Minggu, 13 Maret 2016

Perjanjian Renville - Yessi Alvionita (2014230046)

Perjanjian Renville
Perjanjian Renville merupakan salah satu persetujuan dibawah pengawasan dan tanggung jawab Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merupakan upaya sesudah Linggajati dan bersama-sama dengan perjanjian konferensi meja bundar merupakan lanjutan dari upaya-upaya di Hoge Veluwe, Linggajati serta melalui Roem-Roijen Statement guna mencapai cita-cita bangsa indonesia yang sama. Jika Linggajati merupakan permulaan tercapainya cita-cita bangsa Indonesia, maka Renville dinamakan Peningkatan Pencapaian Cita-Cita Bangsa Kita. Pada tanggal 17 Januari 1948 di atas Kapal Renville milik Amerika Serikat, ditandatangani naskah persetujuan oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin dan delegasi Belanda oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.                                                                                                             
Pada tanggal 31 Juli 1947 persoalan Indonesia Belanda diajukan oleh India dan Australia kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa namun wakil belanda menyangkal hak dewan keamanan mencampuri urusan Indonesia sebab itu semata-mata urusan intern Belanda sendiri. Pada tanggal 17 Agustus 1947 Cease Fire Order berdasarkan keputusan Dewan Keamanan, dikelurkan oleh kedua belah pihak. Pada 25 Agustus 1947 dalam PBB diterima usul Amerika Serikat untuk mengirimkan Komisi Tiga Negara (KTN) ke Indonesia dan Indonesia memilih Australia yang akan duduk dalam Komisi Tiga Negara, Belanda memilih Belgia, Australia dan Belgia memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga dalam KTN dan dewan keamanan PBB memutuskan agar anggota-anggotanya yang mempunyai konsul di Jakarta, memerintahkan konsul-konsul mereka untuk membuat laporan bersama tentang keadaan di Indonesia, termasuk pelaksanaan perintah tembak-menembak, keputusan itu bertujuan untuk mendapat gambaran tentang situasi akhir di Indonesia. Kemudian pada tanggal 26 oktober 1947 Komisi Tiga Negara tiba di Jakarta dan segera mengadakan pembicaraan dengan pihak belanda yang ada di Jakarta. Delegasi Belanda yang membawakan suara Van Mook menghendaki perundingan diadakan di Jakarta. Tiga hari kemudian delegasi Komisi Tiga Negara tiba di Yogyakarta. Pembicaraan delegasi Komisi Tiga Negara dengan pihak Republik Indonesia diselenggarakan di Gedung Negara, Yogyakarta. Dalam pembicaraan tersebut Perdana Menteri Amir Syarifuddin menegaskan kepada delegasi Komisi Tiga Negara bahwa pihak Republik Indonesia menghendaki perundingan diselenggarakan disatu tempat yang dikuasi oleh Republik Indonesia, namun sebaliknya Dr.Frank Graham sebagai juru bicara KTN menyatakan bahwa pihak belanda mengusulkan perundingan di Jakarta, Perdana Mentri Amir Syarifuddin tidak setuju karena Jakarta dikuasai Belanda. Jakarta dianggap tidak aman bagi kepentingan delegasi Republik Indonesia, oleh karena itu diusulkan tempat yang netral di luar wilayah Republik Indonesia dan di luar wilayah Republik Indonesia dan di luar wilayah kekuasaan Belanda dan akhirnya Dr.Frank Graham selaku juru bicara komisi Tiga Negara mengusulkan agar perundingan dapat dilakukan di kapal Renville milik Amerika Serikat. Kapal itu berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta.                                                                                                              Perundingan mulai hari Senin tanggal 8 Desember 1947. Ketua mingguan adalah Herremans dari Belgia, seorang diplomat senior. Dr.Frank Graham wakil delegasi komisi Tiga Negara, R. Abdulkadir Widjojoatmodjo dari delegasi Belanda dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dari delegasi Republik Indonesia. Masalah gencatan senjata menimbulkan kemacetan pertama pada perundingan. Delegasi Komisi Tiga Negara mengusulkan agar gencatan senjata dapat dilakukan sesuai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 1 November 1947. Delegasi Belanda tidak setuju sedangkan Komisi Teknik Indonesia yang diketuai dr J. Leimena setuju dengan 1 November 1947. Perundingan telah berlangsung lebih dari setengah bulan namun persoalan juga belum selesai akhirnya Komisi Tiga Negara membuat usul yang dikenal sebagai  Pesan Natal, usulan ini diterima oleh kedua pihak tanggal 26 Desember 1947 untuk dipelajari  dan dirundingkan. Tanggal 30 Desember 1947 delegasi Republik Indonesia dan Komisi Teknik melakukan pertemuan di jalan Pegangsaan Timur 56, yang intinya menyetujui perundingan berdasarkan usul Natal. Meskipun disadari usul Komisi Tiga Negara yang kedua itu merupakan langkah mundur dari usul pertama yang dimana usul pertama Komisi Tiga Negara yang berdasarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu mempertahankan garis demarkasi 4 Agustus 1947 merugikan posisi Republik Indonesia, maka usul Natal itu lebih merugikan namun pihak belanda masih ingin mengadakan amandemen yang menekan Republik Indonesia, usul Amandemen Belanda itu disertai ancaman kepada Republik Indonesia untuk bersedia menerima tanpa syarat. Bila Republik Indonesia menolak berarti Belanda bebas bertindak terhadap Republik Indonesia. Untuk menghadapi keadaan yang gawat itu kabinet mengadakan sidang maraton di Yogyakarta tanggal 3 dan 5 Januari 1948. Perdana Menteri Amir Syarifuddin selaku ketua delegasi Indonesia kembali ke Jakarta untuk melakukan pembicaraan lebih lanjut dengan Komisi Tiga Negara. Pihak Komisi Tiga Negara minta agara delegasi indonesia memenuhi tuntutan Belanda yang bersikap keras dan tidak bersedia mundur dari 12 prinsip usulan Komisi Tiga Negara. Komisi itu berupaya mendekatkan kedua pihak dengan menambah 6 pasal di atas 12 usul Belanda itu. Komisi Tiga Negara menegaskan bila Republik Indonesia tidak bersedia menerima 12 prinsip dan 6 pasal tambahan, maka komisi ini akan mengembalikan mandatnya kepada Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perdana Menteri Amir Syariffuddin kepada Komisi Tiga Negara tanggal 15 Januari 1948 dengan Rasa berat terpaksa menyampaikan bahwa Republik Indonesia menerima 12 prinsip usul Belanda serta 6 pasal tambahan usulan Komisi Tiga Negara. Indonesia menerima usul-usul tersebut karena terpaksa dan merasa terdesak tetapi Indonesia berharap Komisi Tiga Negara dan Belanda akan menunjukan itikad baiknya terhadap Republik Indonesia di dalam Persetujuan Renville. Sebagai akibat diterimanya Persetujuan Renville timbul pertentangan baru antara kekuatan sosial-politik di dalam Republik. Partai Masyumi dan PNI yang mendukung Kabinet Amir Syarifuddin menolak Persetujuan Renville, sehingga menarik dukungan terhadap kabinet itu. Akhirnya perdana menteri Amir Syarifuddin meletakan jabatan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Meskipun terlaksana ceasefire (penghentian tembak menembak), keadaan tidak aman karena tidak terdapat garis demarkasi yang memisahkan dua kelompok tentara yang berhadapan. Di daerah yang menurut Belanda telah dikuasai, terdapat daerah-daerah kantong yang dikuasai oleh tentara Republik Indonesia. Keinginan untuk menjunjung tinggi keputusan ceasefire tidak mungkin tercapai secara mutlak, pertempuran tak mungkin dihindari karena benturan pasukan yang terpencar-pencar di belakang garis pertahanan Belanda dan terletak secara bersilang-silang itu membuat keadaan bertambah panas. Maka pentingnya diadakan satu garis demarkasi yang memisahkan tentara itu. Semenjak Persetujuan Renville ditandatangani tanggal 17 Januari 1948, kedua pihak berupaya dengan cepat untuk menepati janji masing-masing. mereka berupaya melakukan tindakan terpenting dengan mengosongkan daerah-daerah kantong yang berisi tentara Republik Indonesia, yakni di Jawa Barat dan di Jawa Timur (di Sumatera tidak terdapat kantong-kantong). Untuk mengurus garis-garis dan daerah-daerah demarkasi datang wakil-wakil tentara asing ke Indonesia, mereka itu berkewajiban melakukan pengawasan tentang keadaan serta bila perlu membantu dan memeriksa kalau terjadi masalah. Dengan mengosongkan daerah-daerah TNI di Jawa Barat dan Jawa Timur, sesungguhnya Republik Indonesia telah menyerahkan kepada pihak Belanda satu kekuatan yang berharga. Belanda tidak takut menhadapi perang terbuka secara besar-besaran. Tetapi perang gerilya yang menjadi andalan strategi tentara Republik Indonesia. Tanggal 6 Februari 1948 prajurit-prajurit Tentara Republik Indonesia dari kantong-kantong, sesuai Perjanjian Renville. Tanggal 22 Februari 1948 pengangkutan anggota Tentara Republik Indonesia namun Belanda dengan meningkatkan blokade terhadap negara Republik Indonesia di laut dan dan di udara, menintai dan memburu pelaut-pelaut Indonesia. Belanda menerapkan politik pecah belah, terhadap negara Republik Indonesia. Mereka membuat negara-negara Boneka, “Negara Madura”, “Negara Pasundan”, dengan membentuk pemerintah “sementara” tanpa persetujuan dan mengikutsertakan Republik Indonesia sesuai Naskah Perjanjian linggajati maupun Perjanjian Renville.                                          Pada tanggal 29 September 1947, untuk ketiga kalinya pertikaian Indonesia-Belanda masuk ke dalam agenda Sidang Dewan Keamanan atas anjuran Dr. Evatt wakil Australia untuk membicarakan laporan sementara, yang dikirim oleh Panitia Konsul-Konsul di Jakarta kepada Dewan Keamanan melalui wakil Amerika Serikat di PBB. Panitia itu melaporkan, bahwa perintah menghentikan permusuhan (ceasefire) hingga mereka mempersiapkan laporan belum dipatuhi oleh kedua pihak yang bersengketa. Dari laporan-laporan panitia itu, menurut Dr. Evatt perintah ceasefire itu tidak diperhatikan oleh kedua pihak sementara itu penetapan garis demarkasi oleh Belanda dinilai berlawanan dengan resolusi Dewan Keamanan.  Dewan keamanan PBB pada 7 Januari 1949, membicarakan masalah Indonesia dan banyak negara di dewan keamanan menghujat Belanda dan secara tidak langsung mendukung Indonesia. Atas dukungan dari Amerika Serikat, yang mengancam akan menarik bantuan Marshall Plan untuk Belanda yang sangat dibutuhkanya untuk membangun Negerinya kembali pasca Perang Dunia II. Kejadian ini menyebabkan sikap Belanda melunak dan mau berunding kembali dengan pihak Republik Indonesia. Dewan Keamanan akhirnya menerima 1 resolusi, dimana isi resolusi tersebut sangat menentukan perkembangan selanjutnya masalah Indonesia–Belanda. Permasalahan keduanya berakhir dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Penyerahan Kedaulatan  secara penuh kepada Republik Indonesia Serikat oleh Belanda pada 27 Desember 1949.

Daftar Pustaka
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi RI. (2004). Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950. Jakarta: Departemen Luar Negeri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar