"PERJANJIAN
RENVILLE"
Diplomasi yang dilakukan antara
Indonesia dan Belanda tidak hanya selesai pada perjanjian Linggarjati. Kenyataan
yang terjadi adalah setelah disepakatinya perjanjian Linggarjati, masih
terdapat perbedaan penafsiran dalam perjanjian tersebut. Hal inilah yang
kemudian menjadi alasan Belanda melakukan Agresi Militer I . Tepat pada 21 Juli
1947 pukul 02.30 Belanda melakukan penyerangan besar-besaran setelah sebelum
itu menyerang Mojokerto pada 25 Maret 1947. Penyerangan-penyerangan yang
dilakukan oleh Belanda tersebut membuat keadaan di Nusantara menjadi tidak
kondusif dan tidak aman dalam beberapa waktu sepekan. Setelah Soetan Sjahrir
mendapat kesempatan berbicara di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Success pada
14 Agustus 1947, Amerika mengajukan usul
yang diterima baik oleh Dewan Keamanan
untuk membentuk Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 18 September 1947 Komisi Tiga Ngara
resmi dibentuk. Anggota KTN yang dipilih Indonesia adalah Australia, kemudian Belanda
memilih Belgia dan keduanya menunjuk Amerika sebagai pihak negara yang ketiga. Langkah
selanjutnya yang diambil oleh Presiden Soekarno adalah pada 5 Oktober 1947
mengangkat Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai sekertaris Jendral delegasi
Republik Indonesia dan Amir Sjarifuddin
sebagai Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Indonesia- Belanda. Pada
27 Oktober 1947 anggota-anggota Komisi Tiga Negara yang disebut juga sebagai
Komisi Jasa-Jasa Baik tiba di Jakarta
untuk memahami dan mempelajari lebih lanjut mengenai persoalan yang
harus mereka hadapi, kemudian laporan tersebut disampaikan pada Dewan Keamanan.
Setelah melewati banyak perundingan,
perdebatan, dan seluruh anggota dari Komisi Tiga Negara harus bolak-balik Yogya
- Jakarta akhirnya disepakatilah perundingan diadakan di Kapan Renville milik
Amerika yang berlabuh dari Pantai Teluk Jakarta. Perundingan dimulai pada
Senin, 8 Desember 1947. Perundingan tersebut menemui banyak hambatan, terlebih
ketika membahas masalah garis demarkasi yang diaggung-agungkan oleh Van Mook.
Perdebatan sengit antara Indonesia-Belanda terus mendapati jalan buntu,
sehingga perundingan pertama tanggal 3 Desember 1947 ditolak mentah-mentah oleh
pihak Belanda. Saat waktu yang bersamaan
Belanda mempersiapkan sebuah nota yang menyebut bahwa situasi yang
dihadapai tidak boleh diukur hanya berdasarkan resolusi Dewan Keamanan tetapi
pada motif-motif yang mendorong perbuatannya. Bahwa yang dilakukan oleh Belanda
dalam gencatan senjata di tanah air merupakan buah hasil dari
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Republik; Perampokan, pembakaran serta
tindakan-tindakan yang menyebabkan bangkrutnya ekonomi, belum lagi gerakan
rakyat yang menyudutkan kekuasaan Belanda di wilayah-wilayah yang diklaim oleh
pihak Belanda. Lewat dari 3 hari pihak dari Indonesia belum memberikan jawaban
mengenai nota dari Belanda tersebut. Hal ini tidak dibiarkan begitu saja oleh
KTN yang membujuk Belanda untuk memberikan tambahan waktu 48 jam kepada
Indonesia untuk mempertimbangkan keputusannya. Posisi Indonesia berada dalam dilema, sebab jika Indonesia
tetap tidak memberikan jawaban maka Indonesia akan dianggap menyetujui dan Belanda
mengancam akan melanjutkan aksi militernya. Sementara, kekuatan senjata
Indonesia masih belum kompak sehingga tidak dapat diandalkan untuk melawan
balik pasukan militer Belanda. Situasi saat itu begitu sangat pelik, Indonesia
dihadapkan pada dua pilihan: menolak nota Belanda kemudian melanjutkan gencatan
senjata dengan resiko Belanda akan meneruskan aksi militernya ke Yogya dan
Indonesia harus melanjutkan perjuangan dengan cara bergerilya, atau: meneruskan
perjuangan lewat jalur diplomasi yang mana mengorbankan daerah kekuasaanya
dikuasi Belanda namun di satu sisi nantinya Indonesia dapat leluasa
memobilisasi semua tenaga Nasionalis di seluruh Nusantara untuk mengusir
Belanda. Pertimbangan tersebut yang membuat Indonesia dengan berat hati namun
pasti menyetujui batas garis Van Mook
yang dituntut oleh Belanda.
Perundingan antara Indonesia dan
Belanda memasuki babak perundingan yang baru, setelah perundingan pertama
ditolak mentah-mentah oleh Belanda. Usul kedua
dikenal sebagai Pesan Natal yang diterima oleh kedua belah pihak pada 26
Desember 1947 untuk dipelajari dan dirundingkan. Untuk mencapai kesepakatan,
pada tanggal 30 Desember 1947 Indonesia melakukan pertemuan dengan Komisi
Teknik yang berlangsung di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah kembali dari
Yogya ke Jakarta, delegasi Indonesia dihadapkan dengan Belanda yang ingin
mengamandemen 12 prinsipnya. Namun, Indonesia kembali menolak 12 prinsip
Belanda yang dianggap kembali memberatkan Indonesia. Demi menengahi pertikaian
antara keduanya, KTN memberikan tambahan 6 pasal sebagai jalan tengah. Namun,
Indonesia tidak bersedia untuk menerima 12 prinsip dan 6 pasal yang diusulkan.
Perundingan kembali menemui jalan buntu. Untuk menemui jalan keluar, terjadilah
pertemuan di Kaliurang, Yogyakarta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno, Wakil
Presiden Mohammad Hatta, PM Amir Sjarifufin, Soetan Sjahrir, Para Menteri,
Panglima Besar Jendral Sudirman, Anggota Delegasi Indonesia, serta pimpinan
partai-partai politik dan Komisi Teknik.
Komisi Tiga Negara kemudian mengundang Belanda untuk hadir, yang
diwakilkan oleh Jonkheer Van Vrendenburg dan Letnan Kolonel Pereire. Dalam
pertemuan tersebut Indonesia menanyakan posisi Republik Indonesia dalam 12
prinsip dan 6 pasal tambahan dari Komisi Tiga Negara. Kemudian Dr. Frank Graham
menjawab dengan jawaban diplomatis "You are what you are" yang
diartikan sebagai Indonesia dengan bagaimana pun akan tetap memegang
kedaulatannya samapai menjadi bagian dari negara federal dibentuk.
Ultimatum yang dilancarkan oleh
Belanda berakhir pada 15 Januari 1948. Pihak Indonesia akhirnya menerima
desakan dari Komisi Tiga Negara untuk menerima usul-usul tersebut. Namun,
Indonesia tidak semata-semata menerima begitu saja hanya karena desakan,
pertimbangan yang diperhitungkan oleh Indonesia adalah persetujuan di bawah
pengawasan KTN sebagai mata dunia Internasional yang akan selalu melibatkan
PBB. Hal ini diharapkan Indonesia agar cepat atau lambat dunia akan menyadari
aspirasi nasional yang diperjuangkan adalah aspirasu dari seluruh bangsa
Indonesia tanpa terkecuali, termasuk juga masyarakat yang berada dibawah
kekuasaan Belanda. Jika Indonesia menerima, maka dunia Internasional akan
menaruh simpati terhadap Indonesia dan melihat keinginan yang besar dari
Belanda untuk menguasai Indonesia, jika sewaktu-waktu Belanda melanggar
perjanjian yang telah disepakati, maka dunia Internasional akan berada di pihak
Indonesia untuk mendukung Indonesia mengusir Belanda dari tanah air.
Tepat pada tanggal 17 Januari 1948
pada persidangan ke-empat di atas kapal Renville milik Amerika Serikat,
ditandatanganilah perjanjian antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan
Belanda dengan Komisi Tiga Negara sebagai penyuksesi dan mediator tercapainya
kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Berikut 12 Dasar Persetujuan Renville
:
1. Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan
diteruskan untuk melaksa nakan dan mengadakan perjanjian untuk menyelesaikan
pertikainn politik di pulau-pulau Jawa,
Sumatera dan Madurn, berdasarkan
prinsip naskah perjanjian"Linggarjati".
2. Telah sewajarnya, bahwa kedua pinak tidak berhak
menghalang- halangi pergerakan
pergerakan rakyat untuk mengemukakan suara nya dengan leluasa dan merdeka, yang Resuai dengan perjanjian
Linggarjati. Juga telah diselujui, bahwa kedua pihak akan memberi jaminan
tentang adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul, kemerdekaan mengeluarkan suara dan
pendapatnya dan kemerde kaan dalam penyiaran
(publikasi), asal jaminan ini
tidak dianggap meliputi juga propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pem
balasan(repressuilles); Telah
sewajarnya, bahwa keputusan untuk
mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan dengan persetujuan
sepenuhnya dan suka- rela dari penduduk
di daerah-daerah itu pada Buntu saat,
setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanya lagi
paksaan kepada rakyat; Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjian
politik dilakukan pula persiapan persiapan untuk lambat-laun mengurang jumlah
keku atan tentaranya masing-masing
5.
Bahwa, setelah dilakukan
penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan dan sebaik dapat dilaksanakan
perjanjian itu, maka kegiatan dalam
lapangan ekonomi, perdagangan, perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki
dengan dengan sama sama di mana harus diperhatikan kepentingan-kepentingan
semua bagian lain di Indonesia;
6. Bahwa akan diadakan plebisit sesudah waktu
yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun, setelah ditandatangani perjanjian, dalam waktu mana dapat terjadi tukar
menu- kar pikiran, dan pertimbangan tentang soal-soal yang
penting seca ra merdeka dan dengan tidak ada paksaan. Dalam waktu itu, dapat diadakan pemilihan umum secara
merdeka. ngar rakyat Indonesia dapat
menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik da lam hubungan dengan
Negara Indonesia Serikat
7. Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan
undang-undang dasar(konstitusi) akan
dipilih secara demokratis untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat
Negara Indonesia Serikat
8.
Telah didapat persetujuan, bahwa,
setelah ditandatanganinya perjanjian,
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,
salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk mengadakan suatu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannya
kedaulatan pemerintah Belanda kepada pemerintah Negara Indonesia Serikat, maka pihak yang kedua akan menimbangnya
dengan sungguh-sungguh. Dasar dasar
seperti di bawah ini diambil dari naskah perjanjian"Linggarjati"
9.
Kemerdekaan bebas buat bangsa Indonesia seluruhnya Indonesia
10. Bekerja bersama antara bangsa Belanda dan
bangsa suatu satu negara berdasarkan federasi yang berdaulat, dan dengan undang-undang dasar yang timbulnya
melalui jalan-jalan demokrasi
12. Suatu Uni (persatuan) dari Negara Indonesia dengan kera lain, di bawah turunan raja Belanda
Kemudian untuk 6 pasal tambahan
disepakati secara terpisah namun tetap
di tempat yang sama pada 19 Januari 1948. Berikut adalah isi dari 6 pasal
tambahan hasil dari usulan Komisi Tiga Negara :
1.
Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan
Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan Kerajaan Belanda akan menyerahkan
kedaulatan ini kepada gara Indonesia Serikat. Sebelum masa peralihan demikian
itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan hak-hak, kewajiban-kewajiban
dan tanggung jawab kepada pemerintah federal sementara yang dibentuk dari
daerah-daerah yang nantinya akan merupakan Negara Indonesia Serikat, Jika sudah
terbentuk Negara Indonesia Serikat akan merupakan negara yang berdaulat dan
merdeka berkedudukan sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Belanda
Indonesia, dikepalai oleh Turunan Raja Belanda. Hal status Republik Indonesia
adalah sebagai negara yang bergabung dalam Negara Indonesia Serikat
2.
Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perubahan dalam
undang-undang Negara Indonesia Serikat, kepada negara-negara bagian akan diberikan
perwakilan yang adil
3. Sebelum Komisi Tiga Negara dibubarkan
tiap-tiap pihak boleh meminta supaya pekerjaan komisi diteruskan, yaitu guna
membantu menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan penyelesaian politik, yang
mungkin terbit selama masa peralihan, yang lain nya tidak boleh berkeberatan atas
permintaan demikian itu; permintaan tersebut harus dimajukan oleh pemerintah
Belanda kepada Dewan Keamanan
4.
Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan tapi tidak lebah dan satu tahun sesudah
penetujuan ini maka di daerah-daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadak
suara(plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daera-daerah tersebut akan turut
dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara
Indonesia Serikat Plebisit ini diadakan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara,
jika kedua tujuan dalam artikel 3 yang Komisi Tiga Negara memberikan bantuan
dalam soal Kemungkinan tetap terbuka jika kedua pihak dapat persetujuan
menggunakan cara lain dari pemungutan suara untuk menyatakan kehendak rakyat di
daerah-daeruh itu.
5.
Sesudah ditetapkan batas-batas negura negara bagian yang dimak itu, maka akan
diadakan rapat pembentukan undang undang dasar menurut cara demokrasi, untuk
menetapkan konstitusi batas-batas Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari
negara negara bilgian akan mewakili seluruh rakyat
6. Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan
turut serta menandatangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4
dalam persetujuan Ling kedua pihak tidak akan keberatan diada- kan perundingan
untuk menetapkan perhubungan istimewa de ngan Negara Indonesia Serikat.
Referensi :
Departemen Luar Negri,
2004, Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, PT Upakara Sentosa Sejahtera
(Yayasan Upakara), Jakarta
Tobing, K.M.L, 1948, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia :
Renville, PT Gunung Agung, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar