Minggu, 20 Maret 2016

SDI - Irma Destarika (Perjanjian Roem Royen - 2014230091)

NAMA : IRMA DESTARIKA
NRP   : 2014230091
SEJARAH DIPLOMASI INDOESIA

PERANJIAN ROEM ROYEN

LATAR BELAKAMG PERJANJIAN ROE ROYEN
Latar belakang diadakannya perjanjian roem royen adalah diawali dari serangan tentara Belanda ke Yogyakarta dan penahanan kembali para pemimpin RI yang mendakatkan kecamanan dari dunia Internasional. Sementara itu, Belanda dalam Agresi Militer II melancarkan propaganda bahwa TNI telah hancur. Dalam Agresi Militer II yang dilakukan Belanda mendapat kecaman dari dunia Internasional terutama Amerika Serikat yang membuat Konferensi Meja Bundar (KMB) terlaksana di Den Haag.
 Perjanjian Roem Royen diadakan 14 April -7 mei 1948 dimana delegasi Indonesia dari Moh. Roem dengan anggota Ali Sastro Amijoyo, Dr. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Supomo, dan Latuharhary. Sedangkan dari belanda adalah Dr.J.H. Van Roijen yang beranggotakan Blom, Jacob, dr.Van, dr. Gede, Dr.P.J.Koets, Van Hoogstratendan, dan Dr. Gieben.
Dalam Perundingan tersebut berjalan alot, Namun perundingan tersebut diperkuat dari hadirnyaDrs. Moh. Hatta dari pengasingan bangka dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta. dimana Sri Sultan Hamengkubuwono IX mempertegas bahwa "Jogjakarta is de Republiek Indonesie" (Yogyakarta adalah Republik Indonesia)

PERUNDINGAN ROEM ROYEN
pada tanggal 28 januari 1949 DK PBB memutuskan bahwa tugas KTN digantikan oleh UNCI (United Nations Commiddion for Indonesia) yang anggotanya sebagai berikut :
Australia diwakili Critchly
Belgia diwakili oleh Herremans
Amerika diwakili oleh Marle Cochran
Dengan adanya pendekatan antara pihak RI-Belnda-BFO dan atasa inisiatif dari dewan keamanan PBB,maka kembali diadakan perundingan antara RI-Belanda. Perundingan dilakukan di Hotel Des Indies, Jakarta dibawah pimpinan Marle Cochran. Delegasi Indonesia di pimpin oleh Mr. Moh Roem sebagai ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai Wakil Ketua dengan Angota-angotanya.
Berkat pendekatan yang dilakukan secara inormal oleh Wakil Presiden Moh.Hatta dan berkat usaha keras dari Marle Cochran. Maka pada tanggal 17 Mei tercapai persetujuan antara pihak Rid an Belanda.
Partai politik yang pertama kali yang menyatakan setuju dengan persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi, karena Moh. Roem memang salah satu tokoh Masyumi. Pernytaan persetujuan Masyumi ini disamaikan oleh ketua Umum Masyumi Dr. Sukiman, dengan alsan melihat posisi RI sebagai Negara baru di dunia Internasional dan melihat situasi di dalam negeri sendiri. Pernyataan persetujuan dari pihak PNI disampaikan oleh Mr. Sujano Hadinoto, Ketua Umum PNI. Ia menyatakan bahwa persetujuan Roem-Royen merupakan suatu langkan menuju tercpainya penyelesaian masalah-masalah Indonesia. Akhirnya kedua partai ini membuat pernytaan bersama bahwa perjanjian Roem-Royen masih kurang memuasakan, tetapi merupakan lagkah kea rah penyelesaian pertkaian antara ndonesia-Belanda.
ISI PERJANJIAN ROEM-ROYEN
Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah RI untuk :
Mengeluarkan perintah kepada pengikut Republik yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya;
Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan;
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sunguh dan lengkap kepada negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.



Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi:
Menyetujui kembalinya pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta;
Membebaskan semua tahanan politik dan menjamin penghentian gerakan militer
Tidak akan mendirikan negara-negara yang ada di daerah Republik dan dikuasainya dan tidak akan meluaskan daerah dengan merugikan Republik;
Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat;
Berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan setelah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

DAMPAK DARI PERJANJIAN ROEM-ROYEN
Dengan tercapainya kesepakatan dalam perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda.
Pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Soedirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Soedirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer.
Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Maka pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itupun menghasilkan 3 keputusan, yaitu:
Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia

Sumber ;
Ebook, Yudhistira Ghalia Indonesia, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar