Perjanjian
Renville
Perjanjian
Renville merupakan salah satu persetujuan dibawah pengawasan dan tanggung jawab
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan merupakan upaya sesudah
Linggajati dan bersama-sama dengan perjanjian konferensi meja bundar merupakan
lanjutan dari upaya-upaya di Hoge Veluwe, Linggajati serta melalui Roem-Roijen
Statement guna mencapai cita-cita bangsa indonesia yang sama. Jika Linggajati
merupakan permulaan tercapainya cita-cita bangsa Indonesia, maka Renville
dinamakan Peningkatan Pencapaian Cita-Cita Bangsa Kita. Pada tanggal 17 Januari
1948 di atas Kapal Renville milik Amerika Serikat, ditandatangani naskah
persetujuan oleh delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Perdana Menteri
Amir Sjarifuddin dan delegasi Belanda oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Pada
tanggal 31 Juli 1947 persoalan Indonesia Belanda diajukan oleh India dan
Australia kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa namun wakil belanda menyangkal
hak dewan keamanan mencampuri urusan Indonesia sebab itu semata-mata urusan
intern Belanda sendiri. Pada tanggal 17 Agustus 1947 Cease Fire Order
berdasarkan keputusan Dewan Keamanan, dikelurkan oleh kedua belah pihak. Pada
25 Agustus 1947 dalam PBB diterima usul Amerika Serikat untuk mengirimkan
Komisi Tiga Negara (KTN) ke Indonesia dan Indonesia memilih Australia yang akan
duduk dalam Komisi Tiga Negara, Belanda memilih Belgia, Australia dan Belgia
memilih Amerika Serikat sebagai negara ketiga dalam KTN dan dewan keamanan PBB
memutuskan agar anggota-anggotanya yang mempunyai konsul di Jakarta,
memerintahkan konsul-konsul mereka untuk membuat laporan bersama tentang
keadaan di Indonesia, termasuk pelaksanaan perintah tembak-menembak, keputusan
itu bertujuan untuk mendapat gambaran tentang situasi akhir di Indonesia. Kemudian
pada tanggal 26 oktober 1947 Komisi Tiga Negara tiba di Jakarta dan segera
mengadakan pembicaraan dengan pihak belanda yang ada di Jakarta. Delegasi Belanda
yang membawakan suara Van Mook menghendaki perundingan diadakan di Jakarta.
Tiga hari kemudian delegasi Komisi Tiga Negara tiba di Yogyakarta. Pembicaraan
delegasi Komisi Tiga Negara dengan pihak Republik Indonesia diselenggarakan di
Gedung Negara, Yogyakarta. Dalam pembicaraan tersebut Perdana Menteri Amir
Syarifuddin menegaskan kepada delegasi Komisi Tiga Negara bahwa pihak Republik
Indonesia menghendaki perundingan diselenggarakan disatu tempat yang dikuasi
oleh Republik Indonesia, namun sebaliknya Dr.Frank Graham sebagai juru bicara
KTN menyatakan bahwa pihak belanda mengusulkan perundingan di Jakarta, Perdana
Mentri Amir Syarifuddin tidak setuju karena Jakarta dikuasai Belanda. Jakarta
dianggap tidak aman bagi kepentingan delegasi Republik Indonesia, oleh karena
itu diusulkan tempat yang netral di luar wilayah Republik Indonesia dan di luar
wilayah Republik Indonesia dan di luar wilayah kekuasaan Belanda dan akhirnya
Dr.Frank Graham selaku juru bicara komisi Tiga Negara mengusulkan agar
perundingan dapat dilakukan di kapal Renville milik Amerika Serikat. Kapal itu
berlabuh di lepas pantai Teluk Jakarta. Perundingan
mulai hari Senin tanggal 8 Desember 1947. Ketua mingguan adalah Herremans dari
Belgia, seorang diplomat senior. Dr.Frank Graham wakil delegasi komisi Tiga
Negara, R. Abdulkadir Widjojoatmodjo dari delegasi Belanda dan Perdana Menteri
Amir Syarifuddin dari delegasi Republik Indonesia. Masalah gencatan senjata
menimbulkan kemacetan pertama pada perundingan. Delegasi Komisi Tiga Negara
mengusulkan agar gencatan senjata dapat dilakukan sesuai resolusi Dewan
Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 1 November 1947. Delegasi Belanda
tidak setuju sedangkan Komisi Teknik Indonesia yang diketuai dr J. Leimena
setuju dengan 1 November 1947. Perundingan telah berlangsung lebih dari
setengah bulan namun persoalan juga belum selesai akhirnya Komisi Tiga Negara
membuat usul yang dikenal sebagai Pesan
Natal, usulan ini diterima oleh kedua pihak tanggal 26 Desember 1947 untuk
dipelajari dan dirundingkan. Tanggal 30
Desember 1947 delegasi Republik Indonesia dan Komisi Teknik melakukan pertemuan
di jalan Pegangsaan Timur 56, yang intinya menyetujui perundingan berdasarkan
usul Natal. Meskipun disadari usul Komisi Tiga Negara yang kedua itu merupakan
langkah mundur dari usul pertama yang dimana usul pertama Komisi Tiga Negara
yang berdasarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu mempertahankan
garis demarkasi 4 Agustus 1947 merugikan posisi Republik Indonesia, maka usul
Natal itu lebih merugikan namun pihak belanda masih ingin mengadakan amandemen
yang menekan Republik Indonesia, usul Amandemen Belanda itu disertai ancaman
kepada Republik Indonesia untuk bersedia menerima tanpa syarat. Bila Republik
Indonesia menolak berarti Belanda bebas bertindak terhadap Republik Indonesia.
Untuk menghadapi keadaan yang gawat itu kabinet mengadakan sidang maraton di
Yogyakarta tanggal 3 dan 5 Januari 1948. Perdana Menteri Amir Syarifuddin
selaku ketua delegasi Indonesia kembali ke Jakarta untuk melakukan pembicaraan
lebih lanjut dengan Komisi Tiga Negara. Pihak Komisi Tiga Negara minta agara
delegasi indonesia memenuhi tuntutan Belanda yang bersikap keras dan tidak
bersedia mundur dari 12 prinsip usulan Komisi Tiga Negara. Komisi itu berupaya
mendekatkan kedua pihak dengan menambah 6 pasal di atas 12 usul Belanda itu.
Komisi Tiga Negara menegaskan bila Republik Indonesia tidak bersedia menerima
12 prinsip dan 6 pasal tambahan, maka komisi ini akan mengembalikan mandatnya
kepada Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perdana Menteri Amir Syariffuddin
kepada Komisi Tiga Negara tanggal 15 Januari 1948 dengan Rasa berat terpaksa
menyampaikan bahwa Republik Indonesia menerima 12 prinsip usul Belanda serta 6
pasal tambahan usulan Komisi Tiga Negara. Indonesia menerima usul-usul tersebut
karena terpaksa dan merasa terdesak tetapi Indonesia berharap Komisi Tiga
Negara dan Belanda akan menunjukan itikad baiknya terhadap Republik Indonesia
di dalam Persetujuan Renville. Sebagai akibat diterimanya Persetujuan Renville
timbul pertentangan baru antara kekuatan sosial-politik di dalam Republik.
Partai Masyumi dan PNI yang mendukung Kabinet Amir Syarifuddin menolak
Persetujuan Renville, sehingga menarik dukungan terhadap kabinet itu. Akhirnya
perdana menteri Amir Syarifuddin meletakan jabatan dan mengembalikan mandatnya
kepada Presiden Soekarno. Meskipun
terlaksana ceasefire (penghentian tembak menembak), keadaan tidak aman karena
tidak terdapat garis demarkasi yang memisahkan dua kelompok tentara yang
berhadapan. Di daerah yang menurut Belanda telah dikuasai, terdapat
daerah-daerah kantong yang dikuasai oleh tentara Republik Indonesia. Keinginan
untuk menjunjung tinggi keputusan ceasefire tidak mungkin tercapai secara
mutlak, pertempuran tak mungkin dihindari karena benturan pasukan yang
terpencar-pencar di belakang garis pertahanan Belanda dan terletak secara
bersilang-silang itu membuat keadaan bertambah panas. Maka pentingnya diadakan
satu garis demarkasi yang memisahkan tentara itu. Semenjak Persetujuan Renville
ditandatangani tanggal 17 Januari 1948, kedua pihak berupaya dengan cepat untuk
menepati janji masing-masing. mereka berupaya melakukan tindakan terpenting
dengan mengosongkan daerah-daerah kantong yang berisi tentara Republik
Indonesia, yakni di Jawa Barat dan di Jawa Timur (di Sumatera tidak terdapat
kantong-kantong). Untuk mengurus garis-garis dan daerah-daerah demarkasi datang
wakil-wakil tentara asing ke Indonesia, mereka itu berkewajiban melakukan
pengawasan tentang keadaan serta bila perlu membantu dan memeriksa kalau
terjadi masalah. Dengan mengosongkan daerah-daerah TNI di Jawa Barat dan Jawa
Timur, sesungguhnya Republik Indonesia telah menyerahkan kepada pihak Belanda
satu kekuatan yang berharga. Belanda tidak takut menhadapi perang terbuka
secara besar-besaran. Tetapi perang gerilya yang menjadi andalan strategi
tentara Republik Indonesia. Tanggal 6 Februari 1948 prajurit-prajurit Tentara
Republik Indonesia dari kantong-kantong, sesuai Perjanjian Renville. Tanggal 22
Februari 1948 pengangkutan anggota Tentara Republik Indonesia namun Belanda
dengan meningkatkan blokade terhadap negara Republik Indonesia di laut dan dan
di udara, menintai dan memburu pelaut-pelaut Indonesia. Belanda menerapkan
politik pecah belah, terhadap negara Republik Indonesia. Mereka membuat negara-negara
Boneka, “Negara Madura”, “Negara Pasundan”, dengan membentuk pemerintah
“sementara” tanpa persetujuan dan mengikutsertakan Republik Indonesia sesuai
Naskah Perjanjian linggajati maupun Perjanjian Renville. Pada
tanggal 29 September 1947, untuk ketiga kalinya pertikaian Indonesia-Belanda
masuk ke dalam agenda Sidang Dewan Keamanan atas anjuran Dr. Evatt wakil
Australia untuk membicarakan laporan sementara, yang dikirim oleh Panitia
Konsul-Konsul di Jakarta kepada Dewan Keamanan melalui wakil Amerika Serikat di
PBB. Panitia itu melaporkan, bahwa perintah menghentikan permusuhan (ceasefire)
hingga mereka mempersiapkan laporan belum dipatuhi oleh kedua pihak yang
bersengketa. Dari laporan-laporan panitia itu, menurut Dr. Evatt perintah
ceasefire itu tidak diperhatikan oleh kedua pihak sementara itu penetapan garis
demarkasi oleh Belanda dinilai berlawanan dengan resolusi Dewan Keamanan. Dewan keamanan PBB pada 7 Januari 1949,
membicarakan masalah Indonesia dan banyak negara di dewan keamanan menghujat
Belanda dan secara tidak langsung mendukung Indonesia. Atas dukungan dari
Amerika Serikat, yang mengancam akan menarik bantuan Marshall Plan untuk
Belanda yang sangat dibutuhkanya untuk membangun Negerinya kembali pasca Perang
Dunia II. Kejadian ini menyebabkan sikap Belanda melunak dan mau berunding
kembali dengan pihak Republik Indonesia. Dewan Keamanan akhirnya menerima 1
resolusi, dimana isi resolusi tersebut sangat menentukan perkembangan
selanjutnya masalah Indonesia–Belanda. Permasalahan keduanya berakhir dengan
Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Penyerahan Kedaulatan secara penuh kepada Republik Indonesia
Serikat oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Daftar Pustaka
Panitia Penulisan Sejarah Diplomasi RI. (2004).
Sejarah Diplomasi Republik Indonesia dari Masa ke Masa Periode 1945-1950.
Jakarta: Departemen Luar Negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar