Minggu, 13 Maret 2016

Perjanjian Renville - Anindya Riantri Masun (2014230089)

"PERJANJIAN RENVILLE"

            Diplomasi yang dilakukan antara Indonesia dan Belanda tidak hanya selesai pada perjanjian Linggarjati. Kenyataan yang terjadi adalah setelah disepakatinya perjanjian Linggarjati, masih terdapat perbedaan penafsiran dalam perjanjian tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan Belanda melakukan Agresi Militer I . Tepat pada 21 Juli 1947 pukul 02.30 Belanda melakukan penyerangan besar-besaran setelah sebelum itu menyerang Mojokerto pada 25 Maret 1947. Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Belanda tersebut membuat keadaan di Nusantara menjadi tidak kondusif dan tidak aman dalam beberapa waktu sepekan. Setelah Soetan Sjahrir mendapat kesempatan berbicara di depan Dewan Keamanan PBB di Lake Success pada 14 Agustus 1947,  Amerika mengajukan usul yang  diterima baik oleh Dewan Keamanan untuk membentuk Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 18 September 1947 Komisi Tiga Ngara resmi dibentuk. Anggota KTN yang dipilih Indonesia adalah Australia, kemudian Belanda memilih Belgia dan keduanya menunjuk Amerika sebagai pihak negara yang ketiga. Langkah selanjutnya yang diambil oleh Presiden Soekarno adalah pada 5 Oktober 1947 mengangkat Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai sekertaris Jendral delegasi Republik Indonesia dan  Amir Sjarifuddin sebagai Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan Indonesia- Belanda. Pada 27 Oktober 1947 anggota-anggota Komisi Tiga Negara yang disebut juga sebagai Komisi Jasa-Jasa Baik tiba di Jakarta  untuk memahami dan mempelajari lebih lanjut mengenai persoalan yang harus mereka hadapi, kemudian laporan tersebut disampaikan pada Dewan Keamanan.
            Setelah melewati banyak perundingan, perdebatan, dan seluruh anggota dari Komisi Tiga Negara harus bolak-balik Yogya - Jakarta akhirnya disepakatilah perundingan diadakan di Kapan Renville milik Amerika yang berlabuh dari Pantai Teluk Jakarta. Perundingan dimulai pada Senin, 8 Desember 1947. Perundingan tersebut menemui banyak hambatan, terlebih ketika membahas masalah garis demarkasi yang diaggung-agungkan oleh Van Mook. Perdebatan sengit antara Indonesia-Belanda terus mendapati jalan buntu, sehingga perundingan pertama tanggal 3 Desember 1947 ditolak mentah-mentah oleh pihak Belanda. Saat waktu yang bersamaan  Belanda mempersiapkan sebuah nota yang menyebut bahwa situasi yang dihadapai tidak boleh diukur hanya berdasarkan resolusi Dewan Keamanan tetapi pada motif-motif yang mendorong perbuatannya. Bahwa yang dilakukan oleh Belanda dalam gencatan senjata di tanah air merupakan buah hasil dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Republik; Perampokan, pembakaran serta tindakan-tindakan yang menyebabkan bangkrutnya ekonomi, belum lagi gerakan rakyat yang menyudutkan kekuasaan Belanda di wilayah-wilayah yang diklaim oleh pihak Belanda. Lewat dari 3 hari pihak dari Indonesia belum memberikan jawaban mengenai nota dari Belanda tersebut. Hal ini tidak dibiarkan begitu saja oleh KTN yang membujuk Belanda untuk memberikan tambahan waktu 48 jam kepada Indonesia untuk mempertimbangkan keputusannya. Posisi Indonesia  berada dalam dilema, sebab jika Indonesia tetap tidak memberikan jawaban maka Indonesia akan dianggap menyetujui dan Belanda mengancam akan melanjutkan aksi militernya. Sementara, kekuatan senjata Indonesia masih belum kompak sehingga tidak dapat diandalkan untuk melawan balik pasukan militer Belanda. Situasi saat itu begitu sangat pelik, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan: menolak nota Belanda kemudian melanjutkan gencatan senjata dengan resiko Belanda akan meneruskan aksi militernya ke Yogya dan Indonesia harus melanjutkan perjuangan dengan cara bergerilya, atau: meneruskan perjuangan lewat jalur diplomasi yang mana mengorbankan daerah kekuasaanya dikuasi Belanda namun di satu sisi nantinya Indonesia dapat leluasa memobilisasi semua tenaga Nasionalis di seluruh Nusantara untuk mengusir Belanda. Pertimbangan tersebut yang membuat Indonesia dengan berat hati namun pasti  menyetujui batas garis Van Mook yang dituntut oleh Belanda.
            Perundingan antara Indonesia dan Belanda memasuki babak perundingan yang baru, setelah perundingan pertama ditolak mentah-mentah oleh Belanda. Usul kedua  dikenal sebagai Pesan Natal yang diterima oleh kedua belah pihak pada 26 Desember 1947 untuk dipelajari dan dirundingkan. Untuk mencapai kesepakatan, pada tanggal 30 Desember 1947 Indonesia melakukan pertemuan dengan Komisi Teknik yang berlangsung di Jalan Pegangsaan Timur 56. Setelah kembali dari Yogya ke Jakarta, delegasi Indonesia dihadapkan dengan Belanda yang ingin mengamandemen 12 prinsipnya. Namun, Indonesia kembali menolak 12 prinsip Belanda yang dianggap kembali memberatkan Indonesia. Demi menengahi pertikaian antara keduanya, KTN memberikan tambahan 6 pasal sebagai jalan tengah. Namun, Indonesia tidak bersedia untuk menerima 12 prinsip dan 6 pasal yang diusulkan. Perundingan kembali menemui jalan buntu. Untuk menemui jalan keluar, terjadilah pertemuan di Kaliurang, Yogyakarta yang dihadiri oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, PM Amir Sjarifufin, Soetan Sjahrir, Para Menteri, Panglima Besar Jendral Sudirman, Anggota Delegasi Indonesia, serta pimpinan partai-partai politik dan Komisi Teknik.  Komisi Tiga Negara kemudian mengundang Belanda untuk hadir, yang diwakilkan oleh Jonkheer Van Vrendenburg dan Letnan Kolonel Pereire. Dalam pertemuan tersebut Indonesia menanyakan posisi Republik Indonesia dalam 12 prinsip dan 6 pasal tambahan dari Komisi Tiga Negara. Kemudian Dr. Frank Graham menjawab dengan jawaban diplomatis "You are what you are" yang diartikan sebagai Indonesia dengan bagaimana pun akan tetap memegang kedaulatannya samapai menjadi bagian dari negara federal dibentuk.
            Ultimatum yang dilancarkan oleh Belanda berakhir pada 15 Januari 1948. Pihak Indonesia akhirnya menerima desakan dari Komisi Tiga Negara untuk menerima usul-usul tersebut. Namun, Indonesia tidak semata-semata menerima begitu saja hanya karena desakan, pertimbangan yang diperhitungkan oleh Indonesia adalah persetujuan di bawah pengawasan KTN sebagai mata dunia Internasional yang akan selalu melibatkan PBB. Hal ini diharapkan Indonesia agar cepat atau lambat dunia akan menyadari aspirasi nasional yang diperjuangkan adalah aspirasu dari seluruh bangsa Indonesia tanpa terkecuali, termasuk juga masyarakat yang berada dibawah kekuasaan Belanda. Jika Indonesia menerima, maka dunia Internasional akan menaruh simpati terhadap Indonesia dan melihat keinginan yang besar dari Belanda untuk menguasai Indonesia, jika sewaktu-waktu Belanda melanggar perjanjian yang telah disepakati, maka dunia Internasional akan berada di pihak Indonesia untuk mendukung Indonesia mengusir Belanda dari tanah air.
            Tepat pada tanggal 17 Januari 1948 pada persidangan ke-empat di atas kapal Renville milik Amerika Serikat, ditandatanganilah perjanjian antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Belanda dengan Komisi Tiga Negara sebagai penyuksesi dan mediator tercapainya kesepakatan antara Indonesia dan Belanda. Berikut 12 Dasar Persetujuan Renville :
1.  Bantuan dari Komisi Tiga Negara akan diteruskan untuk melaksa nakan dan mengadakan perjanjian untuk menyelesaikan pertikainn politik di pulau-pulau Jawa,  Sumatera dan Madurn,  berdasarkan prinsip naskah perjanjian"Linggarjati". 
2.  Telah sewajarnya,  bahwa kedua pinak tidak berhak menghalang-  halangi pergerakan pergerakan rakyat untuk mengemukakan suara nya dengan leluasa dan merdeka,  yang Resuai dengan perjanjian Linggarjati.  Juga telah diselujui,  bahwa kedua pihak akan memberi jaminan tentang adanya kemerdekaan bersidang dan berkumpul,  kemerdekaan mengeluarkan suara dan pendapatnya dan kemerde kaan dalam penyiaran  (publikasi),  asal jaminan ini tidak dianggap meliputi juga propaganda untuk menjalankan kekerasan dan pem balasan(repressuilles);  Telah sewajarnya,  bahwa keputusan untuk mengadakan perubahan-perubahan dalam pemerintahan pamong praja di daerah-daerah hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sepenuhnya dan suka-  rela dari penduduk di daerah-daerah itu pada Buntu saat,  setelah dapat dijamin keamanan dan ketenteraman dan tidak adanya lagi paksaan kepada rakyat;   Bahwa dalam mengadakan suatu perjanjian politik dilakukan pula persiapan persiapan untuk lambat-laun mengurang jumlah keku atan tentaranya masing-masing
 5.  Bahwa,  setelah dilakukan penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan dan sebaik dapat dilaksanakan perjanjian itu,  maka kegiatan dalam lapangan ekonomi,  perdagangan,  perhubungan dan pengangkutan akan diperbaiki dengan dengan sama sama di mana harus diperhatikan kepentingan-kepentingan semua bagian lain di Indonesia; 
6.  Bahwa akan diadakan plebisit sesudah waktu yang tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun,  setelah ditandatangani perjanjian,  dalam waktu mana dapat terjadi tukar menu-  kar pikiran,  dan pertimbangan tentang soal-soal yang penting seca ra merdeka dan dengan tidak ada paksaan.  Dalam waktu itu,  dapat diadakan pemilihan umum secara merdeka.  ngar rakyat Indonesia dapat menentukan kedudukannya sendiri di lapangan politik da lam hubungan dengan Negara Indonesia Serikat
7.  Bahwa suatu dewan yang akan menetapkan undang-undang dasar(konstitusi)  akan dipilih secara demokratis untuk menetapkan suatu undang-undang dasar buat Negara Indonesia Serikat
8.  Telah didapat persetujuan,  bahwa,  setelah ditandatanganinya perjanjian,  sebagai yang dimaksud dalam pasal 1,  salah satu dari kedua pihak meminta kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengadakan suatu badan buat melakukan pengawasan sampai saat diserahkannya kedaulatan pemerintah Belanda kepada pemerintah Negara Indonesia Serikat,  maka pihak yang kedua akan menimbangnya dengan sungguh-sungguh.  Dasar dasar seperti di bawah ini diambil dari naskah perjanjian"Linggarjati"
 9.  Kemerdekaan bebas buat bangsa Indonesia seluruhnya Indonesia
10.  Bekerja bersama antara bangsa Belanda dan bangsa suatu satu negara berdasarkan federasi yang berdaulat,  dan dengan undang-undang dasar yang timbulnya melalui jalan-jalan demokrasi
12.  Suatu Uni (persatuan)  dari Negara Indonesia dengan kera lain,  di bawah turunan raja Belanda
            Kemudian untuk 6 pasal tambahan disepakati  secara terpisah namun tetap di tempat yang sama pada 19 Januari 1948. Berikut adalah isi dari 6 pasal tambahan hasil dari usulan Komisi Tiga Negara          :
1. Kedaulatan atas Hindia Belanda seluruhnya ada dan akan tetap berada di tangan Kerajaan Belanda sampai waktu yang ditetapkan Kerajaan Belanda akan menyerahkan kedaulatan ini kepada gara Indonesia Serikat. Sebelum masa peralihan demikian itu habis temponya, Kerajaan Belanda dapat menyerahkan hak-hak, kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah federal sementara yang dibentuk dari daerah-daerah yang nantinya akan merupakan Negara Indonesia Serikat, Jika sudah terbentuk Negara Indonesia Serikat akan merupakan negara yang berdaulat dan merdeka berkedudukan sejajar dengan Kerajaan Belanda dalam Uni Belanda Indonesia, dikepalai oleh Turunan Raja Belanda. Hal status Republik Indonesia adalah sebagai negara yang bergabung dalam Negara Indonesia Serikat
2. Dalam pemerintah federal sementara, sebelum diadakan perubahan dalam undang-undang Negara Indonesia Serikat, kepada negara-negara bagian akan diberikan perwakilan yang adil
 3. Sebelum Komisi Tiga Negara dibubarkan tiap-tiap pihak boleh meminta supaya pekerjaan komisi diteruskan, yaitu guna membantu menyelesaikan perselisihan berkenaan dengan penyelesaian politik, yang mungkin terbit selama masa peralihan, yang lain nya tidak boleh berkeberatan atas permintaan demikian itu; permintaan tersebut harus dimajukan oleh pemerintah Belanda kepada Dewan Keamanan
4. Dalam waktu tidak kurang dari 6 bulan tapi tidak lebah dan satu tahun sesudah penetujuan ini maka di daerah-daerah di Jawa, Sumatera dan Madura akan diadak suara(plebisit) untuk menentukan apakah rakyat di daera-daerah tersebut akan turut dalam Republik Indonesia atau masuk bagian yang lain di dalam lingkungan Negara Indonesia Serikat Plebisit ini diadakan di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara, jika kedua tujuan dalam artikel 3 yang Komisi Tiga Negara memberikan bantuan dalam soal Kemungkinan tetap terbuka jika kedua pihak dapat persetujuan menggunakan cara lain dari pemungutan suara untuk menyatakan kehendak rakyat di daerah-daeruh itu.
5. Sesudah ditetapkan batas-batas negura negara bagian yang dimak itu, maka akan diadakan rapat pembentukan undang undang dasar menurut cara demokrasi, untuk menetapkan konstitusi batas-batas Negara Indonesia Serikat. Wakil-wakil dari negara negara bilgian akan mewakili seluruh rakyat
 6. Jika ada negara bagian memutuskan tidak akan turut serta menandatangani konstitusi tersebut sesuai dengan pasal 3 dan 4 dalam persetujuan Ling kedua pihak tidak akan keberatan diada- kan perundingan untuk menetapkan perhubungan istimewa de ngan Negara Indonesia Serikat.
Referensi         :
Departemen Luar Negri, 2004, Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950, PT Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara), Jakarta

Tobing, K.M.L, 1948, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, PT Gunung Agung,       Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar