PERJANJIAN
RENVILLE
Perjanjian
Linggarjati telah ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda. Akan tetapi, hal
tersebut tidak lantas membuat hubungan antara Indonesia dengan Belanda menjadi
lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan aksi polisionil Belanda yang disebut
dengan Agresi Militer Belanda. Dan tentunya, Agresi Belanda ini mendapatkan
reaksi keras dari sejumlah pihak. Bahkan perwakilan dari Australia serta
perwakilan dari India di PBB mengusulkan agar permasalahan diantara kedua
negara tersebut dibahas di Dewan Keamanan.
Dan untuk mengawasi
serta mencari solusi untuk penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, Dewan
Keamanan PBB membentuk sebuah komisi. Komisi ini dikenal dengan Komisi Tiga
Negara (KTN). Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia, dan
Australia serta Belgia memilih Amerika Serikat sebagai anggota ketiga KTN. Pada
20 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) mengadakan pertemuan di Sidney. Dalam
pertemuan tersebut, ketiga anggota KTN sepakat untuk mengupayakan penyelesaian
konflik diantara Indonesia-Belanda. Akan tetapi, KTN menghadapi kendala yakni
dalam menentukan tempat perundingan. Belanda menghendaki untuk berunding di
Jakarta, tetapi Indonesia tidak sepakat apabila berunding di daerah pendudukan.
Akhirnya, anggota KTN pun memutuskan untuk berunding di tempat yang netral,
yaitu di atas sebuah kapal pengangkut pasukan AL Amerika Serikat, USS
Renville. Kapal tersebut berlabuh di Teluk Jakarta. Dan tepat pada 8
Desember 1947 perundingan pun dimulai.
Akan
tetapi, dalam proses perundingan Renville ini justru menemui jalan buntu. Pihak
Belanda tetap bersikeras pada tuntutannya mengenai batas wilayah kekuasaan
sesuai dengan garis Van Mook. Tentu saja Indonesia menolak tuntutan tersebut.
Dengan serangkaian negosiasi yang dilakukan, peserta perundingan akhirnya menerima
saran dari anggota KTN, yang intinya sebagai berikut:
1.
Segera dikeluarkan
perintah untuk penghentian konflik bersenjata di sepanjang garis Van Mook.
2. Penghentian
konflik bersenjata diikuti dengan perjanjian gencatan senjata dan pembentukan
daerah-daerah kosong militer (determiliterisasi).
Perundingan terus
dilangsungkan hingga tercapainya sebuah kesepakatan. Kesepakatan inilah yang
disebut dengan Perjanjian Renville. Beberapa isi dari perjanjian tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Indonesia
menyetujui dibentuknya Negara Indonesia Serikat.
2. Wilayah
Indonesia yang dikuasai Belanda setelah agresi tetap dikuasai oleh Belanda
sampai diselenggarakannya plebisit untuk menjajaki kehendak rakyat.
3.
Indonesia bersedia
untuk menarik kembali semua pasukan TNI yang berada didaerah pendudukan
Belanda.
Seperti
apa yang pernah diutarakan oleh Presiden Soekarno, bahwa terdapat dua macam
dokumen perjanjian Renville yaitu dokumen mengenai gencatan perang (truce agreement) dan dokumen yang berupa
dasar-dasar untuk mencapai persetujuan politik. Dan tepat pada 17 Januari 1948
perjanjian Renville resmi ditandatangani.
Walaupun
Agresi Militer dapat dihentikan, tetapi dapat dipastikan jika Indonesia justru
dirugikan atas perjanjian tersebut. Bagaimana tidak, wilayah Indonesia menjadi
semakin sempit, selain itu perekonomian Indonesia diblokade oleh Belanda. Dan
yang lebih parah, Belanda yang ingin menghancurkan Kesatuan Republik Indonesia
malah membentuk negara-negara boneka, di wilayah Sumatera Timur, Jawa Timur,
Borneo Barat, dan Madura. Wilayah tersebut tergabung dalam BFO atau Bijeenkomst voor Federaal Overlag.
Selain itu, akibat dari perjanjian ini, Kabinet Amir Syarifuddin ditentang
keras karena dianggap telah menjual negara ke Belanda. Agar strategi diplomasi
tetap berjalan, Kabinet Amir Syarifuddin pun digantikan oleh Kabinet Hatta.
Dan
perjanjian ini pun berakhir ketika Belanda kembali melakukan aksi polisionil II
atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Referensi
:
Departemen Luar Negeri.
2004. Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia: Dari Masa ke Masa, Periode 1945 – 1950. Jakarta: PT. Upakara
Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara).
Alfian, Magdalia., Nana
N.S., & Sudarini S. 2007. Sejarah
Untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), KTSP 2006.
Jakarta: ESIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar