Diplomasi Indonesia dalam Perundingan Renville
Perjanjian Renville, satu
persetujuan dibawah pengawasan dan tanggungjawab Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, merupakan upaya sesudah Linggarjati dan bersama-sama dengan
Perjanjian Konferensi Meja Bundar merupakan kesinambungan dari upaya-upaya di Hoge
Veluwe, Linggarjati serta melalui RoemRoijen
Statement guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang sama. Renville
dinamakan Peningkatan Pencapaian Cita-Cita Bangsa. “Persetujuan Renville dan
sabotase Belanda terhadap pelaksanaannya” adalah ungkapan Ketua Panitia Sejarah
Diplomasi Indonesia, T.M. Hadi Thayeb terhadap Perjanjian Renville. Sabotase
itu berupa penafsiran sepihak dan berbeda dari prinsip-prinsip Renville
mengenai pembentukan Negara Indonesia Serikat, pembentukan Pemerintah Interim,
masalah Hubungan Luar Negeri, hal Uni Indonesia-Belanda, hla kedaulatan, hal
plebisit, dan lain-lainnya. Ketika kapal USS Renville PA227 yang didatangkan
dari Shanghai berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta, Belanda telah mendahului
dengan kegiatan membentuk Pemerintah Interim (Peralihan) Indonesia Serikat
dengan tidak mengikutsertakan Republik Indonesia, padahal Indonesia telah
menyatakan tidak akan menolak pembentukan tersebut, asal saja Komisi Jasa-Jasa
Baik (Komisi Tiga Negara) jangan diabaikan.
Setelah persetujuan Renville
ditandatangani, pers reaksioner Belanda mengadakan kampanye besar-besaran
“mentorpedo” persetujuan itu melecehkan dan menghina Republik Indonesia. Setelah
kapal Renvlle berangkat meninggalkan Tanjung Priok menuju California, Amerika
Serikat, 10 Februari 1948 melalui Guam, Belanda melakukan siasat untuk
memecah-belah bangsa Indonesia dengan mendirikan “daerah-daerah instimewa”.
Perundingan poliitk yang berminggu-minggu dan berbulan-bulan tidak dapat
mendatangkan hasil. Ada 4 pasal yang menjadi pokok pertikaian. Keempat pasal
terseut adalah masalah pembentukan Negara Indonesia Serikat, pembentukan
Pemerintah Interim, Uni Indonesia-Belanda, dan masalah plebisit. Dari keempat
pasal itu, yang paling sulit ialah masalah pembentukan pemerintah Interim,
antara lain mengenai kedudukan Tentara Nasional Indonesia dan hubungan Luar
Negeri.
Melalui tekanan dari Amerika Serikat
dan Komisi Tiga Negara, akhirnya pemerintah Republik Indonesia memutuskan untuk
menerima prinsip-prinsip Persetujuan Renville dan Persetujuan Gencatan Senjata
17 Januari 1948, yang berarti Indonesia menjadi separuh lebih kecil di Pulau
Jawa dan seperlima di Pulau Sumatera dan bagian-bagian Indonesia yang terkaya
terpaksa diserahkan kepada Belanda, dan menyebabkan penyerahan secara tidak
rela dari sekitar separuh rakyat Republik Indonesia kepada pemerintah Belanda.
Namun, setelah itu dalam perundingan berturut-turut timbul prakarsa-prakarsa
Amerika Serikat yang melahirkan rencana Critchley-Dubois (9 Juni 1948),
disetujui oleh Indonesia tetapi ditolak Belanda. Menteri Luar Negeri Amerika
Serikat Marshall menyatakan dalam Sidang Umum UNO di Paris, bahwa satu-satunya
jalan untuk memcahkan persoalan Indonesia adalah peretujuan antara Belanda dan
Indonesia atas dasar Renville.
Pada tanggal 17 Januari 1948 di atas
Kapal Renvile milik Amerika Serikat, ditandatangani naskah persetujuan oleh
delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin
dan delegasi Belanda oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo. Komisi Tiga Negara tiba
di Jakarta tanggal 20 Oktober 1947, tiga hari kemudian berangkat ke Yogyakarta.
Belanda mengusulkan agar perundingan dilakukan di Jakarta, namun Republik
Indonesia menghendaki agar perundingan dilakukan di daerah Republik Indonesia.
Frank P. Graham mengusulkan untuk melakukan perundingan di kapal Renville milik
Amerika Serikat, kapal tersebut berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta.
Perundingan dan pertemuan Komisi Tiga Negara antara delegasi Republik
Indonesia-Belanda telah berulangkali diadakan, saat itu sifat perjuangan bangsa
Indonesia ada dua macam, 1) perjuangan bersenjata, dan 2) perjuangan melalui
perundingan atau diplomasi.
Namun,
di daerah-daerah yang telah diduduki Belanda terdapat “kantong-kantong/pockets”
pertahanan gerilyawan Indonesia yang menjadi tugas peninjau Komisi Tiga Negara
menyelesaikan masalah itu. Tetapi dengan niat negatif, provokasi-provokasi dan
tindakan-tindakan Belanda merintangi upaya penyelesaian, akibatnya
perundingan-perundingan pun dragging on,
sampai kemudian Security Council PBB
mengambil alih. Setelah persiapan usai, delegasi kedua pihak serta delegasi Komisi Tiga Negara didatangkan
ke Kapal Renville. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Amir Sjarifuddin
termasuk Iskaq Tjokrohadisurjo. Perundingan dimulai pada Senin 8 Desember’47
dengan ketua mingguan yaitu Herremans dari Belgia, seorang diplomat. Setelah
perundingan dimulai, ternyata masalah genjatan senjata menimbulkan kemacetan
pertama. Delegasi Komisi Tiga Negara mengusulkan agar gencatan senjata dapat
dilakukan sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 1 Novemer 1947. Namun
Belanda menolak, karena bermaksud untuk mewujudkan garis Van Mook, sedangkan
Komisi Teknik Indonesia diketuai dr. J. Leimena setuju dengan resolusi 1
November’47 serta garis Van Mook yang masih harus diperdebatkan.
Perundingan telah berlangsung lebih
dari setengah bulan, namun belum mencapai hasil. KTN mencoba menerobos
kemacetan yang melanda perundngan, dengan rencana usulan pertama KTN pada 3
Desember’47 ditolak Belanda. Maka dari itu, diusulkan rencana kedua, dikenal
sebagai Pesan Natal, lalu diterima oleh kedua pihak pada 26 Desember’47 untuk
dipelajari da dirundingkan. Pada 30 Desember’47 delegasi Republik Indonesia dan
Komisi Teknik melakukan pertemuan di jl. Pegangsaan Timur 56, untuk menyetujui
perundingan berdasarkan usul Natal. Usul pertama KTN yang mempertahankan garis
demarkasi 4 Agustus’47 merugikan
Republik Indonesia, maka usul Natal tersebut lebih merugikan. Namun, Belanda
masih ingin mengadakan amandemen yang menekan Republik Indonesia, usul tersebut
disertai ancaman untuk bersedia menerima tanpa syarat. Apabila Republik
Indonesia menolak berarti Belanda bebas bertindak terhadap Republik Indonesia,
untuk menghadapinya kabinet mengadakan sidang maraton di Yogyakarta pada 3 dan
5 Januari’48. Akhirnya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin berngkat ke Jakarta
untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut
dengan KTN, pihak KTN minta agar delegasi Indonesia memenuhi tuntutan
Belanda yang bersikap keras dan tidak bersedia mundur dari 12 prinsip usulan
KTN. Komisi itu berupaya mendekatkan kedua pihak dengan menambah 6 pasal di
atas 12 usul Belanda itu. KTN menegaskan, bila Republik Indonesia tidak
bersedia menerima 12 prinsip dan 6 pasal tambahan, maka komisi ini akan
mengembalikan mandatnya kepada Dewan Keamanan PBB. Secara cepat langsung
dilakukan pertemuan di Kaliurang, Yogyakarta.
KTN juga mengundang Belanda untuk
hadir dalam pertemuan itu, delegasi Republik Indonesia seperti yang tercantum
dalam usul 12 prinsip Belanda dan 6 pasal tambahan dari KTN. Pertemuan
Kaliurang 13 Januari’48 itu ternyata belum memberikan jalan keluar yang konkrit
bagi Republik Indonesia, dengan kepastian bahwa dalam masa peralihan kedaulatan
Republik Indonesia tetap berada di tangan Bangsa Indonesia. Sementara itu,
Belanda melancarkan ultimatum yang berakhir pada 15 Januari’48, dan akhirnya
Indonesia menerima desakan usulan-usulan KTN. Sebagai akibat diterimanya
Persetujuan Renville, timbul pertentangan baru di antara kekuatan sosial-politik
di dalam Republik, partai Masyumi dan PNI yang mendukung Kabinet Amir
Sjarifuddin menolak Persetujuan Renville, sehingga menarik dukungan terhadap
kabinet tersebut dan akhirnya Perdana Menteri Amir Sjarifuddin meletakkan
jabatan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno (Departemen Luar
Negeri, 2004).
Tetapi, Amir Sjarifuddin
berkerjasama dengan tokoh kawanan PKI, yakni Muso yang baru saja pulang dari
Rusia. Peristiwa pemberontakan PKI dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR)
benar-benar sangat disayangkan dan merupakan pukulan berat bagi bangsa
Indonesia. Selain Indonesia sedang prihatin akibat serangkaian aksi Belanda
yang bertubi-tubi, PKI malah menusuk bangsa sendiri dari belakang. Sehubungan
dengan pemberontakan PKI dengan FDR-nya itu, maka kabinet pimpinan Moh. Hatta
segera bersidang untuk menentukan sikap, keputusan yang diambil ialah; 1)
menumpas kaum pemberontak PKI di Madiun dan kota-kota lin yang diduduki oleh
para pemberontak FDR yang telah memproklamirkan berdirinya RIS, 2) menugaskan
kepada Panglima Besar Sudirman untuk mengambil prakarsa penumpasan terhadap
para pemberontak PKI secara militer. Presiden pun juga menanggapi pemberontakan
tersebut dengan berpidato melalui radio. Dalam pidato itu, antara lain Presiden
menegaskan mengenai cobaan yang dialami Indonesia, saat itu bersengketa
menghadapi Belanda, sehingga persatuan sangat diperlukan. Tetapi tiba-tiba
persatuan dipecah oleh PKI pimpinan Muso dan Amir Sjarifuddin yang melakukan
perampasan di Madiun, sebagai upaya jelas untuk merebut pemerintahan Republik
Indonesia (Sardiman, 2008).
Semenjak Persetujuan Renville
ditandatangani, kedua pihak dengan giat menepati janji masing-masing. Mereka
berupaya melakukan tindakan terpenting dengan mengosongkan daerah-daerah
kantong yang berisi tentara Republik Indonesia, yakni di Jawa Barat dan Jawa
Timur. Untuk mengurus garis-garis dan daerah-daerah demarkasi, secara
berturut-turut telah datang wakil-wakil tentara asing ke Indonesia, dengan
berkewajiban untuk melakukan pengawasan tentang keadaan serta bila perlu
membantu dan memeriksa apabila ada masalah-masalah yang tidak sesuai dengan isi
persetujuan. Pada 6 Februari’48 Panitia Hijrah dibentuk, untuk memindahkan
prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dari kantong-kantong, sesuai
dengan Perjanjian Renville. Tetapi, goodwill
Republik Indonesia itu, dibalas Belanda dengan meningkatkan blokade di laut
dan di udara wilayah Republik Indonesia, serta mengintai dan memburu
pelaut-pelaut Indonesia. Belanda menerapakan politik pecah belah terhadap
Indonesia (Departemen Luar Negeri, 2004).
Referensi:
Sardiman, 2008, Guru
Bangsa Sebuah Biografi Jenderal Sudirman, Penerbit Ombak Yogyakarta
Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke Masa, Periode 1945 –
1950, PT. Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar