Minggu, 27 Maret 2016

SDI - Diplomasi Indonesia dan AS pasca kemerdekaan (Prastika Citra Utami - 2015231001)

DIPLOMASI INDONESIA DAN AMERIKA SERIKAT PERIODE 2001 – 2005
Membicarakan hubungan internasional, khususnya yang menyangkut hal bilateral antara hubungan yang dijalin oleh dua negara tidak akan lepas dari timbal balik serta keuntungan yang didapatkan oleh kedua negara dalam perhitungan rasionalitas positive sum up games. Hubungan maupun diplomasi antara Indonesia dan Amerika Serikat yang terjalin dalam kurun waktu 2001 – 2005 tidak lepas dari perihal agenda global Amerika Serikat dalam menggencarkan War on Terror yaitu implikasi dari Tragedi 9/11 dan juga ketidakberdayaan Indonesia dalam hal ekonomi dalam kaitannya dengan bantuan luar negeri pasca Tragedi Tsunami Aceh.
Politik Luar Negeri Indonesia yang berprinsip bebas aktif menjadi hal yang menarik perhatian Amerika Serikat dalam menjalankan kepentingan domestiknya di luar teritori mereka. Hal berkesinambungan yang masih diusahakan adalah penegakkan nilai-nilai HAM dan reformasi politik, menjaga stabilitas ekonomi dan pengembangan pasar potensial kawasan. Hal ini merupakan kutipan dari Duta Besar Paul Wolfowitz yang ketika itu menjabat di akhir tahun 1980-an. Walaupun 20 tahun telah berlalu, hal-hal ini dianggap masih menjadi kepentingan Amerika Serikat terhadap Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk Muslim mayoritasnya tidak lepas dari jangkauan Amerika Serikat dalam pemburuan terorisme secara global. Tragedi 9/11 merubah secara drastis hubungan diplomatik antara Amerika Serikat - Indonesia, khususnya pada opini publik masyarakat di Amerika Serikat terhadap Islam dan komunitas Muslim yang dapat mendiskreditkan umat Muslim dengan teroris global yang harus diperangi bersama. Bagaiamana nantinya kedua negara dapat menjembatani untuk dapat saling memahami kebijakan luar negeri yang berdampak kepada keberlangsungan hidup masyarakat kedua negara tersebut. Opini publik di Amerika Serikat yang mengindikasikan kebencian mereka terhadap umat Muslim dan di sisi lainnya yaitu opini publik yang berkembang di Indonesia terhadap citra Amerika Serikat sebagai pembunuh massal para saudara muslim merekka khususnya pada perang Irak. Disinilah letak tanggung jawab pemerintah kedua negara untuk dapat tetap mempertahakankan dan memperbaiki hubungan secara baik serta tetap stabil dalam kondisi yang kondusif.
Setelah Tragedi 9/11, perhatian yang digencarkan oleh Washington terfokus pada hal penegakan HAM di Indonesia dan mereka melihat Indonesia sebagai sebuah partner yang efektif dalam War on Terror. Dapat dilihat dari kunjungan Presiden Megawati beberapa hari saja setelah serangan di New York dan merupakan salah satu dari pemimpin-pemimpin dunia lainnya yang bertandang ke Washington untuk berbelasungkawa serta mengutuk tindakan terorisme tersebut. Megawati berjanji untuk mempererat hubungan dalam demokratisasi dan penanggulangan terorisme. Hal ini dipandang sebagai tanggungan kekuatan dan kelemahan kedua yang dimiliki kedua negara. Aksi nyata yang dilahirkan dari janji tersebut adalah kerjasama militer yang dijalin dari Pentagon dan Jakarta dalam Regional Defense Counterterrorism Fellowship Program dimana Amerika Serikat memberikan pelatihan kepada beberapa personel TNI/POLRI dengan mengirimkan mereka ke Amerika Serikat untuk mendapatkan pendidikan non-perang yang dananya disokong oleh Kementerian Pertahanan Amerika Serikat. Tetapi sayangnya hal ini malah bertolak belakang dengan rangkaian serangan bom di Indonesia: Hotel JW Marriott (2003), Kedutaan Besar Australia (2004), Bom Bali I dan II (2002 dan 2005). Hal inilah yang dikemukakan oleh Wakil Presiden pada kala itu yakni Hamzah Haz dimana beliau menyebut bahwa terorisme merupakan masalah eksternal. Kunjungan Presiden Bush ke Jakarta di tahun 2003 membuktikan bahwa Amerika Serikat serius dan sangat berkomitmen dalam memerangi terorisme dengan menyumbangkan US$ 157 juta dalam menyokong sistem pendidikan Indonesia dan kerjasama non-militer lainnya.
Sedangkan dari sisi kepentingan besar Indonesia pada periode 2001 – 2005 yaitu ketika semua mata dunia tertuju kepada beberapa negara yang terkena dampak Tsunami di Samudra Hindia tahun 2004 dan salah satunya yaitu yang menerpa Aceh, Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat beserta masyarakat sipilnya berbondong-bondong memberikan dukungan dan bantuan kemanusiaan. Hal ini disebut Condoleezza Rice sebagai bentuk aliansi manusia (alliance of peoples) yang dibangun oleh para warga negara Indonesia dan Amerika Serikat pada khususnya yang menekankan kepada kerjasama signifikan pada hal pembangunan paska Tsunami Aceh, peningkatan kesehatan anak, dan gerakan anti korupsi yang dimana poinnya juga merupakan bagian dari Millenium Challenge Corporation's Threshold Program. Selain itu, keuntungan besar yang didapatkan Indonesia yaitu pembentukan Detasemen Antiteror (Densus 88) dan juga kerjasama dalam hal penjualan persenjataan. Kerjasama keamanan yang erat antara pihak Amerika Serikat - Indonesia terlihat dari usaha bersama dalam memerangi pembajakan di Selat Malaka dan partisipasi kedua negara dalam misi mengirimkan Pasukan Perdamaian PBB.

REFERENSI:
Melissen, Jan. 2005. The New Public Diplomacy: Soft Power in International Relations. New
 York: Palgrave Macmillan.
Vaughn, Bruce. 2009. Indonesia: Domestic Politics, Strategic Dynamics, and American
 Interests. Jurnal Congressional Research Service.
Wiarda, Howard J. 2011. American Foreign Policy in Regions of Conflict: A Global
Perspective. New York: Palgrave MacMillan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar