Diplomasi Dalam Perjanjian Renville
Diplomasi
indonesia dengan belanda, baik sebelum
perundingan di hoge veluwe, maupun di linggarjati, Renville dan
konferensi Meja Bundar adalah bertujuan untuk mencapai cita-cita bangsa
indonesia.
Perjanjian
Renville, satu persetujuan di bawah pengawasan dan tanggung jawab dewan
keamanan perserikatan bangsa-bangsa, merupakan upaya sesudah linggarjati dan
bersama-sama dengan perjanjian konferensi meja bundar merupakan kesinambungan
dari upaya-upaya di Hoge Veluwe, linggarjati serta melalui Roem Roijen Statement guna mencapai cita-cita bangsa indonesia yang
sama. Renville dinamakan “peningkatan pencapaian cita-cita bangsa kita”
(Departemen Luar Negeri, 2004)
Namun
sejarah membuktikan statement cita-cita menjadi bangsa yang merdeka dan
berdaulat tidak tercapai dengan perjanjian-perjanjian tersebut. Martabat negara
republik indonesia mulai meningkat setelah linggarjati di batalkan belanda
dengan aksi militer pertama. Kemudian perjanjian Renville dilanggar belanda
dengan perang kolonial kedua. Perjanjian konferensi meja bundar uni
indonsesia-belanda di batalkan dan di hapuskan indonesia secara unilateral
dengan undang-undang no 13 tahun 1956, setelah pihak indonesia senantiasa berupaya
mencapai perjanjian bilateral untuk pembatalan dimaksud.
Tiga
kali belanda menolak, menggagalkan dan melanggar perundingan-perundingan (di
hoge vuluwe, linggarjati, dan renville). Tiga kali pula pihak indonesia meubah,
membatalkan dan menghapus persetujuan-persetujuan (konstitusi indonesia
serikat, perjanjian KMB dan statuta uni indonesi nederland), meskipun dengan
cara berbeda.
Belanda
melakukan sabotase dan serangan militer kolonial yang dicela oleh dunia
internasional sedangkan indonesia bertindak melalui diplomasi yang sesuai
dengan arti dan makna hukum internasional, sehingga tidak dapat ditolak oleh
siapa pun bahkan mau tak mau belanda harus menerimanya.
Sabotase
itu berupa penafsiran sepihak dan berbeda dari prinsip-prinsip Renville
mengenai pembentukan negara indonesia serikat, pembentukan pemerintah interim,
masalah tentara nasional indonesia, masalah hubungan luar negeri, hal uni
indonesia-belanda, hal kedaulatan, hal plebisit, dan lain-lainnya. Demikian
pula blokade di bidang ekonomi dan lain-lain hingga serangan militer
mengakibatkan perundingan tidak membawa hasil. Bahkan menemui jalan buntu, dan
terjadilah agresi militer yang menghebohkan seluruh dunia. Setelah persetujuan
Renville ditandatangani, pers reaksioner belanda mengadakan kampanye
besar-besaran “mentorpedo” persetujuan itu dengan melecehkan dan menghina
republik indonesia. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Perundingan
politik yang berminggu-minggu dan berbulanbulan tidak dapat mendatangkan hasil.
Ada 4 pasal yang menjadi pokok pertikaian. Keempat pasal tersebut adalah
masalah pembentukan negara indonesia serikat, pembentukan pemerintah interim,
uni indonesia-belanda, dan masalah plebisit.
Belanda
bertambah marah karena setelah persetujuan Renville muncul pengakuan dari yaman
terhadap republik indonesia. Menurut berita dari praha, uni soviet akan turut
mengakui republik indonesia. Belanda tidak setuju bila republik indonesia juga
duduk di dalam persidangan ECAFE di baguio, filipina dan ootacamud, india.
Mengenai plebisit, indonesia berpendapat agar segera dilaksanakan di seluruh
daerah-daerah republik indonesia yang diduduki belanda. Tetapi belanda
menghendaki pemungutan suara dilakukan di seluruh pulau jawa, sumatera, dan
madura yang mereka sudah akui sebagai wilayah de facto republik indonesia.
Tanggal 16 juni 1948 belanda tidak bersedia berunding lagi dengan pihak
republik indonesia, dengan alasan yang dicari-cari, untuk meloloskan diri dari
ikatan komisi tiga negara. Pada akhir penutupan perundingan-perundingan 4
desember 1948, para menteri belanda itu menjelaskan kepada perdana menteri
mohammad hatta, bahwa mereka tidak diijinkan untuk menerima pendirian republik
indonesia. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Melalui
tekanan dari amerika serikat dan komisi tiga negara. Akhirnya pemerintah
republik indonesia memutuskan untuk menerima prinsip-prinsip persetujuan
Renville dan persetujuan gencatan senjata 17 januari 1948. Itu berarti negara
republik indonesia menjadi separuh lebih kecil di pulau jawa dan seperlima di
pulau sumatera dan bagian-bagian republik indonesia yang terkaya terpaksa di
serahkan kepada belanda.
Para
diplomat inggris maupun amerika serikat yang selama ini terkenal pro belanda
memiliki kesan-kesan positif terhadap diplomasi indonesia yang tangguh dan
bermoral tinggi. Tampaknya ketangguhan yang dimiliki indonesia selain
menghormati arti dan makna hukum internasional, merupakan senjata ampuh
diplomasi indonesia dalam menghadapi siapapun yang menggunakan Machiavellian diplomacy.
Pada
tanggal 17 januari 1948 di atas kapal renville milik amerika serikat,
ditandatangani naskah persetujuan oleh delegasi republik indonesia yang
dipimpin oleh perdana menteri amiir sjarifuddin dan delegasi belanda oleh
R.Abdulkadir Widjojoatmodjo. Komisi tiga negara tiba di jakarta tanggal 20 oktober
1947. Tiga hari kemudian berangkat ke yogyakarta. Belanda mengusulkan agar
perundingan dilakukan di jakarta. Tetapi pihak republik indonesia. Dr,frank
graham selaku juru bicara komisi tiga negara mengusulkan agar perundingan dapat
dilakukan di kapal Renville milik AS. Kapal itu berlabuh di lepas pantai teluk
jakarta. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Diplomasi pada forum
internasional
Tanggal
17 juli 1947 kabinet belanda bersidang untuk menentukan sikap apakah belanda
akan menggunakan kekerasan (serangan militer) terhadap republik indonesia atau
tidak, karena ultimatum belanda ditolak republik indonesia. Kementrian luar
negeri inggris menyatakan rasa kecewa dan menawarkan diri untuk menjadi
perantara. Soetan sjahrir selaku duta besar keliling republik indonesia tengah
malam berangkat dengan pesawat udara ke luar negeri. Pemerintah amerika serikat
menyatakan penyelesaiannya karena di indonesia telah terjadi perang. Menteri
luar negeri inggris, E.Bevin, bertemu dengan duta besar amerika serikat di
london untuk membicarakan kemungkinan campur tangan kedua negara itu dalam
kasus indonesia. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Tentang
perundingan-perundingan lanjutan dalam dewan keamanan mengenai masalah republik
indonesia, secara umum terdapat dua pendirian yang bertentangan. Pihak republik
indonesia berpendapat, bahwa aksi militer belanda di indonesia adalah
pelanggaran terhadap perdamaian dan membahayakan keamanan seluruh asia
tenggara. Di pihak lain belanda berpendirian, masalah indonesia berada di luar
batas kekuasaan dewan.
Selain
dua pendirian yang bertentangan, terdapat pendirian ketiga yang dianut perancis
dan belgia. Dalam perundingan-perundingan dewan, mereka mengemukakan
1. Selama
perundingan, tentang kekuasaan dewan dalam membicarakan masalah indonesia tidak
pernah diputuskan,
2. Menurut
hukum internasional republik indonesia tidak memenuhi persyarakatan negara
sebagai yang dimaksud dalam piagam PBB
3. Oleh
karena itu sikap yang dengan sah dapat diambil dewan adalah sikap menawarkan
jasa-jasa baik. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Seputar perjanjian
Renville
Perundingan
renville merupakan landasan bagi upaya penyelesaian sengketa antara indonesia
dan belanda. Meskipun pihak republik indonesia telah melakukan berbagai upaya
sesuai dengan petunjuk dewan keamanan PBB, pihak belanda beserta para
pendukungnya tetap berupaya melakukan pelecehan terhadap norma-norma keadilan.
Dokumen
kedua mengenai dasar-dasar untuk mencapai penyelesaian politik tersebut terdiri
dari dua kelompok. Kelompok pertama berjumlah 12 pasal berisikan masalah-masalah
yang diusulkan oleh belanda serta beberapa pokok-pokok dasar yang ditambahkan
komisi tiga negara yang kemudian dikenal sebagai the six additional principles.
Kelompok kedua merupakan bagian yang paling banyak dikemukakan di dalam
perundingan-perundingan. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Dasar persetujuan
Setelah
sepuluh minggu melakukan perundingan, akhirnya tercapai dasar persetujuan
antara republik indonesia dan belanda. Pendandatanganan dilakukan antara
republik indonesia dan belanda. Penandatanganan dilakukan pada hari sabtu 17
januari 1948 pukul 14.15 di kapal renville dengan dihadiri oleh delegasi kedua
pihak,komisi tiga negara, sejumlah undangan, serta pers luar dan dalam negeri.
Kedua delegasi menandatangani dua dokumen sebagai berikut:
1. Perjanjian
gencatan perang
2. Dasar-dasar
untuk mencapai persetujuan politik, yang kemudian ditambah 6 pasal dari komisi
tiga negara.
Teror terhadap republik
indonesia
Kegagalan
perundingan dengan belanda di sebabkan karena masih banyak golongan, baik di
indonesia maupun di negeri belanda yang tidak atau belum memahami perubahan
jaman. Persetujuan mulai tercapai ketika rancangan genjatan senjata sedang
dilakukan dan perundingan tentang masalah politik sedang berlangsung.
Di
negeri belanda, mereka tidak mengetahui opini publik bangsa indonesia yang
tersiar di dalam surat-surat kabar. sebaliknya, siaran pers reaksioner belanda
diperhatikan secara teliti oleh indonesia serta dihubungkan dengan penafsiran
jonkman. Penafsiran jonkman itu dinilai rakyat indonesia memiliki persamaan
dengan penafsiran kaum reaksioner.
Perjanjian
renville baru saja ditandatangani, namun pers reaksioner belanda segera
mengadakan kampanye untuk menggagalkan persetujuan itu dengan menghina dan
melecehkan republik indonesia. Penghinaan yang ditujukan kepada bangsa
indonesia itu terpampang di dalam tajuk rencana surat kabar belanda trouw, dengan judul weg er mee. (Departemen Luar Negeri, 2004)
Daftar
pustaka
Departemen Luar Negeri, 2004, Sejarah Diplomasi Indonesia Dari Masa ke
Masa periode 1945-1950, PT.Upakara Sentosa Sejahtera (Yayasan Upakara),
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar