PERJANJIAN
RENVILLE
Diplomasi
indonesia dengan belanda baik sebelum perundingan Hoge Valuwe, maupun di
Linggarjati, Renville dan konfrensi meja bundar adalah bertujuan untuk mencapai
cita-cita bangsa indonesia. Perjanjian Renville, satu persetujuan dibawah
pengawasan dan tanggung jawab dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa, jika
Linggarjati merupakan permulaan tercapinya cita-cita bangsa indonesia, maka
Renville dinamakan: Peningkatan pencapian cita-cita bangsa kita. Perjanjian ini
dinamakan Renvile karena dilakukan diatas kapal laut milik Amerika yang bernama
USS Renvile PA227 yang berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta. Dalam
perundingan Renville ini ada yang dinamakan KTN atau Komisi tiga negara, dimana
Indonesia menunjuk Australia sebagai perwakilan, Belanda menunjuk Belgia, lalu
Australia dan Belgia menunjuk Amerika sebagai neagara ketiga dalam perundingan.
Komisi
Tiga Negara tiba di Jakarta tanggal 20 oktober 1947, Belanda mengusulkan agar
perundingan dilakukan di Jakarta. Tetapi pihak Indonesia menghendaki agar perundingan
dilakukan di daerah Republik Indonesia. Dr. Frank Graham selaku juru bicara
Komisi Tiga Negara megusulkan agar perundingan dapat dilakukan di kapal
Renville milik Amerika Serikat. Pada
tanggal 17 Januari 1948 diatas Kapal Renville milik Amerika Serikat,
ditandatangani naskah persetujuan oleh delegasi Republik Indonesia yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifudin dan delegasi Belanda oleh R.
Abdulkadir Widjoatmodjo, dengan isi perundingan sebagai berikut:
1. Dengan
segera, setelah perjanjian ini ditandatangani, kedua belah pihak akan
mengeluarkan perintah menghentikan tembak-menembak dalam tempo 48 jam. Perintah
ini akan berlaku atas pasukan-pasukan kedua belah pihak, pada sebelah tempat
masing-masing yang telah diterangkan pengumuman dari Pemerintah Hindia Belanda
pada tanggal 29 agustus 1947, garis-garis tersebut dinamakan garis statusquo dan di daerah-daerah termaktub
dalam ayat yang berikut;
2. Dalam
Instansi (tingkatan) pertama dan untuk sementara akan diadakan daerah-daerah
sesuai dengan garis statusquo sebagai
kebiasaan daerah-daerah ini melingkungi garis-garis statusquo pada sebelah pihak, garis dari pihak Belanda yang
terkemuka dan pada pihak lain, garis pihak Republik yang paling depan, sedang
lebarnya suatu daerah harus sama;
3. Mengadakan
daerah-daerah yang tidak diduduki oleh militer (gedemilitariseerd) sekali-kali tidak menyangkut hak dari kedua
belah pihak menurut resolusi dari Dewan Keamanaan pada tanggal 1, 25 dan 26
agustus dan tanggal 1 nopember 1947;
4. Setelah
yang tertulis diatas diterima oleh kedua belah pihak, maka Komisi akan
menyerahkan pembantu-pembantu militernya kepada kedua belah pihak, sedang
pembantu-pembantu tersebut akan menerima petinjuk-petunjuk dan menerima
pertanggungjawaban untuk menentukan, apakah penyelidikan atas suatu insiden
deperlukan oleh pembesar-pembesar dari satu atau kedua pihak;
5. Sambil
menunggu keputusan dalam soal politik, tanggung jawab atas tertib-tentram dan
keselamatan jiwa dan harta benda penduduk dalam daerah-daerah yang dikosongkan
akan dipegang oleh polisi sipil dari kedua belah pihak. Polisi untuk sementara
waktu, memakai tenaga personil militer sebagai polisi sipil dengan perjanjian,
bahwa kekuasaan polisi di bawah kontrol sipil;
6. Perdagangan
dan lalu lintas antara daerah-daerah diusahakan supaya lebih maju dan meningkat
pada hal-hal yang perlu, maka kedua belah pihakakan mengadakan perjanjian
dibawah pengawasan komisi dan wakil-wakilnya, bilamana dirasa perlu;
7. Perjanjian
ini juga memuat hal-hal sebagai tertulis di bawah ini, yang mana dasar-dasarnya
telah disetujui oleh kedua belah pihak:
a. Dilarang
melakukan sabotase, menakut-nakuti,
pembalasan dendam dan lain-lain tindakan yang serupa terhadap orang-orang dan
harta benda, baikpun perusahaan atau barang-barang dari apa saja dan tiap-tiap
orang dan memakai alat-alat apa saja, supaya mencapai maksud tersebut;
b. Tidak
akan mengadakan siaran-siaran radio atau propaganda-propaganda yang lain untuk
menentang atau mengacaukan tentara dan rakyat;
c. Siaran-siaran
radio dan lain-lain untuk maksud memberi tahu kepada tentara dan rakyat tentang
kesukaran-kesukarandan untuk menepati pasal-pasal yang tersebut dalam sub a dan
b;
d. Memberikan
segala kesempatan untuk penyidikanoleh pembantu-pembantu militer dan sipil,
yang diperbantukan pada Komisi Tiga Negara;
e. Penghentian
dengan segera penyiaran-penyiaran pengumuman harian tentang gerakan-gerakan
atau macam pemberitahuan tentang gerakan ketentaraan, kecuali jika sebelumnya
telah disetujui dengan tulisan oleh kedua pihak, tidak termasuk
penyiaran-penyiaran minggu dari daftar rang-orang yang tewas atau meninggal
karena luka-luka yang didadaptnya dalam menjalankan kewajiban;
f. Penerimaan
atas pembebasan tawanan-tawanan dari kedua pihak dan pemulaian perundingan
tentang sesuatu pengwujudan yang secepat-cepatnya dan setepat-tepatnya, pembebasan
mana dalam asasnya akan berlaku dengan tidak mengingat pada jumlah tawanan
kedua pihak;
8. Bahwa
setelah menerima hal tersebut tadi, pembantu-pembantu militer Komisi itu akan
segera mengadakan penyelidikan untuk menentukan apakah atau dimana, terutama di
jawa barat kesatuan-kesatuan tentara Republik mengadakan perlawanan di belakang
kedudukan terdepan dari tentara Belanda yang sekarang. Jika penyelidikan itu
membuktikan adanya kesatuan-kesatuan yang semacam itu, maka kesatuan-kesatuan
itu secepat mungkin, tapi bagaimanapun juga dalam waktu 21 hari, akan
mengundurkan diri secara yang disebutkan dalam pasal berikut;
9. Bahwa
seluruh kekuataan tentara dari kedua pihak masing-masing dalam suatu daerah,
yang diterimasebagai daerah yang dimiliterisasi, atau dalam sesuatu daerah yang
dimiliterisasi dari pihak lain, akan mengundurkan diri, dibawah pengawasan
pembantu militer Komisi itu dan dengan membawa senjatanya dan keperluan
bertempur, dengan tenang menuju daerah yang dimiliterisasi. Kedua pihak berjanji
akan melancarkan pengungsian kekuatan tentaranya masing-masing dengan cepat dan
tenang;
10. Persetujuan
ini dipandang masih mengikat selama waktu empat belas (14) hari dan selalu
dengan sendirinya diperpanjang empat belas (14) hari, kecuali jika salah satu pihak
memberitahukan pada KTN dan pada pihak yang lain, yang berpendapat,
bahwaperaturan-peraturan gencatan senjata tidak ditaati oleh pihak yang laindan
oleh karenanya persetujuan itu hendaknya diakhiri pada akhir waktu empat belas
hari yang berlangsung. (Prundingan politik bangsa Indonesia:Renville, 1986)
Renville,
17 Januari 1948
Semenjak
persetujuan Reville ditandatangani tanggal 17 januari 1948, dengan giat kedua
pihak berupaya dengan cepat untuk menepati janji masing-masing. Mereka berupaya
melakukan tindakan tepenting dengan mengosongkan daerah-daerah kantong yang
berisi tentara Republik Indonesia, yakni di Jawa barat dan di Jawa timur (di
sumatra tidak terdapat kantong-kantong). Dalam waktu yang singkat, telah
dipindahkan sekitar 20.000 tentara indonesia dari daerah-daerah kantong itu.
Dengan mengosongkan daerah-daerah Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Jawa
barat dan Jawa timur, sesungguhnya Republik indonesia telah menyerahkan kepada
pihak Belanda satu kekuatan yang berharga. Karena hal itu selalu membuat
Belanda dihantui rasa ketakutan terhadap kekuatan Republik Indonesia. Dengan
perjanjian gencatan senjata yang dapat terlaksana dengan baik, Republik
Indonesia mampu menunjukan kepada Belanda dan dunia Internasional bahwa
indonesia memiliki goodwill dan
semangat damai yang tinggi.
Tetapi
goodwill Republik Indonesia itu, dibalas Belanda dengan meningkatkan blokade
terhadap Republik Indonesia di laut dan di udara, mengintai dan memburu
pelaut-pelaut Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah belah, terhadap
negara Republik Indonesia, mereka membuat negara-negara boneka, “Negara
pasundan”, “Negara madura, dengan membentuk pemerintahan “sementara” tanpa
persetujuan dan mengikutsertakan Republik Indonesia, sesuai Naskah Perjanjian
Linggarjati maupun Perjanjian Renville. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Refrensi:
Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Indonesia dari Masa ke
Masa, Periode 1945-1950, PT. Upkara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upkara),
Jakarta.
Perjuangan
Politik Bangsa Indonesia : Renville, K.M.L Tobing –
Ed. 1, Cet. 1 – Jakarta : Gunung Agung, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar