Minggu, 13 Maret 2016

Perjanjian Renville - Citra Novenia (2014230054)

Diplomasi Indonesia dalam Perundingan Renville

            Perjanjian Renville, satu persetujuan dibawah pengawasan dan tanggungjawab Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, merupakan upaya sesudah Linggarjati dan bersama-sama dengan Perjanjian Konferensi Meja Bundar merupakan kesinambungan dari upaya-upaya di Hoge Veluwe, Linggarjati serta melalui RoemRoijen Statement guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang sama. Renville dinamakan Peningkatan Pencapaian Cita-Cita Bangsa. “Persetujuan Renville dan sabotase Belanda terhadap pelaksanaannya” adalah ungkapan Ketua Panitia Sejarah Diplomasi Indonesia, T.M. Hadi Thayeb terhadap Perjanjian Renville. Sabotase itu berupa penafsiran sepihak dan berbeda dari prinsip-prinsip Renville mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat, pembentukan Pemerintah Interim, masalah Hubungan Luar Negeri, hal Uni Indonesia-Belanda, hla kedaulatan, hal plebisit, dan lain-lainnya. Ketika kapal USS Renville PA227 yang didatangkan dari Shanghai berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta, Belanda telah mendahului dengan kegiatan membentuk Pemerintah Interim (Peralihan) Indonesia Serikat dengan tidak mengikutsertakan Republik Indonesia, padahal Indonesia telah menyatakan tidak akan menolak pembentukan tersebut, asal saja Komisi Jasa-Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) jangan diabaikan.
            Setelah persetujuan Renville ditandatangani, pers reaksioner Belanda mengadakan kampanye besar-besaran “mentorpedo” persetujuan itu melecehkan dan menghina Republik Indonesia. Setelah kapal Renvlle berangkat meninggalkan Tanjung Priok menuju California, Amerika Serikat, 10 Februari 1948 melalui Guam, Belanda melakukan siasat untuk memecah-belah bangsa Indonesia dengan mendirikan “daerah-daerah instimewa”. Perundingan poliitk yang berminggu-minggu dan berbulan-bulan tidak dapat mendatangkan hasil. Ada 4 pasal yang menjadi pokok pertikaian. Keempat pasal terseut adalah masalah pembentukan Negara Indonesia Serikat, pembentukan Pemerintah Interim, Uni Indonesia-Belanda, dan masalah plebisit. Dari keempat pasal itu, yang paling sulit ialah masalah pembentukan pemerintah Interim, antara lain mengenai kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan hubungan Luar Negeri.
            Melalui tekanan dari Amerika Serikat dan Komisi Tiga Negara, akhirnya pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk menerima prinsip-prinsip Persetujuan Renville dan Persetujuan Gencatan Senjata 17 Januari 1948, yang berarti Indonesia menjadi separuh lebih kecil di Pulau Jawa dan seperlima di Pulau Sumatera dan bagian-bagian Indonesia yang terkaya terpaksa diserahkan kepada Belanda, dan menyebabkan penyerahan secara tidak rela dari sekitar separuh rakyat Republik Indonesia kepada pemerintah Belanda. Namun, setelah itu dalam perundingan berturut-turut timbul prakarsa-prakarsa Amerika Serikat yang melahirkan rencana Critchley-Dubois (9 Juni 1948), disetujui oleh Indonesia tetapi ditolak Belanda. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Marshall menyatakan dalam Sidang Umum UNO di Paris, bahwa satu-satunya jalan untuk memcahkan persoalan Indonesia adalah peretujuan antara Belanda dan Indonesia atas dasar Renville.
            Pada tanggal 17 Januari 1948 di atas Kapal Renvile milik Amerika Serikat, ditandatangani naskah persetujuan oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan delegasi Belanda oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo. Komisi Tiga Negara tiba di Jakarta tanggal 20 Oktober 1947, tiga hari kemudian berangkat ke Yogyakarta. Belanda mengusulkan agar perundingan dilakukan di Jakarta, namun Republik Indonesia menghendaki agar perundingan dilakukan di daerah Republik Indonesia. Frank P. Graham mengusulkan untuk melakukan perundingan di kapal Renville milik Amerika Serikat, kapal tersebut berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta. Perundingan dan pertemuan Komisi Tiga Negara antara delegasi Republik Indonesia-Belanda telah berulangkali diadakan, saat itu sifat perjuangan bangsa Indonesia ada dua macam, 1) perjuangan bersenjata, dan 2) perjuangan melalui perundingan atau diplomasi.
            Namun, di daerah-daerah yang telah diduduki Belanda terdapat “kantong-kantong/pockets” pertahanan gerilyawan Indonesia yang menjadi tugas peninjau Komisi Tiga Negara menyelesaikan masalah itu. Tetapi dengan niat negatif, provokasi-provokasi dan tindakan-tindakan Belanda merintangi upaya penyelesaian, akibatnya perundingan-perundingan pun dragging on, sampai kemudian Security Council PBB mengambil alih. Setelah persiapan usai, delegasi kedua pihak  serta delegasi Komisi Tiga Negara didatangkan ke Kapal Renville. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Sjarifuddin termasuk Iskaq Tjokrohadisurjo. Perundingan dimulai pada Senin 8 Desember’47 dengan ketua mingguan yaitu Herremans dari Belgia, seorang diplomat. Setelah perundingan dimulai, ternyata masalah genjatan senjata menimbulkan kemacetan pertama. Delegasi Komisi Tiga Negara mengusulkan agar gencatan senjata dapat dilakukan sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 1 Novemer 1947. Namun Belanda menolak, karena bermaksud untuk mewujudkan garis Van Mook, sedangkan Komisi Teknik Indonesia diketuai dr. J. Leimena setuju dengan resolusi 1 November’47 serta garis Van Mook yang masih harus diperdebatkan.
            Perundingan telah berlangsung lebih dari setengah bulan, namun belum mencapai hasil. KTN mencoba menerobos kemacetan yang melanda perundngan, dengan rencana usulan pertama KTN pada 3 Desember’47 ditolak Belanda. Maka dari itu, diusulkan rencana kedua, dikenal sebagai Pesan Natal, lalu diterima oleh kedua pihak pada 26 Desember’47 untuk dipelajari da dirundingkan. Pada 30 Desember’47 delegasi Republik Indonesia dan Komisi Teknik melakukan pertemuan di jl. Pegangsaan Timur 56, untuk menyetujui perundingan berdasarkan usul Natal. Usul pertama KTN yang mempertahankan garis demarkasi 4 Agustus’47  merugikan Republik Indonesia, maka usul Natal tersebut lebih merugikan. Namun, Belanda masih ingin mengadakan amandemen yang menekan Republik Indonesia, usul tersebut disertai ancaman untuk bersedia menerima tanpa syarat. Apabila Republik Indonesia menolak berarti Belanda bebas bertindak terhadap Republik Indonesia, untuk menghadapinya kabinet mengadakan sidang maraton di Yogyakarta pada 3 dan 5 Januari’48. Akhirnya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin berngkat ke Jakarta untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut  dengan KTN, pihak KTN minta agar delegasi Indonesia memenuhi tuntutan Belanda yang bersikap keras dan tidak bersedia mundur dari 12 prinsip usulan KTN. Komisi itu berupaya mendekatkan kedua pihak dengan menambah 6 pasal di atas 12 usul Belanda itu. KTN menegaskan, bila Republik Indonesia tidak bersedia menerima 12 prinsip dan 6 pasal tambahan, maka komisi ini akan mengembalikan mandatnya kepada Dewan Keamanan PBB. Secara cepat langsung dilakukan pertemuan di Kaliurang, Yogyakarta.
            KTN juga mengundang Belanda untuk hadir dalam pertemuan itu, delegasi Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam usul 12 prinsip Belanda dan 6 pasal tambahan dari KTN. Pertemuan Kaliurang 13 Januari’48 itu ternyata belum memberikan jalan keluar yang konkrit bagi Republik Indonesia, dengan kepastian bahwa dalam masa peralihan kedaulatan Republik Indonesia tetap berada di tangan Bangsa Indonesia. Sementara itu, Belanda melancarkan ultimatum yang berakhir pada 15 Januari’48, dan akhirnya Indonesia menerima desakan usulan-usulan KTN. Sebagai akibat diterimanya Persetujuan Renville, timbul pertentangan baru di antara kekuatan sosial-politik di dalam Republik, partai Masyumi dan PNI yang mendukung Kabinet Amir Sjarifuddin menolak Persetujuan Renville, sehingga menarik dukungan terhadap kabinet tersebut dan akhirnya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meletakkan jabatan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno (Departemen Luar Negeri, 2004).
            Tetapi, Amir Sjarifuddin berkerjasama dengan tokoh kawanan PKI, yakni Muso yang baru saja pulang dari Rusia. Peristiwa pemberontakan PKI dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) benar-benar sangat disayangkan dan merupakan pukulan berat bagi bangsa Indonesia. Selain Indonesia sedang prihatin akibat serangkaian aksi Belanda yang bertubi-tubi, PKI malah menusuk bangsa sendiri dari belakang. Sehubungan dengan pemberontakan PKI dengan FDR-nya itu, maka kabinet pimpinan Moh. Hatta segera bersidang untuk menentukan sikap, keputusan yang diambil ialah; 1) menumpas kaum pemberontak PKI di Madiun dan kota-kota lin yang diduduki oleh para pemberontak FDR yang telah memproklamirkan berdirinya RIS, 2) menugaskan kepada Panglima Besar Sudirman untuk mengambil prakarsa penumpasan terhadap para pemberontak PKI secara militer. Presiden pun juga menanggapi pemberontakan tersebut dengan berpidato melalui radio. Dalam pidato itu, antara lain Presiden menegaskan mengenai cobaan yang dialami Indonesia, saat itu bersengketa menghadapi Belanda, sehingga persatuan sangat diperlukan. Tetapi tiba-tiba persatuan dipecah oleh PKI pimpinan Muso dan Amir Sjarifuddin yang melakukan perampasan di Madiun, sebagai upaya jelas untuk merebut pemerintahan Republik Indonesia (Sardiman, 2008).
            Semenjak Persetujuan Renville ditandatangani, kedua pihak dengan giat menepati janji masing-masing. Mereka berupaya melakukan tindakan terpenting dengan mengosongkan daerah-daerah kantong yang berisi tentara Republik Indonesia, yakni di Jawa Barat dan Jawa Timur. Untuk mengurus garis-garis dan daerah-daerah demarkasi, secara berturut-turut telah datang wakil-wakil tentara asing ke Indonesia, dengan berkewajiban untuk melakukan pengawasan tentang keadaan serta bila perlu membantu dan memeriksa apabila ada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan isi persetujuan. Pada 6 Februari’48 Panitia Hijrah dibentuk, untuk memindahkan prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dari kantong-kantong, sesuai dengan Perjanjian Renville. Tetapi, goodwill Republik Indonesia itu, dibalas Belanda dengan meningkatkan blokade di laut dan di udara wilayah Republik Indonesia, serta mengintai dan memburu pelaut-pelaut Indonesia. Belanda menerapakan politik pecah belah terhadap Indonesia (Departemen Luar Negeri, 2004).

Referensi:
Sardiman, 2008, Guru Bangsa Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, Penerbit Ombak Yogyakarta
Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke Masa, Periode 1945 – 1950, PT. Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara), Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar