Minggu, 13 Maret 2016

Perjanjian Renville - Feris Afan Saputra (2014230027)

Sejarah Diplomasi Indonesia dalam Perjanjian Renville

            Diplomasi Indonesia dengan Belanda, baik sebelum perundingan di Hoge Veluwe, maupun Linggajati, Renville dan Konferensi Meja Bundar adalah bertujuan untuk mencapai cita-cita Bangsa Indonesia. Perjanjian Renville, satu persetujuan dibawah pengawasan dan tanggungjawab Dewan Keamanan PBB, merupakan upaya sesudah Linggajati dan bersama-sama dengan Perjanjian Konferensi Meja Bundar merupakan kesinambungan dari upaya-upaya di Hoge Veluwe, Linggajati serta melalui Roem-Roijen Statement  guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia yang sama. Jika Linggajati merupakan permulaan tercapainya cita-cita bangsa Indonesia, maka Renville dinamakan: Peningkatkan Pencapaian Cita-Cita Bangsa Kita.
            Dewan Keamanan PBB mengeluarkan seruan tanggal 1 Agustus 1947 maka berbagai kesibukan diplomasi di berbagai bidang tiada henti-hentinya. Seruan tersebut meminta agar permusuhan di Indonesia dihentikan, serta Belanda dan Indonesia dapat menyelesaikan persengketaan mereka dengan menggunakan perantara atau cara damai lainnya.
            Pada tanggal 14 Agustus 1947 Soetan Sjahrir, mewakili Republik Indonesia, berbicara didepan Dewan Keamanan di Lake Succes. Atas usul Amerika Serikat, Dewan Keamanan memberikan jasa-jasa  baik dalam rangka penyelesaian sengketa di Indonesia, melalui pembentukan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari tiga wakil anggota Dewan Keamanan PBB. Maka terbentuklah Komisi Tiga Negara.
            Dengan hadirnya Komisi Tiga Negara akhirnya dapat diadakan perundingan kembali. Perundingan dilangsungkan di atas kapal Renville, milik AS pada bulan Desember 1947. Perundingan tersebut menghasilkan Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh kedua pihak pada bulan Januari 1948.



HasilPerundingan Renville:
·         BelandahanyamengakuiJawatengah,Yogyakarta,danSumaterasebagaibagianwilayahRepublik Indonesia.
·         DisetujuinyasebuahgarisyangmemisahkanwilayahIndonesiadandaerahpendudukanBelanda.
·         TNIharusditarikmundurdaridaerah-daerahkantongnyadiwilayahpendudukandiJawaBaratdanJawaTimur.
Hasil kegiatan-kegiatan diplomasi Indonesia di meja perundingan Indonesia-Belanda melahirkan perdebatan mengenai perbedaan interpretasi Renville Principles, Rencana Critchley Dubois 9 Juni 1948, Plan Cochran September 1948, dan lain-lain. Kegiatan Diplomasi dilakukan juga di forum internasional, dalam sidang-sidang Dewan Keamanan PBB dan di berbagai kota negara sahabat serta forum internasional lainnya untuk memperoleh dukungan pada pengakuan de facto dan de jure Republik Indonesia.
Pada awalnya Amerika Serikat dan Partai komunis Belanda masih menomorsatukan Belanda dalam masalah sengketa Indonesia dan Belanda, demi kepentingan negara-negara Eropa Barat. Tetapi kemudian perkembangan pengaruh komunis di Timur jauh dan Asia Tenggara, terutama setelah Shanghai jatuh ke tangan Kuncantang, dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia Muso di Madiun diiringi dengan lobi yang dilakukan para tokoh dan diplomat Indonesia di Indonesia dan Amerika Serikat, serta sikap Belanda yang kurang luwes dalam berunding, membuat Amerika Serikat lebih dekat dan memahami permasalahan Indonesia.
Sementara itu pertentangan timbul di dalam kubu Belanda, yaitu pertentangan antara Den Haag dan Jakarta, serta antara Van Mook dengan pemerintah yang berkuasa di Belanda. Pertentangan itu sesungguhnya telah terjadi sebelum perundingan di Hoge Veluwe. Hanya karena campur tangan Ratu Wilhelmina kedudukan Van Mook dapat dipertahankan.
Pertentangan kedua ialah antara pemerintah Belanda yang hendak membentuk Pemerintah Federal Sementara tanpa Republik Indonesia, dengan negara-negara BFO yang dibentuk Van Mook (terutama Negara indonesia Timur, Pasundan dan lain-lain) menolak Perdana Menteri Drees.

Kemudian pertentangan antara partai-partai yang berkuasa di Negeri Belanda, menyebabkan pengambilan keputusan mengenai Indonesia tertunda-tunda. Pertentangan antara pemerintah Van Mook di Hindia Belanda, menambah lemahnya posisi berunding Belanda. Sedangkan pertentangan antara Pemerintah Belanda dengan negara-negara BFO menggagalkan terbentuknya pemerintah Indonesia Serikat Sementara tanpa Republik Indonesia yang hendak didirikan Belanda pada bulan Desember 1948. Pertentangan ini yang membuat kedua pemerintahan Negara Indonesia Timur dan Pasundan meletakkan jabatan ketika Belanda melancarkan aksi Militer Kedua. Secara langsung dan tidak langsung, pertentangan-pertentangan di kubu Belanda itu memberi dukungan terhadap diplomasi Indonesia dan merugikan diplomasi Belanda.


Sumber:
Departemen Luar Negeri. 2004.Sejarah Diplomasi Republik Indonesia Dari Masa ke Masa Periode 1945-1950. Jakarta: PT. Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara).

Badrika,Wayan.2004.Sejarah Indonesia dan Umum.Jakarta:Erlangga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar