Sejarah Diplomasi
Indonesia dalam Perjanjian Renville
Diplomasi Indonesia dengan Belanda,
baik sebelum perundingan di Hoge Veluwe, maupun Linggajati, Renville dan
Konferensi Meja Bundar adalah bertujuan untuk mencapai cita-cita Bangsa
Indonesia. Perjanjian Renville, satu persetujuan dibawah pengawasan dan tanggungjawab
Dewan Keamanan PBB, merupakan upaya sesudah Linggajati dan bersama-sama dengan
Perjanjian Konferensi Meja Bundar merupakan kesinambungan dari upaya-upaya di
Hoge Veluwe, Linggajati serta melalui Roem-Roijen
Statement guna mencapai cita-cita
bangsa Indonesia yang sama. Jika Linggajati merupakan permulaan tercapainya
cita-cita bangsa Indonesia, maka Renville dinamakan: Peningkatkan Pencapaian
Cita-Cita Bangsa Kita.
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan
seruan tanggal 1 Agustus 1947 maka berbagai kesibukan diplomasi di berbagai
bidang tiada henti-hentinya. Seruan tersebut meminta agar permusuhan di
Indonesia dihentikan, serta Belanda dan Indonesia dapat menyelesaikan
persengketaan mereka dengan menggunakan perantara atau cara damai lainnya.
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Soetan
Sjahrir, mewakili Republik Indonesia, berbicara didepan Dewan Keamanan di Lake
Succes. Atas usul Amerika Serikat, Dewan Keamanan memberikan jasa-jasa baik dalam rangka penyelesaian sengketa di
Indonesia, melalui pembentukan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri
dari tiga wakil anggota Dewan Keamanan PBB. Maka terbentuklah Komisi Tiga
Negara.
Dengan hadirnya Komisi Tiga Negara
akhirnya dapat diadakan perundingan kembali. Perundingan dilangsungkan di atas
kapal Renville, milik AS pada bulan Desember 1947. Perundingan tersebut
menghasilkan Perjanjian Renville yang ditandatangani oleh kedua pihak pada
bulan Januari 1948.
HasilPerundingan
Renville:
·
BelandahanyamengakuiJawatengah,Yogyakarta,danSumaterasebagaibagianwilayahRepublik
Indonesia.
·
DisetujuinyasebuahgarisyangmemisahkanwilayahIndonesiadandaerahpendudukanBelanda.
·
TNIharusditarikmundurdaridaerah-daerahkantongnyadiwilayahpendudukandiJawaBaratdanJawaTimur.
Hasil
kegiatan-kegiatan diplomasi Indonesia di meja perundingan Indonesia-Belanda
melahirkan perdebatan mengenai perbedaan interpretasi Renville Principles, Rencana Critchley
Dubois 9 Juni 1948, Plan Cochran
September 1948, dan lain-lain. Kegiatan Diplomasi dilakukan juga di forum
internasional, dalam sidang-sidang Dewan Keamanan PBB dan di berbagai kota
negara sahabat serta forum internasional lainnya untuk memperoleh dukungan pada
pengakuan de facto dan de jure Republik Indonesia.
Pada
awalnya Amerika Serikat dan Partai komunis Belanda masih menomorsatukan Belanda
dalam masalah sengketa Indonesia dan Belanda, demi kepentingan negara-negara
Eropa Barat. Tetapi kemudian perkembangan pengaruh komunis di Timur jauh dan
Asia Tenggara, terutama setelah Shanghai jatuh ke tangan Kuncantang, dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia Muso di
Madiun diiringi dengan lobi yang dilakukan para tokoh dan diplomat Indonesia di
Indonesia dan Amerika Serikat, serta sikap Belanda yang kurang luwes dalam
berunding, membuat Amerika Serikat lebih dekat dan memahami permasalahan
Indonesia.
Sementara
itu pertentangan timbul di dalam kubu Belanda, yaitu pertentangan antara Den
Haag dan Jakarta, serta antara Van Mook dengan pemerintah yang berkuasa di
Belanda. Pertentangan itu sesungguhnya telah terjadi sebelum perundingan di
Hoge Veluwe. Hanya karena campur tangan Ratu Wilhelmina kedudukan Van Mook
dapat dipertahankan.
Pertentangan
kedua ialah antara pemerintah Belanda yang hendak membentuk Pemerintah Federal
Sementara tanpa Republik Indonesia, dengan negara-negara BFO yang dibentuk Van
Mook (terutama Negara indonesia Timur, Pasundan dan lain-lain) menolak Perdana
Menteri Drees.
Kemudian
pertentangan antara partai-partai yang berkuasa di Negeri Belanda, menyebabkan
pengambilan keputusan mengenai Indonesia tertunda-tunda. Pertentangan antara
pemerintah Van Mook di Hindia Belanda, menambah lemahnya posisi berunding
Belanda. Sedangkan pertentangan antara Pemerintah Belanda dengan negara-negara
BFO menggagalkan terbentuknya pemerintah Indonesia Serikat Sementara tanpa
Republik Indonesia yang hendak didirikan Belanda pada bulan Desember 1948.
Pertentangan ini yang membuat kedua pemerintahan Negara Indonesia Timur dan
Pasundan meletakkan jabatan ketika Belanda melancarkan aksi Militer Kedua.
Secara langsung dan tidak langsung, pertentangan-pertentangan di kubu Belanda
itu memberi dukungan terhadap diplomasi Indonesia dan merugikan diplomasi Belanda.
Sumber:
Departemen Luar
Negeri. 2004.Sejarah Diplomasi Republik
Indonesia Dari Masa ke Masa Periode 1945-1950. Jakarta: PT. Upakara Sentosa
Sejahtera (Yayasan Upakara).
Badrika,Wayan.2004.Sejarah Indonesia dan Umum.Jakarta:Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar