Republik Indonesia)



PERUNDINGAN ROEM ROYEN

          pada tanggal 28 januari 1949 DK PBB memutuskan bahwa tugas KTN digantikan oleh UNCI (United Nations Commiddion for Indonesia) yang anggotanya sebagai berikut :

  1. Australia diwakili Critchly
  2. Belgia diwakili oleh Herremans
  3. Amerika diwakili oleh Marle Cochran

Dengan adanya pendekatan antara pihak RI-Belnda-BFO dan atasa inisiatif dari dewan keamanan PBB,maka kembali diadakan perundingan antara RI-Belanda. Perundingan dilakukan di Hotel Des Indies, Jakarta dibawah pimpinan Marle Cochran. Delegasi Indonesia di pimpin oleh Mr. Moh Roem sebagai ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai Wakil Ketua dengan Angota-angotanya.

Berkat pendekatan yang dilakukan secara inormal oleh Wakil Presiden Moh.Hatta dan berkat usaha keras dari Marle Cochran. Maka pada tanggal 17 Mei tercapai persetujuan antara pihak Rid an Belanda.

            Partai politik yang pertama kali yang menyatakan setuju dengan persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi, karena Moh. Roem memang salah satu tokoh Masyumi. Pernytaan persetujuan Masyumi ini disamaikan oleh ketua Umum Masyumi Dr. Sukiman, dengan alsan melihat posisi RI sebagai Negara baru di dunia Internasional dan melihat situasi di dalam negeri sendiri. Pernyataan persetujuan dari pihak PNI disampaikan oleh Mr. Sujano Hadinoto, Ketua Umum PNI. Ia menyatakan bahwa persetujuan Roem-Royen merupakan suatu langkan menuju tercpainya penyelesaian masalah-masalah Indonesia. Akhirnya kedua partai ini membuat pernytaan bersama bahwa perjanjian Roem-Royen masih kurang memuasakan, tetapi merupakan lagkah kea rah penyelesaian pertkaian antara ndonesia-Belanda.

ISI PERJANJIAN ROEM-ROYEN

Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk :

  • Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya;
  • Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan;
  • Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.


Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:

  • Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta;
  • Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer
  • Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik;
  • Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat;
  • Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.



DAMPAK DARI PERJANJIAN ROEM-ROYEN

Dengan tercapainya kesepakatan dalam perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda.

Pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Soedirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.

Untuk mempertegas amanat Jenderal Soedirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.

Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Maka pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itupun menghasilkan 3 keputusan, yaitu:

  • Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
  • Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
  • Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia



Sumber ;

Ebook, Yudhistira Ghalia Indonesia, 2005