Review Diplomasi Ekonomi Indonesia Kepada Amerika Serikat 1966-1970
Pada bulan April 1966 terdapat
kesepakatan di antara para pemimpin baru Indonesia bahwa kebijaksanaan luar
negeri ekonomi Indonesia harus diarahkan untuk meraih dukungan para
kreditornya, khususnya negara-negara Barat dan Jepang. Ada banyak – orang
khususnya di kalangan perwira Angkatan Darat – yang berpendapat bahwa
negara-negara Barat itu pasti dengan segera akan memberi bantuan pada
Indonesia. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru
telah menghancurkan partai komunis terbesar di luar Rusia dan Cina tanpa
meminta bantuan dari negara-negara anti-komunis lainnya. Seorang pengamat yang
menemui sejumlah perwira Angkatan Darat Indonesia yang mengunjungi Kongres
Amerika Serikat antara Maret dan September 1966, menuliskan laporan ini:
”Bagi para pengamat, pendekatan mereka sulit dimengerti karena anggapan
yang tidak dinyatakan tetapi mendasar bahwa Indonesia terlalu vital bagi
kepentingan Amerika dan Barat untuk dibiarkan larut dalam kekacauan,
menyiratkan bahwa negara-negara lain pasti akan datang untuk menyelamatkannya.
Orang-orang militer tersebut mungkin juga telah menyampaikan perasaan, baik
langsung maupun tidak langsung, bahwa sementara Amerika Serikat telah
menghabiskan berjuta-juta dollar untuk membunuh orang Komunis di Vietnam,
orang-orang Indonesia telah membunuh ratusan ribu komunis di negararanya
sendiri tanpa sepeser pun bantuan dari Amerika. Dalam arti tersebut, Amerika
’berhutang’ pada Indonesia satu atau dua milyar dalam bantuan luar negeri”.
Namun, ada kelompok lain yang
memandang prospek bantuan asing secara lebih realistis. Mereka juga berpendapat
bahwa kebijaksanaan luar negeri Indonesia harus dialihkan ke arah memperbanyak
bantuan asing. Nampaknya keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi saat itu, keadaan
ekonomi dan keuangan dengan beban berat telah memukul bukan saja aspek fisik
namun juga mental orang-orang pada saat itu. Mental pejabat pada saat itu
adalah tidak percaya diri terhadap apa yang dimiliki negaranya, yang ada di
pikiran pejabat pada saat itu adalah bagaimana mencari pembiayaan tinggi dengan
cepat dan mudah, makanya bantuan asing menjadi sebuah solusi akhir mengatasi
kondisi yang sulit dengan beban hutang yang juga besar. Sekalipun demikian,
mereka menyadari bahwa tidaklah mudah mengerahkan kreditor asing untuk
membiayai program stabilisasi dan pembangunan Indonesia. Pertama, baru satu
tahun lewat Sukarno menendang mereka keluar dari Indonesia. Kendatipun seorang
pemimpin baru telah menduduki kekuasaan sejak 11 Maret 1966, Sukarno masih ada
sebagai Presiden. Kedua, adanya kecenderungan menurunnya kegiatan bantuan
Amerika akibat dari kekecewaannya terhadap penyalahgunaan dana-dana bantuan.
Sikap pemerintah Amerika terhadap Indonesia sangat berhati-hati sebagai akibat
dari pengalaman pahit selama rezim sebelumnya (Sukarno). Tentu Amerika juga
tidak ingin terperosok kedua kali untuk menjadi keledai, sikap Amerika ini
sangat dipengaruhi oleh laporan-laporan yang berasal dari kegiatan
mata-matanya, maka tidak heran sikap Amerika seolah melihat dan menunggu,
apalagi dengan adanya Sukarno yang masih menjabat. Pengalaman pahit Amerika
dalam Perang Dingin menghantam komunis membuktikan bahwa Indonesia dengan
Sukarno-nya turut memanas-manasi dunia pada saat itu. Pengalaman tersebut
sudahlah cukup bagi Amerika dengan kegagalan dan keberhasilannya sehingga sikap
Amerika ini tidak langsung penetrasi memberikan bantuan.
Kenyataan bahwa uang sejumlah
US$ 800 juta yang ditrasnfer dari Amerika ke Indonesia sejak 1946 sampai dengan
tahun 1965, berupa hibah dan pinjaman, ”tidak menciptakan perekonomian yang
makmur di Indonesia dan tidak pula menghasilkan hubungan politik yang
bersahabat antara Washington dan Jakarta, membuat Indonesia memperoleh
prioritas rendah dalam penerimaan bantuan Amerika. Bahkan, Kongres Amerika
Serikat cenderung bersikap keras terhadap program bantuan oleh presidennya dan
dalam tahun-tahun belakangan telah mengurangi bantuan asing. Padahal ini adalah
strategi Amerika sendiri untuk ”membuat stabil” Indonesia secara khusus, dan
negara lainnya secara umum, atau kebanyakan target-target dari negara Amerika
adalah negara Dunia Ketiga. Mengapa demikian? Amerika paham betul bila suatu
negara yang baru merdeka yang ekonominya belum mantap benar atau underdeveloped country akan mudah
disusupi oleh paham komunis. Negara yang cenderung morat-marit ekonominya, atau
tidak stabil dapat dengan mudah dekat dengan komunis, karena lawan dari komunis
adalah negara-negara mapan atau negara kapitalis, semangat demikian mudah
sekali tersulut. Buktinya adalah kampanye pembebasan Irian Barat dan juga
kampanye ”Ganyang Malaysia” maka tak heran bila Amerika bersikap hati-hati
dalam hal ini, salah langkah atau salah informasi bisa membahayakan Amerika
yang sudah punya koneksi baik dengan Suharto. Ketiga, situasi bantuan
internasional pada tahun 1966 tidak terlalu menggembirakan. ”Aliran modal
pemerintah ke negara-negara berkembang mandeg”
kata seorang pengamat. Akhirnya keempat, pada pertengahan 1960-an modal
asing sangat langka dan sangat sulit untuk diperoleh. Sangat sedikit
negara-negara Dunia Ketiga yang mampu mendatangkan modal asing dalam jumlah
yang sangat besar, bahkan Singapura dan Malaysia saja tidak mampu, dan yang
paling tidak mampu adalah Indonesia dengan kebijakannya yang jelas-jelas
menghambat masuknya modal. Ini memang dikarenakan kebijakan-kebijakan yang
belum punya arah yang jelas, kebijakan-kebijakan tersebut masih diarahkan
kepada tujuan jangka pendek yang mau tidak mau akan ada perubahan tiap
waktunya. Hal ini berpengaruh kepada kepercayaan asing, sebagai negara yang
baru menjalankan roda perekonomian yang mengarah kepada propasar akan
menghadapi kendala-kendala dalam birokrasi dan regulasi. Negara-negara penanam
modal membutuhkan kepastian akan regulasi, bila tidak ada kepastian maka mereka
akan mengurungkan niatnya. Hal ini adalah fenomena yang banyak terjadi kepada
negara-negara berkembang yang melakukan industrialisasi dengan strategi
subtitusi impor.
Berhubung dengan posisi
kepemimpinannya di kalangan negara-negara kapitalis dan badan-badan
internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, sudah merupakan keharusan bagi
Indonesia untuk mengambil hati Amerika. Walaupun bersikeras bahwa kebjaksanaan
pemeliharaan hubungan baik dengan negara-negara komunis maupun negara-negara
kapitalis harus diteruskan, Soedjatmoko, juru bicara kelompok kedua itu yang
kemudian menjadi duta besar RI di Amerika Serikat, menyarankan adanya perhatian
khusus guna mengangkat posisi Indonesia dalam daftar prioritas penerima bantuan
Amerika terutama dengan membentuk suatu lobby
di Washington. Ofensif kebijaksanaan luar negeri rezim baru ini dimulai sangat
dini. Tanggal 4 April, seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar
negeri, Adam Malik, mengumumkan bahwa Indonesia akan meninjau kebijaksanaan luar negerinya dengan
penekanan: 1. Perluasan kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa
dan kegiatan kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan; 2. Keikutsertaan
dalam organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya; dan
3. Pemecahan masalah Malaysia secara damai. Pada hari yang sama, Wakil Perdana
Menteri untuk Urusan Ekonomi, Sultan Hamengku Buwono IX, juga mengumumkan bahwa
Indonesia akan mengusahakan penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran
hutangnya dan mencari bantuan luar negeri yang baru tanpa ikatan-ikatan
politik. Pada tanggal 6 Mei, Menteri Adam Malik berbicara di depan DPR tentang
niat Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian
Indonesia mengirim misi teknik resminya yang pertama di bawah pimpinan Umaryadi
Nyowiyono ke beberapa negara Eropa untuk mengusahakan penjadwalan kembali
kembali hutang dan kredit baru. Pada minggu terakhir bulan yang sama, Sultan
Hamengku Buwono IX sendiri memimpin delegasi yang lain ke Jepang untuk tujuan
serupa, yang pada waktu itu pemerintah Jepang setuju mengadakan suatu
konferensi untuk para kreditor Indonesia membicarakan kembali pembayaran
hutangnya. Misi-misi lain dikirim untuk membicarakan penyelesaian damai masalah
Malaysia. Sementara itu, berbagai tanggapan dari kreditor asing terhadap
langkah-langkah diplomasi Indonesia belum jelas benar. Pada tanggal 4 April,
untuk menanggap himbauan Sultan, pemerintah Belanda tidak akan membuka pintu untuk
Indonesia melalui badan-badan multilateral. Pada tanggal 8 April, Amerika
Serikat memberikan setuju memberikan pinjaman 50.000 ton beras seharga hampir
US$ 9 juta dan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal kapas bernilai US$
10,5 juta, keduanya di bawah program PL-480.
Dari Diplomasi ke Aksi: Soal Bantuan Asing ke Indonesia
Bahkan sebelum datangnya tim IMF yang pertama pun,
para penasehat Jenderal Suharto telah memiliki gagasan tersendiri tentang
bagaimana melunakkan tekanan inflasi dan memperkuat neraca pembayaran, dua
tujuan pokok stabilisasi ekonomi. Mereka telah menyarankan Jenderal Suharto
agar mengambil tindakan-tindakan yang serius. Pertama, mengurangi permintaan
agregat uang secara besar-besaran dengan cara mengurangi tingkat pertumbuhan peredaran
uang dan defisit anggaran pemerintah. Kedua, meningkatkan pendapatan pemerintah
melalui peningkatan pengumpulan pajak dan mengundang bantuan asing, terutama
dalam bentuk bantuan komoditi dan dukungan devisa. Namun para kreditor itu
masih tidak yakin. Mereka tidak melihat program itu cukup spesifik untuk
menjamin masuknya kelanjutan bantuan. Dengan bantuan para ahli IMF, para ekonom
Indonesia pada kwartal terakhir 1966 membuat beberapa percaturan khusus tentang
stabilisasi ekonomi. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi ciri-ciri khas
perekonomian Orde Baru. Jika pemindahan kekuasaan 11 Maret 1966 merupakan
tonggak bersejarah politik Orde Baru, maka peraturan ekonomi 3 Oktober 1966
merupakan tonggak sejarah ekonominya. Dua peraturan ekonomi penting lainnya
pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967 hanya merupakan perluasannya.
Peraturan-peraturan itu merupakan ”aturan permainan” khusus pertama yang secara
mendasar dalam rangka mengubah tata cara pengelolaan ekonomi Indonesia.
Peraturan-peraturan
itu mencakup tindakan-tindakan: pembaruan fiskal untuk menyeimbangkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (melalui pemotongan belanja, peningkatan
pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurang defisit); pembaruan moneter
(pengetatan kredit dengan peningkatan suku bunga secara tajam); bantuan dan
investasi asing; liberalisasi perdagangan luar negeri (dengan pembebasan lalu
lintas devisa dan penyatuan tingkat nilai-tukar); dan ”de-etatisasi”
(pengurangan peran dan negara) dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Pada tanggal 7
Januari 1967, pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat
menandatangani perjanjian Jaminan Investasi, yang memungkinkan Amerika Serikat
memberikan jaminan apabila warganegaranya menderita kerugian di Indonesia
karena nasionalisasi, tidak mungkinnya penukaran mata-uang atau kerusakan
karena peperangan revolusi atau pemberontakan. Sesudah itu, jaminan investasi
timbal balik yang sama juga disepakati dengan Belanda, Denmark, dan Jerman
Barat.
Bulan
Februari 1968, negara ini memasuki ”The
Convention on the Settlement of Internationals Disputes between States and
Nationals of Other States”. Konvensi yang disponsori bank Dunia itu
menyelesaikan perselisihan dalam investasi pemerintah dan investor asing.
Kebijaksanaan untuk menarik penanaman modal asing juga didukung oleh banyak
kegiatan ekonomi, di mana banyak bisnis besar internasional memainkan peranan
penting. Bulan Agustus 1966, Pacific
Industrial Conference, yang disponsori Universitas Stanford, membawa 170
orang pimpinan senior dunia usaha ke Jakarta. Beberapa waktu kemudian badan
tersebut mendirikan Asosiasi Bisnis Indonesia – Pasifik (PIBA), dan pada
tanggal 2-5 Agustus 1967 mengadakan pertemuan di Jakarta. PIBA juga mendirikan
Dewan Promosi Investasi di Indonesia. Di Jenewa, pada bulan November 1966, Business Internasional yang bermarkas di
New York menyelenggarakan konferensi tentang investasi asing di Indonesia, di
mana tim ekonomi Indonesia (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Dr. M. Sadli,
Dr. Emil Salim dan Dr. Selo Soemardjan) bertemu dengan para pengusaha besar
dari Eropa dan Amerika Serikat, termasuk David Rockefeller. Konferensi ini
disponsori oleh Time-Life Inc.
Pertemuan Business Internasional
lainnya diadakan di Jakarta dalam bulan September 1968. Menggaris-bawahi bagaimana
kesungguhan Suharto dalam menanggapi terobosan pertama dalam suatu forum internasional tentang
investasi, ia mengeluarkan suatu dekrit presiden yang memberikan kepada
delegasi Indonesia wewenang penuh untuk mewakili pemerintah. Para anggotanya termasuk
para menteri ekonomi dan menteri luar negeri ditambah sebagian besar ekonom
terkemuka pemerintah yang bertanggung jawab atas investasi, perdagangan dan
keuangan. Seluruhnya, duapuluh orang Indonesia berangkat ke Jenewa, ditambah
dua orang dutabesar lengkap dengan staf-stafnya. Peristiwa itu merupakan satu
peragaan yang sangat mengesankan. Sekalipun para pejabat merasa yakin akan
tujuan-tujuan mereka, sarana lewat konferensi itu harus diperlakukan secara
lebih teliti. Pertanda yang paling jelas dan paling langsung harus diberikan
kepada para pemimpin bisnis ini. Tetapi pemerintah Indonesia, dan mereka harus
mempertahankan sekurang-kurangnya penampilan yang bermartabat dan kebanggan di
depan umum.
Mengenai
peranan aktor-aktor eksternal, kita harus memberi perhatian khusus pada IMF.
Tampaknya IMF melakukan penekanan yang kuat terhadap pemimpin Indonesia untuk
mengikuti bimbingannya. Perbincangan tentang kebutuhan Indonesia akan kredit,
baru benar-benar dimulai ketika pemerintah Belanda mensponsori pertemuan lagi
di Amsterdam tanggal 23-24 Februari 1967. Pertemuan tersebut mendirikan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia),
yang sejak itu berfingsi sebagai sumber terbesar bantuan asing untuk Indonesia.
Fungsi IGGI dijalankan oleh IMF dan sejak 1969 oleh Bank Dunia. Hampir 50% dari
bantuan program diberikan dalam bentuk kredit komoditi pangan, kebanyakan dari
Amerika Serikat melalui program PL-480. Jenis bantuan asing ini sangat berarti
dalam menstabilkan harga-harga melalui ”injeksi” bahan pangan impor ke pasar.
Selain itu, negara-negara Barat juga memberikan hibah sebesar US$ 69 juta dalam
tahun 1969/1970; US$ 45 juta dalam tahun 1970. Lebih banyak lagi bantuan
diberikan ketika Robert McNamara mengunjungi Indonesia dalam bulan Juni 1968.
Penentuan waktu perjalanan bisnis ke luar negerinya yang pertama setelah ia
menjadi Presiden Bank Dunia tiga bulan sebelumnya itu dianggap sebagai sikap
penting yang menunjukkan pengertian yang lebih baik terhadap masalah Indonesia.
Tanda dukungan seperti itu telah ditegaskan lagi ketika selama kunjungan
McNamara mengumumkan bahwa:
- Bank Dunia secara resmi telah mulai beroperasi di Indonesia;
- Bahwa kantor luar negeri Bank Dunia permanen yang pertama adalah di Indonesia.
Sejak itu, Bank Dunia telah
menugaskan para ahli pertanian, trasnportasi, industri, kependudukan dan
bidang-bidang lainnya di Indonesia. Mereka telah terlibat secara aktif untuk
memberikan saran kepada pejabat-pejabat perencana Indonesia, Badan Perencana
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan departemen-departemen ekonomi lain, serta
dalam merancang Repelita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan
Perspektif. Jakarta: Gramedia
Mas’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde
Baru (1966-1971). Jakarta: LP3ES
Tambunan, Tulus. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde
Lama Hingga Pascakrisis. Jakarta: Pusaka Quantum
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut