Sejarah
Perjanjian Renville
Saat
Agresi Militer Belanda I, Amerika Serikat kembali menunjukkan dukungannya
kepada Belanda, Amerika memberi lampu hijau terhadap aksi militer Belanda.
Serta membiarkan Belanda mendirikan negara-negara bayangan di berbagai wilayah
di Indonesia, seperti negara sumater timur dan negara madura. Dewan keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengurus Komisi Tiga Negara (KTN) untuk menjaga
situasi damai di Indonesia. Komisi Tiga Negara secara efektif pada tanggal 1
November 1947. Komisi tersebut terdiri dari Richard L. Kirby dari Australia,
Paul Van Zeeland dari Belgia, dan Dr. Frank B. Graham dari Amerika Serikat.
Tugas KTN tidak hanya dibidang poitik tetapi juga dibidang militer. Saat itu kontak senjata tetap terjadi di Indonesia,
antara pasukan Belanda dengan Pasukan Indonesia. Sehingga KTN berusaha untuk
mengadakan pertemuan lagi antara pemerintah Republik Indonesia dengan Belanda.
Kedua belah pihak menginginkan agar pertemuan diadakan pada tempat yang netral.
Pemerintah Amerika Serikat mengusulkan agar perundingan diadakan di kapal USS
Renville, yang saat itu masih berlabu di Hongkong. Akhirnya pada tahun 1948
perjanjian diadakan di kapal USS Renville yang telah berlabuh di teluk Jakarta.
Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin dan Belanda di wakili oleh Van mook
yang kemudian sepakat untuk menandatangani perjanjian Renville pada tanggal 17
Januari 1948.
Pada
waktu perundingan Renville dilangsungkan, hadirlah berbagai pihak yakni:
1. Pihak
PBB : sebagai penengah (mediator) dengan Graham sebagai ketua, Van Zeeland dan
Kirby sebagai anggota
2. Pihak
RI, dengan Amir Syarifuddin, sebagai ketua delegasi (dari Partai Sosialis), Ali
Sastroamijoyo, sebagai anggota dari PNI, H. Agus Salim sebagai anggota dari PSII,
Dr. J. Leimena sebagai anggota dari Parkindo, Dr. Tjoa Tik leng dan Nasrun
sebagai anggota
3. Pihak
Belanda, dengan R. Abdoelkadir Widjojoadmodjo, sebagai ketua H.A.L van
Vrendenburgh, Dr. P.J. Koests, Dr. Chr. Soumokil sebagai anggota dan
lain-lainnya.
Perjanjian
Renville terdiri dari:
·
10 pasal persetujuan
gengatan senjata
·
12 pasal prinsip
politik
·
6 pasal prinsip
tambahan dari KTN
Isi
perjanjian antara lain :
1. Pembentukan
dengan segera Republik Indonesia Serikat (RIS)
2. Belanda
tetap berdaulat atas seluruh Indonesia, sebelum RIS terbentuk
3. RI
akan merupakan negara bagian dalam RIS
4. Akan
dibentuk Uni Indonesia-Belanda di mana, kepalanya adalah Raja Belanda
5. Akan
diadakan plebisit (pemungutan suara) untuk menentukan kedudukan politik rakyat
Indonesia dalam RIS dan pemilihan umum untuk pembentukan Dewan Konstituante
RIS.
Hasil
perundingan Renville mengundang protes dari kalangan partai politik dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI). Dari sisi politik hasil perundingan memperlihatkan
kekalahan perjuangan diplomasi. Adapun dari sisi militer, hasil perundingan
mengakibatkan harus di tinggalkannya wilayah pertahanan TNI. Ketidak puasan terhadap hasil perundingan
Renville menyebabkan Kabinet Amir Syarifuddin mendapat tantangan dari
partai-partai besar seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Masyumi. Hingga
akhirnya, kabinet Amir Syarifuddin pun jatuh. Pada tanggal 23 januari 1948,
Amir Syarifuddin menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Kabinet Amir
Syarifuddin di gantikkan kabinet hatta. Hal-hal yang merugikan pihak RI, antara
lain :
1. Pihak
RI menyetujui dibentuknya Negara Indonesia Serikat pada masa peralihan
2. Daerah
yang diduduki Belanda melalui agresinya di akui oleh pihak RI sampai dengan
diadakannya plebisit untuk menentukan aspirasi rakyat di daerah itu, apakah
ingin bergabung dengan RI atau tidak.
3. Pemerintah
RI bersedia menarik semua pasukannya dari daerah-daerah kantong gerilya di
daerah yang diduduki belanda dan masuk ke wilayah RI (hijrah).
Referensi
Zara,
M. Yuanda. 2009. Peristiwa 3 juli 1946. Yogyakarta: MedPrees (Anggota IKAPI)
Soeyono,
Nana Nurliana dan Suhartono, Sudarini. 2008. Sejarah SMP/MTs Kelas IX (KTSP).
Jakarta: Grasindo
Mustopo,
M. Habib dkk. 2006. Sejarah SMA Kelas XI. Jakarta: Yudisthira Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar