Minggu, 27 Maret 2016

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Wahyu Tri Nugroho - 2014230127)


Review Diplomasi Ekonomi Indonesia Kepada Amerika Serikat 1966-1970



Pada bulan April 1966 terdapat kesepakatan di antara para pemimpin baru Indonesia bahwa kebijaksanaan luar negeri ekonomi Indonesia harus diarahkan untuk meraih dukungan para kreditornya, khususnya negara-negara Barat dan Jepang. Ada banyak – orang khususnya di kalangan perwira Angkatan Darat – yang berpendapat bahwa negara-negara Barat itu pasti dengan segera akan memberi bantuan pada Indonesia. Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah Orde Baru telah menghancurkan partai komunis terbesar di luar Rusia dan Cina tanpa meminta bantuan dari negara-negara anti-komunis lainnya. Seorang pengamat yang menemui sejumlah perwira Angkatan Darat Indonesia yang mengunjungi Kongres Amerika Serikat antara Maret dan September 1966, menuliskan laporan ini:



”Bagi para pengamat, pendekatan mereka sulit dimengerti karena anggapan yang tidak dinyatakan tetapi mendasar bahwa Indonesia terlalu vital bagi kepentingan Amerika dan Barat untuk dibiarkan larut dalam kekacauan, menyiratkan bahwa negara-negara lain pasti akan datang untuk menyelamatkannya. Orang-orang militer tersebut mungkin juga telah menyampaikan perasaan, baik langsung maupun tidak langsung, bahwa sementara Amerika Serikat telah menghabiskan berjuta-juta dollar untuk membunuh orang Komunis di Vietnam, orang-orang Indonesia telah membunuh ratusan ribu komunis di negararanya sendiri tanpa sepeser pun bantuan dari Amerika. Dalam arti tersebut, Amerika ’berhutang’ pada Indonesia satu atau dua milyar dalam bantuan luar negeri”.



Namun, ada kelompok lain yang memandang prospek bantuan asing secara lebih realistis. Mereka juga berpendapat bahwa kebijaksanaan luar negeri Indonesia harus dialihkan ke arah memperbanyak bantuan asing. Nampaknya keadaan ini dipengaruhi oleh kondisi saat itu, keadaan ekonomi dan keuangan dengan beban berat telah memukul bukan saja aspek fisik namun juga mental orang-orang pada saat itu. Mental pejabat pada saat itu adalah tidak percaya diri terhadap apa yang dimiliki negaranya, yang ada di pikiran pejabat pada saat itu adalah bagaimana mencari pembiayaan tinggi dengan cepat dan mudah, makanya bantuan asing menjadi sebuah solusi akhir mengatasi kondisi yang sulit dengan beban hutang yang juga besar. Sekalipun demikian, mereka menyadari bahwa tidaklah mudah mengerahkan kreditor asing untuk membiayai program stabilisasi dan pembangunan Indonesia. Pertama, baru satu tahun lewat Sukarno menendang mereka keluar dari Indonesia. Kendatipun seorang pemimpin baru telah menduduki kekuasaan sejak 11 Maret 1966, Sukarno masih ada sebagai Presiden. Kedua, adanya kecenderungan menurunnya kegiatan bantuan Amerika akibat dari kekecewaannya terhadap penyalahgunaan dana-dana bantuan. Sikap pemerintah Amerika terhadap Indonesia sangat berhati-hati sebagai akibat dari pengalaman pahit selama rezim sebelumnya (Sukarno). Tentu Amerika juga tidak ingin terperosok kedua kali untuk menjadi keledai, sikap Amerika ini sangat dipengaruhi oleh laporan-laporan yang berasal dari kegiatan mata-matanya, maka tidak heran sikap Amerika seolah melihat dan menunggu, apalagi dengan adanya Sukarno yang masih menjabat. Pengalaman pahit Amerika dalam Perang Dingin menghantam komunis membuktikan bahwa Indonesia dengan Sukarno-nya turut memanas-manasi dunia pada saat itu. Pengalaman tersebut sudahlah cukup bagi Amerika dengan kegagalan dan keberhasilannya sehingga sikap Amerika ini tidak langsung penetrasi memberikan bantuan.

Kenyataan bahwa uang sejumlah US$ 800 juta yang ditrasnfer dari Amerika ke Indonesia sejak 1946 sampai dengan tahun 1965, berupa hibah dan pinjaman, ”tidak menciptakan perekonomian yang makmur di Indonesia dan tidak pula menghasilkan hubungan politik yang bersahabat antara Washington dan Jakarta, membuat Indonesia memperoleh prioritas rendah dalam penerimaan bantuan Amerika. Bahkan, Kongres Amerika Serikat cenderung bersikap keras terhadap program bantuan oleh presidennya dan dalam tahun-tahun belakangan telah mengurangi bantuan asing. Padahal ini adalah strategi Amerika sendiri untuk ”membuat stabil” Indonesia secara khusus, dan negara lainnya secara umum, atau kebanyakan target-target dari negara Amerika adalah negara Dunia Ketiga. Mengapa demikian? Amerika paham betul bila suatu negara yang baru merdeka yang ekonominya belum mantap benar atau underdeveloped country akan mudah disusupi oleh paham komunis. Negara yang cenderung morat-marit ekonominya, atau tidak stabil dapat dengan mudah dekat dengan komunis, karena lawan dari komunis adalah negara-negara mapan atau negara kapitalis, semangat demikian mudah sekali tersulut. Buktinya adalah kampanye pembebasan Irian Barat dan juga kampanye ”Ganyang Malaysia” maka tak heran bila Amerika bersikap hati-hati dalam hal ini, salah langkah atau salah informasi bisa membahayakan Amerika yang sudah punya koneksi baik dengan Suharto. Ketiga, situasi bantuan internasional pada tahun 1966 tidak terlalu menggembirakan. ”Aliran modal pemerintah ke negara-negara berkembang mandeg” kata seorang pengamat. Akhirnya keempat, pada pertengahan 1960-an modal asing sangat langka dan sangat sulit untuk diperoleh. Sangat sedikit negara-negara Dunia Ketiga yang mampu mendatangkan modal asing dalam jumlah yang sangat besar, bahkan Singapura dan Malaysia saja tidak mampu, dan yang paling tidak mampu adalah Indonesia dengan kebijakannya yang jelas-jelas menghambat masuknya modal. Ini memang dikarenakan kebijakan-kebijakan yang belum punya arah yang jelas, kebijakan-kebijakan tersebut masih diarahkan kepada tujuan jangka pendek yang mau tidak mau akan ada perubahan tiap waktunya. Hal ini berpengaruh kepada kepercayaan asing, sebagai negara yang baru menjalankan roda perekonomian yang mengarah kepada propasar akan menghadapi kendala-kendala dalam birokrasi dan regulasi. Negara-negara penanam modal membutuhkan kepastian akan regulasi, bila tidak ada kepastian maka mereka akan mengurungkan niatnya. Hal ini adalah fenomena yang banyak terjadi kepada negara-negara berkembang yang melakukan industrialisasi dengan strategi subtitusi impor.

Berhubung dengan posisi kepemimpinannya di kalangan negara-negara kapitalis dan badan-badan internasional, seperti IMF dan Bank Dunia, sudah merupakan keharusan bagi Indonesia untuk mengambil hati Amerika. Walaupun bersikeras bahwa kebjaksanaan pemeliharaan hubungan baik dengan negara-negara komunis maupun negara-negara kapitalis harus diteruskan, Soedjatmoko, juru bicara kelompok kedua itu yang kemudian menjadi duta besar RI di Amerika Serikat, menyarankan adanya perhatian khusus guna mengangkat posisi Indonesia dalam daftar prioritas penerima bantuan Amerika terutama dengan membentuk suatu lobby di Washington. Ofensif kebijaksanaan luar negeri rezim baru ini dimulai sangat dini. Tanggal 4 April, seminggu setelah pelantikannya sebagai menteri luar negeri, Adam Malik, mengumumkan bahwa Indonesia akan meninjau  kebijaksanaan luar negerinya dengan penekanan: 1. Perluasan kerjasama internasional dengan sebanyak mungkin bangsa dan kegiatan kegiatan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan; 2. Keikutsertaan dalam organisasi-organisasi internasional, seperti PBB dan badan-badannya; dan 3. Pemecahan masalah Malaysia secara damai. Pada hari yang sama, Wakil Perdana Menteri untuk Urusan Ekonomi, Sultan Hamengku Buwono IX, juga mengumumkan bahwa Indonesia akan mengusahakan penundaan dan penjadwalan kembali pembayaran hutangnya dan mencari bantuan luar negeri yang baru tanpa ikatan-ikatan politik. Pada tanggal 6 Mei, Menteri Adam Malik berbicara di depan DPR tentang niat Indonesia untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat. Seminggu kemudian Indonesia mengirim misi teknik resminya yang pertama di bawah pimpinan Umaryadi Nyowiyono ke beberapa negara Eropa untuk mengusahakan penjadwalan kembali kembali hutang dan kredit baru. Pada minggu terakhir bulan yang sama, Sultan Hamengku Buwono IX sendiri memimpin delegasi yang lain ke Jepang untuk tujuan serupa, yang pada waktu itu pemerintah Jepang setuju mengadakan suatu konferensi untuk para kreditor Indonesia membicarakan kembali pembayaran hutangnya. Misi-misi lain dikirim untuk membicarakan penyelesaian damai masalah Malaysia. Sementara itu, berbagai tanggapan dari kreditor asing terhadap langkah-langkah diplomasi Indonesia belum jelas benar. Pada tanggal 4 April, untuk menanggap himbauan Sultan, pemerintah Belanda tidak akan membuka pintu untuk Indonesia melalui badan-badan multilateral. Pada tanggal 8 April, Amerika Serikat memberikan setuju memberikan pinjaman 50.000 ton beras seharga hampir US$ 9 juta dan pinjaman lain, untuk pembelian 75.000 bal kapas bernilai US$ 10,5 juta, keduanya di bawah program PL-480.





Dari Diplomasi ke Aksi: Soal Bantuan Asing ke Indonesia

            Bahkan sebelum datangnya tim IMF yang pertama pun, para penasehat Jenderal Suharto telah memiliki gagasan tersendiri tentang bagaimana melunakkan tekanan inflasi dan memperkuat neraca pembayaran, dua tujuan pokok stabilisasi ekonomi. Mereka telah menyarankan Jenderal Suharto agar mengambil tindakan-tindakan yang serius. Pertama, mengurangi permintaan agregat uang secara besar-besaran dengan cara mengurangi tingkat pertumbuhan peredaran uang dan defisit anggaran pemerintah. Kedua, meningkatkan pendapatan pemerintah melalui peningkatan pengumpulan pajak dan mengundang bantuan asing, terutama dalam bentuk bantuan komoditi dan dukungan devisa. Namun para kreditor itu masih tidak yakin. Mereka tidak melihat program itu cukup spesifik untuk menjamin masuknya kelanjutan bantuan. Dengan bantuan para ahli IMF, para ekonom Indonesia pada kwartal terakhir 1966 membuat beberapa percaturan khusus tentang stabilisasi ekonomi. Aturan-aturan tersebut kemudian menjadi ciri-ciri khas perekonomian Orde Baru. Jika pemindahan kekuasaan 11 Maret 1966 merupakan tonggak bersejarah politik Orde Baru, maka peraturan ekonomi 3 Oktober 1966 merupakan tonggak sejarah ekonominya. Dua peraturan ekonomi penting lainnya pada tanggal 10 Februari 1967 dan 28 Juli 1967 hanya merupakan perluasannya. Peraturan-peraturan itu merupakan ”aturan permainan” khusus pertama yang secara mendasar dalam rangka mengubah tata cara pengelolaan ekonomi Indonesia.

            Peraturan-peraturan itu mencakup tindakan-tindakan: pembaruan fiskal untuk menyeimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (melalui pemotongan belanja, peningkatan pendapatan dengan meningkatkan pajak dan mengurang defisit); pembaruan moneter (pengetatan kredit dengan peningkatan suku bunga secara tajam); bantuan dan investasi asing; liberalisasi perdagangan luar negeri (dengan pembebasan lalu lintas devisa dan penyatuan tingkat nilai-tukar); dan ”de-etatisasi” (pengurangan peran dan negara) dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Pada tanggal 7 Januari 1967, pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat menandatangani perjanjian Jaminan Investasi, yang memungkinkan Amerika Serikat memberikan jaminan apabila warganegaranya menderita kerugian di Indonesia karena nasionalisasi, tidak mungkinnya penukaran mata-uang atau kerusakan karena peperangan revolusi atau pemberontakan. Sesudah itu, jaminan investasi timbal balik yang sama juga disepakati dengan Belanda, Denmark, dan Jerman Barat.

            Bulan Februari 1968, negara ini memasuki ”The Convention on the Settlement of Internationals Disputes between States and Nationals of Other States”. Konvensi yang disponsori bank Dunia itu menyelesaikan perselisihan dalam investasi pemerintah dan investor asing. Kebijaksanaan untuk menarik penanaman modal asing juga didukung oleh banyak kegiatan ekonomi, di mana banyak bisnis besar internasional memainkan peranan penting. Bulan Agustus 1966, Pacific Industrial Conference, yang disponsori Universitas Stanford, membawa 170 orang pimpinan senior dunia usaha ke Jakarta. Beberapa waktu kemudian badan tersebut mendirikan Asosiasi Bisnis Indonesia – Pasifik (PIBA), dan pada tanggal 2-5 Agustus 1967 mengadakan pertemuan di Jakarta. PIBA juga mendirikan Dewan Promosi Investasi di Indonesia. Di Jenewa, pada bulan November 1966, Business Internasional yang bermarkas di New York menyelenggarakan konferensi tentang investasi asing di Indonesia, di mana tim ekonomi Indonesia (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Dr. M. Sadli, Dr. Emil Salim dan Dr. Selo Soemardjan) bertemu dengan para pengusaha besar dari Eropa dan Amerika Serikat, termasuk David Rockefeller. Konferensi ini disponsori oleh Time-Life Inc. Pertemuan Business Internasional lainnya diadakan di Jakarta dalam bulan September 1968. Menggaris-bawahi bagaimana kesungguhan Suharto dalam menanggapi terobosan pertama  dalam suatu forum internasional tentang investasi, ia mengeluarkan suatu dekrit presiden yang memberikan kepada delegasi Indonesia wewenang penuh untuk mewakili pemerintah. Para anggotanya termasuk para menteri ekonomi dan menteri luar negeri ditambah sebagian besar ekonom terkemuka pemerintah yang bertanggung jawab atas investasi, perdagangan dan keuangan. Seluruhnya, duapuluh orang Indonesia berangkat ke Jenewa, ditambah dua orang dutabesar lengkap dengan staf-stafnya. Peristiwa itu merupakan satu peragaan yang sangat mengesankan. Sekalipun para pejabat merasa yakin akan tujuan-tujuan mereka, sarana lewat konferensi itu harus diperlakukan secara lebih teliti. Pertanda yang paling jelas dan paling langsung harus diberikan kepada para pemimpin bisnis ini. Tetapi pemerintah Indonesia, dan mereka harus mempertahankan sekurang-kurangnya penampilan yang bermartabat dan kebanggan di depan umum.

            Mengenai peranan aktor-aktor eksternal, kita harus memberi perhatian khusus pada IMF. Tampaknya IMF melakukan penekanan yang kuat terhadap pemimpin Indonesia untuk mengikuti bimbingannya. Perbincangan tentang kebutuhan Indonesia akan kredit, baru benar-benar dimulai ketika pemerintah Belanda mensponsori pertemuan lagi di Amsterdam tanggal 23-24 Februari 1967. Pertemuan tersebut mendirikan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia), yang sejak itu berfingsi sebagai sumber terbesar bantuan asing untuk Indonesia. Fungsi IGGI dijalankan oleh IMF dan sejak 1969 oleh Bank Dunia. Hampir 50% dari bantuan program diberikan dalam bentuk kredit komoditi pangan, kebanyakan dari Amerika Serikat melalui program PL-480. Jenis bantuan asing ini sangat berarti dalam menstabilkan harga-harga melalui ”injeksi” bahan pangan impor ke pasar. Selain itu, negara-negara Barat juga memberikan hibah sebesar US$ 69 juta dalam tahun 1969/1970; US$ 45 juta dalam tahun 1970. Lebih banyak lagi bantuan diberikan ketika Robert McNamara mengunjungi Indonesia dalam bulan Juni 1968. Penentuan waktu perjalanan bisnis ke luar negerinya yang pertama setelah ia menjadi Presiden Bank Dunia tiga bulan sebelumnya itu dianggap sebagai sikap penting yang menunjukkan pengertian yang lebih baik terhadap masalah Indonesia. Tanda dukungan seperti itu telah ditegaskan lagi ketika selama kunjungan McNamara mengumumkan bahwa:

  1. Bank Dunia secara resmi telah mulai beroperasi di Indonesia;
  2. Bahwa kantor luar negeri Bank Dunia permanen yang pertama adalah di Indonesia.

Sejak itu, Bank Dunia telah menugaskan para ahli pertanian, trasnportasi, industri, kependudukan dan bidang-bidang lainnya di Indonesia. Mereka telah terlibat secara aktif untuk memberikan saran kepada pejabat-pejabat perencana Indonesia, Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan departemen-departemen ekonomi lain, serta dalam merancang Repelita.





DAFTAR PUSTAKA



Abdullah, Taufik. 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif. Jakarta: Gramedia



Mas’oed, Mohtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (1966-1971). Jakarta: LP3ES



Tambunan, Tulus. 2006. Perekonomian Indonesia Sejak Orde Lama Hingga Pascakrisis. Jakarta: Pusaka Quantum




1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus