Minggu, 27 Maret 2016

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Pandapotan Manik - 2014230129)


Review Dinamika Diplomasi AS-Indonesia Pasca Kemerdekaan Tentang Isu HAM di Papua, 1970-1980.



Suhu politik Indonseia dipastikan memanas pada tahun 1970, dari AS dan Australia, Sebuah lembaga pengamat HAM yang berada di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), tiba – tiba mengambarkan bahwa militer indonesia pada dekade 1970-an pernah bertindak sadis dengan menyiksa, memperkosa, dan membantai lebih dari 4.000 warga Papua. Yang tak kalah menggemparkan, pembantaian tersebut delakukan menggunakan helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur Amerika serikat.

Dari riset yang dilakukan AHCR dengan mewawancara para saksi dan mengumpulakan bukti di lapangan dan mengkaji literatur sejarah, terungkap bahwa lebih dari 10.000 warga papua tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan. Ada 4.416 nama korban tewas yang berhasil diidentifikasikan, seperti dilansir ABC News dan The Sydney Morning Herald. Laporan ini juga menceritakan beberapa pristiwa mengerikan di pedalaman papua yang dilakukan militer RI saat itu. Diceritakan dalam suatu waktu, penduduk desa di daerah bolakme diberi tau akan mendapat bantuan dari Australia yang di jatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian di bom menggunakan pesawat dari Amerika.

Yang menyesakkan lagi, AHCR juga menyebut dalam laporannya tentang menderitanya warga papua saat itu yang secara sadis diperlakukan seperti binatang. Pasukan militer dengan tega membakar dan merebus mereka hidup – hidup. Operasi militer ini dilancarkan untuk membendung upaya kelompok separatis papua mencari merdeka dari RI, khususnya setelah pemilu tahun 1977.

Dalam laporan berjudul "The Neglected Genocide – Human Rights Against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978", AHCR menyebut sedikitnya 10 petinggi TNI saat itu ikut bertanggung jawab atas penyerangan dan tindakan brutal pasukannya di papua. Mereka inilah yang telah memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.

Sayangnya, AHCR belum menyebut ekspilit siapa nama 10 nama jendral TNI yang dianggap bertanggung jawab dalam serangan di era orde baru itu. Direktur kebijakan dan program AHCR, Basil Fernando, hanya mengatakan bahwa sejumlah nama tersebut, beberapa di antarannya masih memegang jabatan penting militer indonesia saat ini. Yang paling bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto, maklum, Soeharto kala itu menjabat sebagai Presiden RI merangkap panglima angkatan bersenjata repbulik indonesia – sekarang TNI dan menteri Pertahann dan Keamanan, menyatakan, tindakan brutal pasukan TNI saat itu bisa digolongkan sebagai genosida. Genoside merupakan tindakan pembantaian besar – besaran secara sistematis untuk memusnahkan suatu suku bangsa atau kelompok.

Karenanya ACHR, Amerika Serikat dan Australia menyurakan agar dunia tidak melupakan kekejaman militer terhadap warga pribumi di bumi cendrawasih yang terjadi puluhan tahun lalu. Mereka mendesak dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua. Berita Metro, mengugkap sederet nama yang menduduki jabatan penting di struktur TNI/Angkatan Bersenjata RI pada periode 1970-1980 pada saat itu. Mereka di antaranya, Jendral TNI (Purn), Maraden Panggabean yang menjabat panglima ABRI menggantikan Soeharto priode 1973-1978. Maraden diduga merupakan paman dari ruhut sitompul.

Laporan AHCR ini langsung mendapat reaksi dari pihak istana negara. Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah memang mengaku belum membaca laporan dari AHCR tersebut. Namun begitu, ia sudah meragukan laporan yang mendiskreditkan Pemerintah dan militer RI juga Australia dan Amerika Serikat itu. Meski belum membaca isi laporan, Teuku sudah lebih dahulu mempertanyakan pokok pikiran dan metodologi yang diterapkan AHCR dalam penelitianny.

Pristiwa yang terjadi pada tahun 1970 sudah sangat lama sehingga mengungkap kembali hal tersebut harus dengan cermat dan dilakukan dengan metode yang terukur. Selain istana negara, pemerintah AS dan Australia selaku pihak yang ikut dicatut dalam laporan AHCR ikut anggkat bicara. Satu hal yang ditanggapi serius pemerintah negri jiran itu yajni terkait sokongan militer australia berupa helikopter serbu yang diberikan kepada pasukan TNI untuk membasmi masyarakat di pedalaman papua kalah itu. Menurutnya, kebijakan pemerintah AS saat ini terhadap Papua sudah jelas yakni mengutuk semua kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil maupun kejehatan yang dilancarkan kepada personil keamanan.
Situasi HAM saat ini di propinsi Papua tidak seperti yang digambarkan didalam AHRC. Permohonan apapun untuk mengakses catatan dapartemen pertahanan selama priode yang dimaksudkan harus ditunjukan kepada lembaga arsip nasional sesuai ketentuan arsip tahun 1983. Dapertemen pertahanan Amerika serikat menyatakan, militernya hanya membantu pasukan TNI dalam survei dan pemetaan wilayah Irian jaya pada tahun 1976 hingga 1981.

Helikopter Hercules C-130 Hercules Amerika Serikat turut digunakan untuk melakukan operasi di irian jaya, dan markas besar operasi tersebut berlokasi di bandara udara mokmer di pulau biak. Selain itu, Dapertemen pertahanan juga meminta ACHR dan pihak –pihak yan menyudutkan militer AS-Australia dalam kasus di papua pada saat itu, membuktikan laporannya di Mahkamah Internasional. Juru bicara dephan Amerika serika bidang luar negeri dan perdagangan mengatakan mereka tidak dalam posisi untuk memberikan komentar mengenai situasi di papua pada priode 35 tahun yang lalau.



Sumber
Jhon Rosa, dalih pembunuhan masal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto ( Jakarta: Hasta mitra dan institute sejarah sosial indonesia 2008).
www.bbcpapua.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar