Minggu, 13 Maret 2016

Perjanjian Renville - Errin Dwi Karina (2014230075)

PERJANJIAN RENVILLE

Perjanjian Linggarjati telah ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda. Akan tetapi, hal tersebut tidak lantas membuat hubungan antara Indonesia dengan Belanda menjadi lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan aksi polisionil Belanda yang disebut dengan Agresi Militer Belanda. Dan tentunya, Agresi Belanda ini mendapatkan reaksi keras dari sejumlah pihak. Bahkan perwakilan dari Australia serta perwakilan dari India di PBB mengusulkan agar permasalahan diantara kedua negara tersebut dibahas di Dewan Keamanan.
Dan untuk mengawasi serta mencari solusi untuk penyelesaian konflik Indonesia-Belanda, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah komisi. Komisi ini dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN). Indonesia memilih Australia, Belanda memilih Belgia, dan Australia serta Belgia memilih Amerika Serikat sebagai anggota ketiga KTN. Pada 20 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara (KTN) mengadakan pertemuan di Sidney. Dalam pertemuan tersebut, ketiga anggota KTN sepakat untuk mengupayakan penyelesaian konflik diantara Indonesia-Belanda. Akan tetapi, KTN menghadapi kendala yakni dalam menentukan tempat perundingan. Belanda menghendaki untuk berunding di Jakarta, tetapi Indonesia tidak sepakat apabila berunding di daerah pendudukan. Akhirnya, anggota KTN pun memutuskan untuk berunding di tempat yang netral, yaitu di atas sebuah kapal pengangkut pasukan AL Amerika Serikat, USS Renville. Kapal tersebut berlabuh di Teluk Jakarta. Dan tepat pada 8 Desember 1947 perundingan pun dimulai.
            Akan tetapi, dalam proses perundingan Renville ini justru menemui jalan buntu. Pihak Belanda tetap bersikeras pada tuntutannya mengenai batas wilayah kekuasaan sesuai dengan garis Van Mook. Tentu saja Indonesia menolak tuntutan tersebut. Dengan serangkaian negosiasi yang dilakukan, peserta perundingan akhirnya menerima saran dari anggota KTN, yang intinya sebagai berikut:
1.      Segera dikeluarkan perintah untuk penghentian konflik bersenjata di sepanjang garis Van Mook.
2.      Penghentian konflik bersenjata diikuti dengan perjanjian gencatan senjata dan pembentukan daerah-daerah kosong militer (determiliterisasi).
Perundingan terus dilangsungkan hingga tercapainya sebuah kesepakatan. Kesepakatan inilah yang disebut dengan Perjanjian Renville. Beberapa isi dari perjanjian tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Indonesia menyetujui dibentuknya Negara Indonesia Serikat.
2.      Wilayah Indonesia yang dikuasai Belanda setelah agresi tetap dikuasai oleh Belanda sampai diselenggarakannya plebisit untuk menjajaki kehendak rakyat.
3.      Indonesia bersedia untuk menarik kembali semua pasukan TNI yang berada didaerah pendudukan Belanda.
Seperti apa yang pernah diutarakan oleh Presiden Soekarno, bahwa terdapat dua macam dokumen perjanjian Renville yaitu dokumen mengenai gencatan perang (truce agreement) dan dokumen yang berupa dasar-dasar untuk mencapai persetujuan politik. Dan tepat pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville resmi ditandatangani.
Walaupun Agresi Militer dapat dihentikan, tetapi dapat dipastikan jika Indonesia justru dirugikan atas perjanjian tersebut. Bagaimana tidak, wilayah Indonesia menjadi semakin sempit, selain itu perekonomian Indonesia diblokade oleh Belanda. Dan yang lebih parah, Belanda yang ingin menghancurkan Kesatuan Republik Indonesia malah membentuk negara-negara boneka, di wilayah Sumatera Timur, Jawa Timur, Borneo Barat, dan Madura. Wilayah tersebut tergabung dalam BFO atau Bijeenkomst voor Federaal Overlag. Selain itu, akibat dari perjanjian ini, Kabinet Amir Syarifuddin ditentang keras karena dianggap telah menjual negara ke Belanda. Agar strategi diplomasi tetap berjalan, Kabinet Amir Syarifuddin pun digantikan oleh Kabinet Hatta.
Dan perjanjian ini pun berakhir ketika Belanda kembali melakukan aksi polisionil II atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Referensi :
Departemen Luar Negeri. 2004. Sejarah Diplomasi Republik Indonesia: Dari Masa ke Masa, Periode 1945 – 1950. Jakarta: PT. Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara).

Alfian, Magdalia., Nana N.S., & Sudarini S. 2007. Sejarah Untuk SMA dan MA Kelas XI Program Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), KTSP 2006. Jakarta: ESIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar