Minggu, 20 Maret 2016

SDI - Perjanjian Roem Royen (Zahira Nada Firas - 2014230111)


SEJARAH DIPLOMASI INDONESIA

PERJANJIAN ROEM-ROIJEN


                NAMA: ZAHIRA NADA FIRAS          

                                NRP :2014230111



Latar Belakang Perjanjian Roem-Roijen

            Perjanjian Roem-Roijen adalah perjanjian yang terbentuk atas aksi militer kedua Belanda. Merle Cochran yang merupakan anggota UNCI menganjurkan agar di adakan pertemuan antara delegasi Republik Indonesia yang di ketuai oleh Moh.Roem yang bertindak mandate yang di berikan Presiden Republik Indonesia, dan delegasi Belanda yang di ketuai oleh Van Roijen. Pertemuan tersebut berlangsung pada tanggal 6 Mei 1949 yang di hadiri oleh anggota UNCI. Kedua delegasi tersebut menyetujui beberapa prinsip pokok yaitu;

  1. Pengembalian kota Yogyakarta kepada Republik Indonesia.
  2. Pengembalian para pemimpin Republik Indonesia dari Bangka ke Yogyakarta dalam kedudukan semua sebagai anggota pemerintah Republik Indonesia.
  3. Mengadakan persiapan Konferensi Meja Bundar.
  4. Mempercepat penyerahan kedaulatan penuh kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
  5. Masing-masing pemerintah berikrar untuk mengusahakan penghentian perang dan kembalinya perdamaian.

            Pada tanggal 7 Mei 1949 lahirlah pernyataan Roem-Roijen. Peryataan ini bukanlah sebuah persetujuan, melainkan pengakuan posisi masing-masing pihak. Pernyataan Moh.Roem yaitu, bahwa atas nama Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta, di nyatakan kesanggupan kedua pemimpin Republik Indonesia tersebut, sesua dengan resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949 serta petunjuk-petunjuknya tanggal 23 Maret 1949 dan segera sesudah pemerintah Republik Indonesia berfungsi kembali di Yogyakarta untuk berusaha memudahkan;

  1. Pengeluaran perintah kpada para “pengikut Republik Indonesia yang bersenjata” untuk menghentikan perang Grerilya.
  2. Kerja sama untuk pengembalian perdamaian serta menjaga ketertiban dan keamanan.
  3. Keikut sertaan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud mempercepat penyerahan kedaulatan yang sebenarnya dan semelngkapnya kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

Van Roijen, ketua delegasi Belanda mengemukakan:

  1. Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia-panitia bersama di bawah pengawasam Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan maksud:

  1. Mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu untuk kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta.
  2. Mempelajari dan memberi nasehat tentang tindakan yang perlu di ambil dalam pelaksanaan penghentian perang Gerilya dan kerja sama untuk mengembalikan perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.

  1. Pemerintah Belanda setuju bahwa pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan tugasnya dalam wilayah yang meliputi keresidenan Yogyakarta.
  2. Pemerintah Belanda membebasan tidak bersyarat para pemimpin Republik Indenesia dan tahana politik lainnya, yang tertangkap sejak 19 Desember 1948.
  3. Pemerintah Belanda menyetujui Republik Indonesia merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat .
  4. Konferensi Meja Bundar di Den Haag di adakan selekasnya setelah pemerintah Republik Indonesia kembali berfungsi di Yogyakarta. Pada konferensi tersebut akan di bicarakan bagaimana cara mempercepat penyerahan kedaulatan yang sebenarrnya dan secara lengkap kepada Negara Indonesia Serikat.

            Pernyataan tersebut ternyata menumbulkan berbagai reaksi yang berbeda di berbagai kalangan. Wakill Tinggi Mahkota, Beel, meletakkan jabatan karena ternyata kebijakan yang mereka susun tidak sesuia dengan sasaran. Namun sebaliknya, pernyataan tersebut merupakan kemenangan bagi Republik Indonesia. Dan partai-partai politik Masyumi juga partai Nasional Indonesia menyetujui “perundingan Roem-Roijen” sebagain langkah maju menuju penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.

            Tetapi pasukan TNI  menyambut pernyataan tersebut dengan kecurigaan bahwa Belanda tidak akan menaati pernyataan tersebut. TNI juga mengemukaan bahwa mereka secara berangsur telah mengkonsolidasikan posisi dan kekuatannya di daerah-daerah yang baru di duduki Belanda, bahkan daerah-daerah yang sebelumnya mereka tinggalkan dengan “berhijrah” sesuai persetujuan Renville, karena daerah-daerah tersebut mereka tempati kembali. Tidak hanya itu TNI juga sudah berhasil mengatur strategi sehingga perjuangan fisik telah dapat mereka lancarkan, bukan hanya sekedar untuk bertahan. Maka persetujuan Roem-Roijen di akhiri dengn persetujuan tentang gencatan senjata.

            Diplomasi perjuangan berlanjut berdasarkan pernyataan Roem-Roijen. Pada tanggal 22 Juni 1949 di adakan perundingan formal antara Indonesia, pertemuan musyawarah federal, dan Belanda di bawa pengawsan komite Perserikatan Bangsa-Bangsa yang di ketuai oleh Critchley (wakil Australia) .  konferensi tersebut berhasil mengambil keputusan dalm beberapa hal penting yang umumnya sesia dengan sasaran diplomasi Indonesia, yaitu;

  1. Pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta di laksanakan dengan jalan:

  1. Tentara Belana mengosongkan Keresidenan Yogyakarta pada tanggal 14 Juni 1949.
  2. Setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di daerah itu, pada tanggal 1 Juli 1949 Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.

  1. Penghentian permusuhan akan di bahas setelah pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta.
  2. Konferensi Meja Bundar di sepakati di Den Haag.

Srategi Indonesia untuk memojokkan Belanda ternyata berhasil dan bahkan mengalahkan Belanda colonial yang harus mengakui kekalahannya.





Referensi

Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, PT. Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara) . Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar